Sunah Nabi dan Komodifikasi Agama

989 kali dibaca

Ramainya pembicaraan soal klepon yang tidak Islami dan konsumsi kurma sebagai manifestasi mengikuti sunah Nabi membuat saya termenung dan bertanya-tanya. Seingat saya, dulu memang banyak muslim Indonesia yang mengkonsumsi kurma, tetapi sepertinya hanya dilakukan secara massal saat bulan Ramadan. Konon, karena Nabi Muhammad SAW menganjurkan untuk berbuka dengan yang manis dan beliau kerap berbuka dengan kurma. Meskipun, ketika berbicara berbuka dengan makanan yang manis-manis, di Indonesia ada berbagai varian buah-buahan manis lainnya. Tetapi, tentu saja, sampai sekarang nampaknya orang terus “menyepakati” kurma sebagai satu jenis buah yang menempati posisi utama karena menjadi buah yang pernah dikonsumsi Nabi.

Beberapa tahun terakhir ini, nampaknya konsumsi kurma juga tidak melulu dilakukan saat bulan Ramadan. Dengan semakin berkembangnya wacana Islam di dalam budaya populer pasca-reformasi dan semakin mudahnya segala informasi diakses dan dibagikan melalui media sosial, berbagai aktivitas yang menunjukkan kesalehan dalam beragama begitu mudah dilihat sekaligus dipamerkan. Salah satunya adalah persoalan konsumsi produk yang diklaim sebagai produk Islami. Unggahan yang mendorong “hijrahnya” konsumsi produk dari yang (dianggap) tidak jelas asal usul dalilnya dalam agama ke produk yang jauh lebih Islami. Bersamaan dengan ramainya kampanye ini, juga semakin ngetren pula pengobatan-pengobatan ala Nabi menggunakan produk-produk herbal yang diklaim jauh lebih Islami dan memiliki asal usul riwayat yang jelas sampai ke Nabi Muhammad SAW.

Advertisements

Jika kita cermati, ajakan-ajakan untuk mengkonsumsi produk-produk Islami tersebut umumnya juga disertai dengan kutipan hadits dan kontak yang bisa dihubungi untuk membeli produk tersebut. Hal ini menjadi cukup menggelikan ketika orang kemudian sadar bahwa agama ternyata dikomodifikasi sedemikian rupa untuk memanipulasi pasar. Dalil dan klaim soal yang Islami, yang sunah Nabi, yang sesuai ayat al-Quran digunakan sebagai justifikasi untuk berjualan produk yang tujuannya untuk mendapatkan uang. Meskipun, tentu saja, mereka menggunakan bahasa-bahasa yang sangat halus (sekaligus menormalisasi) untuk itu, yang kurang lebih: berniaga sebagai bentuk sunah Nabi dengan menjual produk-produk Islami.

Apakah itu salah? Belum tentu. Orang bebas saja menggunakan promosi-promosi untuk berjualan. Tetapi, promosi menjadi problematis ketika dalam berjualan kurma, misalnya, membandingkan dengan klepon sebagai makanan yang tidak Islami. Sehingga, pemaknaan tentang yang Islami, yang sunah, yang mengikuti al-Quran seolah-olah dikerdilkan hanya untuk melayani kepentingannya semata. Padahal, Islam diturunkan Allah untuk menjadi rahmat seluruh makhluk di muka bumi, bukan untuk satu golongan saja.

Salah seorang ulama yang alim pernah suatu ketika bertutur bahwa kecintaan beliau memakan buah-buahan lokal seperti pisang itu diniati sebagai sunah Nabi. Kok bisa? Beliau menafsirkan kecintaan Nabi Muhammad SAW kepada tanah airnya diwujudkan dengan kecintaan Nabi kepada kurma yang dihasilkan oleh negara yang dicintainya. Dengan logika tersebut, bisa jadi, memakan pisang dan klepon pun bisa diniati sebagai sunah Nabi bukan? Mengikuti Nabi yang mencintai tanah airnya diwujudkan dengan mencintai dan mengkonsumsi makanan yang dihasilkan oleh negaranya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan