Seri “Wali Pitu” di Bali (2): Habib Ali Bafaqih

10,525 kali dibaca

Dalam tulisan Seri “Wali Pitu” di Bali bagian 1, salah satu dari tujuh ulama penyebar agama Islam di Pulau Bali adalah The Kwan Lie yang berasal dari dan berkebangsaan Tiongkok. Kali ini, dalam Seri “Wali Pitu” di Bali bagian 2, tokohnya adalah seorang habib kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur: Habib Ali Bafaqih.

Di Pulau Bali yang mayoritas penduduknya pemeluk Hindu, terdapat beberapa kampung muslim, salah satunya adalah Loloan yang terletak di Kabupaten Jembrana. Di sinilah terdapat jejak perjuangan salah satu ulama penyebar Islam di Bali, Habib Ali Bafaqih, seorang wali yang merupakan satu dari tujuh Wali Pitu.

Advertisements

Namun, meskipun tanah kelahirannya tak begitu jauh dari Loloan, Habib Ali Bafaqih harus melakukan pengembaraan jauh terlebih dahulu sebelum sampai di kampung Loloan ini. Habib Ali Bafaqih dilahirkan pada 1882 di Kampung Arab, Lateng, Kabupaten Banyuwangi dari pasangan Habib Umar Bafaqih dan Syarifah Nur bin Abdullah Al-Haddad. Sang ibu, Syarifah Nur, merupakan seorang Hafidzoh al-Quran. Sejak belia, Habib Ali Bafaqih memperoleh pendidikan agama dari orangtuanya, terutama ngaji al-Quran. Pada usia 7 tahun, ia telah menguasai nahwu shorof dan menghafal al-Quran. Selain ilmu agama, Habib Ali Bafaqih juga diajari ilmu kependekaran, pencat silat —ini yang membuat ia kelak juga dikenal sebagai pendekar silat.

Setelah memperoleh pendidikan agama dari kedua orangtuanya, Habib Ali Bafaqih melanjutkan berguru kepada para ulama, seperti Habib Muhammad Ba’abud dan Kiai Soleh Lateng. Kemudian, usia 15 tahun berguru kepada KHR Muhammad Kholil di Bangkalan, Madura. Namun, karena dinilai sudah memiliki ilmu yang memadai, oleh Kiai Kholil, Habib Ali Bafaqih justru diminta mengajar para santrinya. Hanya tiga bulan Habib Ali Bafaqih berguru kepada Kiai Kholil lantaran disuruh keluar dari pondok sebab telah memiliki ilmu yang memadai.

Namun, pada usia 17 tahun, sekitar tahun 1899, Habib Ali Bafaqih menuju tanah suci Mekkah untuk memperdalam ilmu agamanya kepada beberapa ulama tersohor ketika itu, seperti Sayyid Abbas Al Maliky Al-Hasani, Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani (Ayah Abuya Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki Al-Hasani), Syekh Umar Hamdan Al-Mahrusy, Syekh Nawawi Al-Bantani dan banyak guru lainnya. Rupanya, keberangkatannya ke Mekkah ini atas “sponsor” ulama terkemuka di Banguwangi saat itu, Haji Sanusi. Habib Ali Bafaqih bermukim di Mekkah selama tujuh tahun.

Sepulang dari Mekah, Habib Ali Bafaqih kembali ke tanah air, dan nyantri di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, berguru KH Hasbullah, ayahanda KH Wahab Hasbullah. Setelah itu, Habib Ali Bafaqih mengajar di Madrasah al-Khairiyah selama setahun di tanah kelahirannya, Banyuwangi. Selanjutnya, Habib Ali Bafaqih menyeberang ke Lombok Barat, berdakwah bersama KH Soleh Hanbali Bengkel. Saat itulan, Habib Ali Bafaqih menjalin persahabatan dengan Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid, Pendiri Jamiyyah Nahdlatul Wathon di Nusa Tenggara Barat.

Pada periode itu, Habib Ali Bafaqih dipanggil oleh seorang ulama besar dari Loloan, Datuk Kiai Haji Mochammad Said. Atas permintaan Sang Datuk, pada 1918 Habib Ali Bafaqih menyeberang ke Bali, menuju Loloan. Namun, baru pada tahun 1935 beliau mendirikan Pondok Pesantren Syamsul Huda yang kini telah meneteskan ribuan ulama, dai, dan ustazah. Para santri datang dari berbagai pelosok desa di Tanah Air. Mereka belajar membaur dengan kehidupan masyarakat Loloan yang sejak ratusan tahun lalu telah dikunjungi oleh ulama-ulama tangguh dari berbagai daerah. Tak terkecuali ulama besar dari Trengganu (Malaysia) yang meninggalkan negerinya lalu hijrah ke Loloan sekitar awal abad 19.

Debat dengan Wahabi

Cara dakwah Habib Ali Bafaqih diterima dengan oleh masyarakat Bali, termasuk dari mereka yang nonmuslim. Sehingga, di daerah Loloan ini, masyarakat Islam dan Hindu hidup berdampingan, membaur, penuh toleransi dan kedamaian. Namun, rupanya ada kelompok lain yang tidak menyukai kondisi tenteram seperti ini. Maka, mulai 1934, Pulau Bali menjadi target gerakan puritanisme yang dikomandoi oleh kelompok yang mengaku modernis Islam alias sekte Wahabi. Beberapa tokoh Wahabi dikirim dari Solo dan Banyuwangi untuk menancapkan pengaruhnya dengan cara menyerang habis-habisan tradisi Islam yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat setempat. Mereka menggunakan slogan-slogan taklid buta, bidah, khurafat, dan takhayul untuk menjelek-jelekkan ajaran Habib Ali Bafaqih. Bahkan, praktik beragama ulama dan masyarakat muslim Bali dituduh telah tercemari oleh perbuatan syirik.

Disereng sedemikian rupa, masyarakat muslim Bali yang berpaham Ahlussunnah wal Jama’ah melakukan perlawanan. Mereka pun mengusir beberapa tokoh Wahabi karena dianggap meresahkan dan memancing permusuhan. Khawatir terjadi bentrok fisik, Habib Ali Bafaqih yang terkenal sangat tegas turun tangan. Ia menerima tantangan dari salah satu tokoh Wahabi itu untuk berdebat di depan umum. Suatu hari, disaksikan oleh masyarakat luas, adu argumen pun segera dimulai.

Dalam debat, tokoh Wahabi dipersilakan terlebih dahulu membuka pembicaraan, memaparkan ajarannya. Si tokoh Wahabi memulai orasinya dengan suara lantang. Tapi baru berucap, “Rasulullah bersabda: “Man kana…,” Habib Ali Bafaqih berteriak memotong dengan suara lebih lantang, “Berhenti dulu! Berhenti dulu!” Orang-orang kaget, menunggu-nunggu apa yang akan terjadi.

“Sebelum Tuan meneruskan sabda Rasulullah tersebut, saya hendak bertanya, “man” itu huruf apa dan dalam gramatika Arab kedudukannya sebagai apa?”

Lawan debatnya langsung terdiam, kaget memperoleh pertanyaan tak terduga yang tak dikuasainya. Karena terpojok, terpaksa ia mengaku tidak mengetahui jawabannya. Tapi ia ngotot akan memberikan jawaban di luar masalah huruf  ‘man’.

Sadar lawannya terpojok, Habib Ali Bafaqih langsung memberikan pukulan telak. “Jangan sekali-kali Tuan berani mengartikan al-Quran dan hadits Nabi jika Tuan sendiri tidak memahami bahasa Arab dengan benar!” Perdebatan usai, dan tokoh Wahabi pun tersingkir. Hingga kini, masyarakat Hindu dan muslim di Loloan tetap hidup rukun dan damai.

Habib Ali Bafaqih meninggal pada 27 Februari 1997 M di Loloan Barat Jembrana Bali dalam usia 107 tahun. Sebelum meninggal, Habib Ali Bafaqih sempat membaiat Habib Luthfi Bin Yahya untuk menjalankan Thariqah Qadiriyah. Saat itu, Thariqah Qadiriyah bersama dengan KH Abdullah Salam Kajen sedang berada di rumah Habib Ali Bafaqih.Kini makam Habib Ali Bafaqih yang terletak di area Pondok Pesantren Syamsul Huda Jl Semangka Desa Loloan Barat, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, selalu diziarahi banyak orang dari berbagai pelosok negeri, menjadi penanda adanya Wali Pitu di Pulau Dewata.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan