SULUK KEKUASAAN

SULUK KEKUASAAN

Jubah kadang berfungsi ganda
ia bisa jadi selimut doa
atau tirai
yang menutupi persekongkolan.

Advertisements

Di antara khutbah dan kontrak politik
tak selalu jelas
mana yang mihrab, mana meja negosiasi
dan siapa yang sedang bertakwa, siapa terdakwa, atau siapa yang sedang bersandiwara.

Benarlah
tak setiap sujud mengarah ke arah yang sama.

Di tempat berbeda, kiblat dapat berubah arah. Tapi kebenaran tak pernah pindah-pindah.

JEJAK (YANG TAK) DIARSIPKAN NEGARA

Di bawah jembatan layang
tampak lelaki tua menggambar sesuatu
di pasir yang tak pernah abadi
; barangkali denah rumah, barangkali rute pulang
yang sudah dicoret kota.

Ia pernah ikut membangun tiang pancang
menyusun batu demi batu
sambil menghafal surat Yasin
agar tak kehilangan arah
saat gaji terlambat dan namanya tak tercantum di kontrak akhir.

Hari ini ia tak punya bukti pernah bekerja
kecuali kapalan di telapak
dan ingatan yang perlahan bocor
seperti atap pos ronda yang tak lagi dijaga.

TADARUS DI TENGAH SIDANG

Pada malam-malam yang menggigil
dalam sidang paripurna,
seorang santri membuka mushaf
di antara gelas-gelas kosong
dengan meja yang mencium pekat bau suap.

Ia membaca pelan:
wa la takhshaun-nāsa wakhshauni.
sementara mikrofon masih sibuk
menjaga kepentingan
yang tak pernah sampai ke dusun-dusun
di pinggir republik.

Di luar, azan terus berkumandang
tapi tak satu pun keputusan
diambil dengan wudhu.

DOA YANG TAK DITAMPUNG NEGARA 

Di atas sajadah lusuh
seorang nelayan menadah langit
bukan untuk hujan
tapi untuk arah pulang
yang tak tergadai oleh reklamasi.

Ia berdoa tanpa mikrofon
dan doanya tak pernah dicatat dalam pidato resmi.
Tapi angin mendengarnya
dan laut pun memberi jalan pulang
meski tanpa subsidi.

NASKAH YANG TAK SELESAI DITULIS 

Di perpustakaan tua itu
tinggal selembar catatan berbahasa Arab-Melayu
dengan tinta yang retak
dan jejak tangan yang pernah menolak penjajah
atas nama agama
dan kehormatan ladang garapan.

Tapi naskah itu terhenti
ketika peluru menembus dada penyalin
dan rumahnya dibakar
oleh sesama muslim
yang mencintai jabatan
lebih dari makna laa ilaaha illallah.

HALAQAH DI LORONG PASAR 

Mereka duduk melingkar
bukan di surau
tapi di lorong pasar,
berbagi ayat dan harga cabai.

Tak ada sorban putih
hanya kerudung lusuh dan celana yang digulung karena becek
Tapi suara yang terdengar
jauh lebih jujur daripada mikrofon tanpa kabel dari pemerintah.

Meski ramai, lahir makna tulus; upaya kecil agar kalimat-kalimat Tuhan tidak disapu promo diskon barang elektronik atau sembako untuk kebutuhan sehari-hari.

Di sana,
agama tumbuh dalam keterbatasan—
seperti akar yang memecah aspal
tanpa perlu permisi.

PETA DARI DADA LELUHUR 

Tak semua garis batas lahir dari perjanjian
Ada yang tumbuh dari doa
dan keringat yang membasahi mata.

Di desa-desa yang tak terdata peta digital
seseorang— yang usianya telah diperhitungkan masa— menunjuk arah mata angin
bukan dengan kompas,
melainkan dengan nyanyian burung
dan lekuk bekas tapak kuda perang.

Ia berkata:
di tanah ini pernah tumbuh mimpi
yang tak sempat dibukukan
karena penjajah datang lebih dulu
dari penerbit.

Sumber ilustrasi: bentarabudaya.com.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan