Si Badut dan Tangis Seorang Bocah

1,546 kali dibaca

Aku scroll layar gawaiku ke bawah. Kulihat status terbaru keluarga itu yang tengah berlibur di Pulau Dewata. Time line FB-ku dipenuhi foto-foto keluarganya yang penuh glamor. Ia tunjukkan foto dirinya tengah menyeruput segelas minuman dengan latar foto kamar hotel mewah dengan panorama pantai yang memesona.

Slide berikutnya, tampak istrinya yang cantik memeluk kedua anaknya. Ada juga video pendek mereka tengah berenang di kolam yang begitu jernih.

Advertisements

Semua yang ditampilkannya adalah pameran yang sangat memuakkan. Kunyalakan sebatang rokok. Kusemburkan asap rokokku ke muka menyebalkan itu, meski gawaiku yang menjadi korbannya. Aku lantas berjalan ke luar kamar, menuju balkon penuh bising oleh raungan kendaraan yang kepala para penumpangnya dipenuhi ambisi untuk saling mendahului menguasai dunia, atau mungkin sekadar berlomba bertahan hidup.

Gawaiku bergetar. Kulihat di layar ada pop up pesan Watsapp dari Kadek.

Action sekarang?”

Dan entah kenapa tiba-tiba aku diserang rasa ragu.

Lelaki itu kemudian miscall, dan aku membiarkannya; rasa ragu ini masih juga bercokol di kepalaku.

“Bedebah! Kau balas pesanku!”

Kegusarannya mulai menerorku.

“Kau yakin dia ada di kamar 209?” balasku melalui pesan singkat.

“Orang bodoh mana yang meragukan kemampuan intelijenku? Aku memegang semua data penghuni hotel ini. Bahkan merek kaus mereka aku tahu semuanya!”

Aku kembali melangkah ke kamar. Kuamati keramaian lalu lintas dari balik kaca jendela. Rokokku tinggal separo batang. Kubuka laman FB dan aku buka profil Surya. Lima belas tahun yang lalu adalah awal perkenalanku dengannya. Kala itu dia memperkenalkan diri sebagai salah satu adik tingkatku di Fisipol yang telah diam-diam mengidolakanku. Dari majalah kampus dia mengikuti gagasan-gagasanku yang sering menghiasi media jurnalistik kampus itu.

Dan dengan kecerdasannya dia telah membuatku tertarik. Dia pun kemudian diterima di perusahaan, tepat setahun setelah dia selesai kuliah, sesuai rekomendasiku. Lagi-lagi dengan kecerdasannya dia kemudian diangkat menjadi kepala bagian di perusahaan kami, kurang dari dua tahun berikutnya.

Aku semakin mengulik masa lalunya. Mungkin memang sudah naluri manusia untuk tidak selalu membutuhkan alasan dalam melakukan sesuatu. Seperti tingkah tololku ini misalnya. Kurang kerjaan apa hari ini aku hingga sudi membuang waktu untuk mengintip profilnya?

ORANG BIJAKSANA ADALAH ORANG YANG PUNYA PRINSIP DI SETIAP KISAH PELIK, TAPI HANYA KESATRIA YANG  MAMPU MEMEGANG PRINSIP DI SETIAP DETIK
Quote Mr. HRD hari ini.

Begitu tulis Surya mengutip ucapanku pada saat rapat tujuh tahun yang lalu di laman FB-nya. Pikiranku melayang ke zaman itu. Hubunganku dengan Surya begitu dekatnya, kala itu. Berikutnya kulihat fotoku bersama dirinya ia pajang di halaman Facebook. Kali ini dia menulis caption lagi, dan lagi-lagi dia menulis diriku sebagai sumber inspirasinya.

CIRCLE YANG KUAT MEMBUAT KITA JADI HEBAT.
CIRCLE YANG SEHAT MENGHINDARKAN KITA DARI ORANG-ORANG JAHAT.
Quote Mr. HRD hari ini.

Pikiranku tiba-tiba kalut, bagaimana mungkin seseorang yang menjadikanku sebagai inspirasi itu kini melesat kariernya dan melampauiku?

Aku kembali ke balkon. Kunyalakan rokokku untuk yang ke sekian kalinya. Di bawah sana ada seorang badut menari di perempatan jalan. Mataku segera terbetot ke sana. Badut yang memakai kostum boneka tertawa berwarna hijau itu melenggak-lenggok di depan kendaraan yang sedang berhenti menunggu lampu hijau. Dia lantas berkeliling ke mobil-mobil mewah itu, juga mobil-mobil kelas menengah.

Beberapa mobil mewah tampak menampik si badut, dan mobil-mobil menengah ke bawah banyak yang berbelas kasih memberi uang saweran. Beberapa pengendara sepeda motor pun ada yang memberi uang. Dan tak berapa lama kemudian lampu hijau menyala. Kendaraan-kendaraan itu segera meluncur pergi. Badut pun beringsut pergi.

Aku masuk ke kamar dan mengambil segelas kopi. Sejurus kemudian aku telah kembali ke balkon, duduk di kursi yang teduh di bawah tanaman hias istriku yang kini tumbuh rindang. Balkon rumahku ini menghadap ke arah timur, di mana setiap pagi selalu mendapat guyuran hangatnya sinar mentari.

Ketika mataku kembali beredar melihat kondisi jalan raya, kulihat di tepi jalan badut tadi duduk dengan seorang anak kecil, mungkin belum genap berumur lima tahun. Aku semakin tertarik mengamatinya. Ternyata badut itu sedang menyuapinya. Lalu kendaraan tengah ramai, dan badut itu terus menyuapi, mungkin bocah itu adalah anaknya.

Gawaiku bergetar.

“Sepuluh menit lagi aku mengantar makanan ke kamarnya. Kau putuskan sekarang atau tidak sama sekali, karena ini jatah makan terakhirnya di hotel ini…” suara Kadek yang tampak geram terekam di voice note.

Kali ini kuhirup rokokku kuat-kuat, seolah ingin kuhabiskan dalam sekali hirup. Aku menengadah, dan kuempaskan asap rokok tepat mengenai daun-daun tanaman hias yang tak kutahu namanya. Andaikan masih hidup, istriku pasti memarahiku telah menyemproti tanaman kesayangannya dengan asap rokok. Ah, aku jadi ingat lagi padanya. Andaikan Surya tak memangkas gajiku aku pasti bisa mengobatkannya ke Singapura dan dia akan bisa sembuh lagi!

“Surya!!!” teriakku dalam hati.

Hampir saja aku mengetik “Action!” di kolom chat Kadek, namun demi melihat apa yang terjadi di jalan, aku menghentikannya.

Di tepi jalan kulihat badut tadi bersimbah darah, dan ada beberapa sepeda motor terpelanting di sekitarnya. Dan yang membuatku menelan ludah berkali-kali adalah tangisan bocah itu yang meneriaki si badut yang tengah terkapar.

“Kau ngetik apa lama sekali???” tulis Kadek. Aku tak menghiraukan. Langkah kakiku telah membawaku ke jalan raya.

Dalam hitungan menit aku telah berada di dekat mayat si badut yang tergeletak bersimbah darah itu. Kostum badutnya tak lagi hijau, kini telah bercampur merah warna darah. Beberapa orang menenangkan bocah yang terus memanggil “Bapak-bapak” itu.

“Bagaimana dia bisa tertabrak?” celetuk seseorang.

“Dia lari mengejar selembar uang yang dijatuhkan seseorang,” tukas yang lain.

“Bapak-bapak!” anak itu masih terus berteriak.

Melihat mendung di wajahnya aku teringat pada anakku yang kini masih berada di sekolah, juga anak Surya yang tengah bersenang-senang di Pulau Dewata itu. Bagaimanakah kesedihan seseorang yang kehilangan orang tuanya? bisikku dalam hati.

Gawaiku bergetar. Kulihat pesan Kadek di sana.

“Makanan Surya sudah kububuhi racun sesuai pesananmu. Aku tak ingin makan gaji buta darimu. Terima kasih!”

Kupejamkan mata, dan ada segunung penyesalan yang terasa menusuk dadaku.

M, 28/9/22.

ilustrasi: istock.

Multi-Page

One Reply to “Si Badut dan Tangis Seorang Bocah”

Tinggalkan Balasan