Bapak Mohammad Diponegoro (selanjutnya: Bapak Dipo, Pak Dipo), izinkan saya menulis dan mengirimkan surat ini sebagai bentuk pekabaran, atau barangkali sekadar tanda hormat dan rindu, kepada seorang sastrawan yang saya kagumi, Mohammad Diponegoro.

Surat ini saya tulis di tengah rasa bingung yang agak menggelikan: ketika itu saya menerima undangan menjadi pembicara dalam sesi tribute Pestarama #10. Acara ini diadakan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (14/5/2025). Sebuah acara yang secara khusus dipersembahkan untuk mengenang Bapak.

Dalam acara itu saya diminta untuk berbicara tentang Bapak—tentang jejak-jejak pemikiran, karya-karya, bahkan mungkin kenangan yang tak sempat saya alami.
Saya sempat berpikir, “Mengapa saya?” Sebab terus terang, saya ini bukan siapa-siapa. Jangankan menafsirkan warisan Bapak dalam dunia sastra, untuk mengucapkan nama Bapak saja saya kadang masih merasa minder.
Secara jasmani, saya sadar betul Bapak tak akan pernah membaca surat ini. Namun saya percaya, roh-roh kita senantiasa berpaut—setidaknya dalam imajinasi, dalam semangat penciptaan, dalam keyakinan bahwa sastra bukan sekadar olah kata, melainkan wasilah untuk menyampaikan nilai dan kesadaran.
Saya mafhum, puisi-puisi saya yang tak sempat saya kirimkan mungkin tak punya arti apa-apa. Tak ada kekuatan kata, apalagi mantranya. Tidak cukup sakti untuk mengubah zaman—apalagi zaman ini, yang lebih sibuk mencari “like” daripada makna. Dan saya, tak munafik, adalah bagian dari zaman itu.