Sesat Pikir Ilmu Agama

928 kali dibaca

Saya takjub ketika membaca berita tentang MA Gymnastiar Putra, seorang santri Pondok Pesantren Amanatul Ummah Pacet, Mojokerto, Jawa Timur diterima di 11 perguruan tinggi bergengsi di luar negeri (duniasantri.co, 3 Juli 2022). Ketakjuban saya bukan pada kelolosannya masuk tes di 11 kampus di sejumlah negara itu, melainkan pada pilihannya terhadap disiplin ilmu yang akan ditekuninya.

Dari 11 perguruan tinggi yang menerimanya itu, Gymnastiar Putra akhirnya menjatuhkan pilihan pada Colorado School of Mines, Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam itu, Gymnastiar Putra akan belajar dan menekuni ilmu pertambangan. Dengan begitu, kelak ia akan bisa berkontribusi untuk kemajuan Indonesia pada sektor pertambangan.

Advertisements

Mungkin, teman-teman Gymnastiar Putra dari pesantren yang sama atau santri-santri lain dari pesantren-pesantren lain, banyak yang memilih belajar ke Mekkah, Madinah, Mesir, atau negara-negara Timur Tengah untuk mendalami ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu faraid, ilmu tasawuf, dan lain-lainnya yang diklaim sebagai “ilmu agama”. Atau menjadi hafiz Quran dan penghafal hadis.

Pilihan Gymnastiar Putra itu menerbitkan ketakjuban di tengah mengerasnya pemisahan ilmu secara dikotomis; di seberang sini ada ilmu agama, di seberang yang berlawanan ada ilmu nonagama atau ilmu umum. Dan, secara salah kaprah, dikotomi itu disimplifikasi menjadi seperti ini: ilmu agama bersumber dan untuk orang-orang beriman; ilmu umum bersumber dan untuk orang-orang kafir. Ilmu agama untuk mengejar akhirat. Ilmu umum untuk mengejar dunia. Dan, “turunan” dari dikotomi ini kian mengeras di tingkat akar rumput. Belajar ilmu agama adalah jaminan masuk surga. Yang belajar ilmu umum wallahualam

Salah kaprah ini juga telah begitu dalam merasuki sistem pendidikan kita yang begitu dikotomis. Ada lembaga pendidikan agama, ada lembaga pendidikan umum. Dan bukan hanya pada sistem pendidikannya, salah kaprah ini juga telah begitu dalam merasuki alam bawah sadar masyarakat muslim kita. Anak-anak kita sejak dini dipaksa mendayung di antara dua karang, bersekolah di pendidikan agama sekaligus di pendidikan umum. Atau bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan agama (termasuk pesantren) yang “ditempeli” dengan ilmu-ilmu umum —tapi keduanya tetap terpisah secara dikotomis.

Saya, misalnya, termasuk generasi yang lahir dari situasi alam bawah sadar orang tua yang seperti ini. Sejak dini, ditanamkan bahwa untuk memperoleh kebaikan di akhirat, dan itu berarti surga, maka saya harus mendalami ilmu agama. Tak ada pilihan kecuali harus masuk madrasah atau pesantren.

Memang tak ada yang salah dengan itu. Tapi bayangkanlah jika seluruh generasi muslim hanya berkerumun di bawah satu atap “ilmu agama” itu. Bayangkanlah jika seluruh generasi muslim hanya menjadi ahli tafsir, ahli hadis, ahli fikih, ahli faraid, ahli tasawuf, hafiz Quran. Bayangkanlah jika seluruh generasi muslim hanya menjadi kiai, ustaz atau guru ngaji, dai atau penceramah, atau pegawai kementerian agama.

Juga, bayangkanlah jika seluruh generasi muslim tidak ada yang menjadi dokter, akuntan, ahli keuangan, ahli matematika dan teknologi informasi, ahli kimia, ahli ilmu rancang bangun, dan ahli pertambangan, misalnya. Bahkan yang menjadi seniman atau komedian pun tak ada. Pendek kata, bayangkanlah jika seluruh generasi muslim tidak ada yang menjadi ahli kecuali ahli dalam ilmu agama. Jika kalimat terakhir ini yang terjadi, dan sepertinya hampir seperti itu, maka kita akan gagal mengemban amanat Tuhan sebagai khalifah (jangan dikacaukan dengan khilafahisme) di Bumi (khalifatullah fil ardh).

Hari ini kenyataan seperti itulah yang dihadapi dunia muslim. Bidang-bidang kehidupan yang lahir dari disiplin-disiplin keilmuan yang kita sebut nonagama itu begitu jauh dari penguasaan kita. Dunia muslim begitu tertinggal, misalnya di bidang ekonomi dan kesejahteraan, di bidang teknologi dan informasi, di bidang sains dan relayasa genetik, dan lain sebagainya karena memang tidak menguasai ilmunya. Bagaimana bisa kita mengemban amanat Tuhan sebagai khalifatullah fil ardh jika tidak menguasai ilmunya.

Sudah banyak riset dan studi yang menelusuri sebab-sebab kemunduran umat Islam. Satu di antaranya adalah perihal dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum ini. Pada keemasan dunia muslim, sampai dengan sekitar abad ke-15, belum ada dikotomi ilmu menjadi ilmu agama dan ilmu nonagama. Semua generasi muslim mempelajari semua disiplin ilmu dengan kewajiban yang sama. Maka, lahirlah sarjana-sarjana muslim terkemuka yang menguasai berbagai disiplin ilmu.

Namun, ketika Eropa (Barat) mulai mencapai masa pencerahan setelah “meminjam” ilmu dari dunia muslim, dan di saat yang sama dunia muslim mengalami kemunduran akibat konflik-konflik internal, dimulailah babak baru dikotomi ilmu hingga muncul istilah ilmu agama dan ilmu nonagama itu. Padahal, yang sering disebut sebagai “ilmu kafir” itu, ilmu yang dibawa oleh peradaban Barat itu, adalah ilmu yang justru bersumber dari dunia muslim.

Sesat pikir (logical fallacy) dan salah kaprah dalam memaknai ilmu (agama) itulah yang terbawa-bawa hingga hari ini, di sini. Sejak dini kita “dicekoki” bahwa yang dijamin masuk surga adalah yang hafiz Quran, atau yang menguasai ilmu agama. Yang ahli pertambangan? Wallahualam. Padahal, itulah cita-cita Gymnastiar Putra.

Sesat pikir seperti ini tanpa disadari telah mendorong kita bersikap tidak adil dalam beragama. Contohnya, kita menempatkan orang-orang yang menekuni ilmu agama “lebih mulia” ketimbang mereka yang menekuni ilmu umum. Akibatnya, tak banyak generasi muslim yang termotivasi untuk menekuni dan menguasai berbagai disiplin ilmu selain ilmu agama yang perkembangannya justru semakin pesat. Sehingga, ketika kekayaan mineral kita nyaris habis ditambang oleh orang lain, Gymnastiar Putra baru mau belajar ilmunya. Mungkin agak terlambat, tapi setidaknya niatan itu harus menjadi dorongan untuk mengubah mindset bahwa belajar ilmu umum itu sama mulianya dengan belajar ilmu agama.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan