Sepiring Bubur Asyura dari Hasan

1,418 kali dibaca

Rumah Pak Mahmud telah ramai. Warga berdatangan sambil membawa bermacam sayuran.

Setiap bulan Muharram pada tanggal sepuluh, di kampung ini selalu tidak ketinggalan untuk memasak bubur asyura setiap setahun sekali. Warga terlihat kompak satu sama lain. Yang bapak-bapaknya bertugas mencari kayu, mengaduk bubur asyura di dalam kawah dan mengangkat beras untuk dimasukkan ke kawah. Para ibu-ibu memotong sayuran, membuat bumbu untuk bahan bubur asyura. Ada juga yang ikut membantu mengaduk bubur. Sambil bercerita soal kenaikan harga dan murahnya hasil kebun. Sesekali diiringi gelak derai tawa.

Advertisements

Menjelang siang, bubur asyura telah matang. Mereka menyiapkan piring, gelas minum untuk dihidangkan, sambil memasukkan bubur dari piring ke piring. Di ruang depan, Ustaz Komar selaku tetua sekaligus imam dan guru mengaji di kampung itu, memimpin bacaan Yasin dan Tahlil, berserta doa-doa untuk kebaikan-kebaikan di tahun yang akan datang. Selesai pembacaan doa, barulah bubur asyura dihidangkan. Baunya begitu harum. Para warga sangat menikmati hidangan tersebut. Di dapur ibu-ibu berulang kali menambahkan porsi ke dalam piring mereka, masing-masing orang membawa pulang satu mangkok bubur untuk di rumah.

***

Salah satu rumah warga berwarna kecoklatan agak tua, beberapa kaligrafi arab terlihat usang di dinding rumahnya, sudah sobek. Pintu depan juga lapuk dimakan anai-anai, seseorang di dalam bilik tengah mengerang sambil memanggil nama ibunya. Ia sedang demam. Tidak ada satu pun orang yang datang berkunjung.

Hasan berusaha tidur untuk menghilangkan rasa lapar dan demam di tubuhnya, tetap saja tidak bisa. Kepalanya sangat berat. Perlahan aroma bubur asyura tercium olehnya. Setetes air mata jatuh di pipi Hasan. Ia teringat ibu tahun lalu. Jika saja ibu Hasan masih hidup, ia pasti telah ikut menikmati bubur tersebut dengan lahap. Sayangnya ia kini sebatang kara. Bahkan saat ia sakit pun tidak ada yang peduli termasuk pamannya, Pak Mahmud.

***

Selepas Zuhur, setelah melaksanakan salat berjemaah, warga pulang ke rumah masing-masing. Pak Komar berpamitan pulang setelah bercakap-cakap dengan beberapa kepala desa. Tapi belum jauh melangkah, ia merasa heran dengan sebuah rumah kecil di samping rumah Pak Mahmud. Sejak tadi pagi sepertinya rumah Hasan itu belum terbuka, Ustaz Komar mulai berpikir, barangkali Hasan sedang tidak di rumah, bahkan di tempat Pak Mahmud juga tidak ada. Karena penasaran, ia mencoba mendekat.

“Assalamualaikum.”

Tidak ada sahutan. Rumah itu juga terlihat sepi. Hasan yang menggigil berusaha meraih gagang pintu tapi gagal. Ia gemetar sambil menahan sakit kepalanya, juga sakit perutnya lapar kian menjadi. Hasan tak kuat bergerak. Ia lunglai, tapi masih sadar. Ustaz Komar masih merasa penasaran. Sekali lagi ia mengetuk pintu dan mengucap salam.

“Assalamualaikum, nak Hasan apa kamu di dalam?”

Yang dipanggil berusaha lebih kuat untuk bangkit, tapi tak berdaya. Di samping kakinya terdapat rantang berisi nasi basi dua hari yang lalu. Ia berusaha meraih rantang tersebut dan berhasil menjatuhkannya, hingga terdengar suara gaduh.

Ustaz Komar terkesiap. Ia semakin penasaran dan mendobrak pintu. Sebentar saja pintu tua itu oleng hampir ambruk, hendak menimpa tubuh Hasan, untung saja sempat ditangkap oleh Ustaz Komar. Ia kaget melihat kondisi anak itu dalam keadaan sekarat. Bibirnya biru, tubuhnya pucat dan panas. Hasan terkulai lemah. Ustaz Komar langsung meminta bantuan warga untuk segera membawanya ke rumah sakit.

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Hasan ditemani Ustaz Komar. Ia terlihat lebih bertenaga karena dipasangkan infus. Pamannya, Pak Mahmud, meminta maaf dan menyesal karena mengabaikan keponakannya tersebut. Hasan tidak mempermasalahkan itu, bahkan Ustaz Komar memberi nasihat untuk Pak Mahmud agar tidak mengulangi hal yang sama. Sesibuk apa pun, mereka harus tetap saling peduli. Pak Mahmud hanya termangut-mangut.

Hasan di rawat di rumah sakit besar. Ia terkena tifes dan harus dirawat beberapa hari. Semua biaya akan ditanggung oleh Pak Mahmud selaku pamannya.

“Paman minta maaf, Le. Kamu dua hari tidak keluar rumah, paman kira kamu ikut bibimu yang ada di kota.”

“Tidak apa-apa, Paman. Hasan juga minta maaf merepotkan Paman.”

“Jangan begitu, mulai sekarang kamu harus tinggal sama paman saja ya.”

“Enggak Paman, Hasan sendiri saja. Nanti merepotkan bibi dan Paman.”

“Jangan begitu, kamu tidak punya siapa-siapa lagi, sekolahmu juga akan paman biayai.”

Mata Hasan berkaca-kaca. Ia sangat berterima kasih atas kebaikan Pak Mahmud padanya. Tapi apakah benar itu ketulusan, ia tiba-tiba saja meragukannya.

Sepulang dari rumah sakit, Hasan tinggal bersama Pak Mahmud. Ia juga akan melanjutkan sekolahnya yang tertinggal satu tahun. Pada suatu pagi, Hasan melihat bekas kawah yang dimasak warga untuk membuat bubur asyura. Ia meneteskan air mata setiap kali teringat kejadian tahun lalu. Ibunya meninggal karena sakit dan tidak memiliki uang untuk berobat. Bahkan pada hari itu warga juga sedang memasak bubur. Sang ibu ingin sekali memakan bubur asyura tersebut, tapi sayangnya persediaan telah habis. Setelah Hasan kembali, ibunya telah tiada. Sebuah genggaman kekar seorang lelaki menyentuh pundak Hasan tiba-tiba, membuat ia terperanjat.

“Kamu kenapa menangis?” tanya Pak Mahmud.

“Paman, bolehkan aku makan bubur asyura, beberapa minggu lalu Hasan tidak sempat menikmatinya, karena sakit.”

“Oh tentu, biar bibimu buatkan, sebentar ya.”

“Tidak perlu, Paman, biar Hasan yang buat.”

Hasan membuat bubur asyura dalam porsi cukup banyak. Ia dengan lihai meracik bumbu. Ilmu dari ibunya tetap ia ingat, bahkan ketika ibu Hasan hidup, biasanya menjadi pemasak utama bubur asyura di kampung adalah ibunya. Karena ibunya tidak ada, maka jadilah Istri Pak Mahmud sebagai pembuat bumbu utama tahun ini.

Selesai memasak bubur, Hasan mengundang beberapa tetangga terdekat dan Ustaz Komar untuk membacakan doa. Hasan juga berterima kasih kepada Ustaz Komar karena telah menolongnya. Ustaz Komar dengan bangga memuji masakan Hasan, bahkan beberapa tetangga tiba-tiba saja menyebut-nyebut ibu Hasan dan rindu masakannya.

“Bakat ibumu ada di dirimu Hasan. Ustaz bangga padamu.”

Pak Mahmud dan istrinya terlihat tidak senang. Ia sesekali nimbrung kepada para tetangga yang memuji masakan Hasan, bahwa ia juga yang menyiapkan bumbu. Tentu saja tetangga lebih percaya Hasan.

Karena bakat yang dimiliki Hasan, Ustaz Komar akan mendirikan rumah makan bubur asyura dan Hasan dipinta untuk menjadi kokinya, bahkan ia ditawari untuk tinggal di rumah Ustaz Komar. Dengan senang hati ia menerima tawaran itu. Hasan akhirnya pindah ke rumah Ustaz Komar. Mengenai biaya sekolahnya Hasan mendapat keringanan karena ia yatim piatu.

Hasan senang ia bisa bebas dari rumah pamannya tersebut. Ia tahu rencana busuk Pak Mahmud dan istrinya, karena iri terhadap ibunya yang memang selalu digunakan untuk acara-acara, sebagai pemasak utama, bahkan disewa sana-sini. Bahkan di saat ibunya sakit, pamannya tersebut sengaja tidak memberitahu warga dan membiarkan Hasan sendirian, hingga menjelang ibunya meninggal pun dan ingin memakan bubur asyura mereka tidak peduli. Katanya habis ternyata disimpan. Bahkan Hasan diberi nasi basi oleh Pak Mahmud yang menyebabkan ia sakit tifes.

Hasan tahu bahwa ia tidak diperlakukan tulus oleh paman dan bibinya. Sikap baik mereka hanya ingin menarik simpatik warga. Karena itulah Hasan memilih untuk tinggal bersama Ustaz Komar dan bekerja di sana. Semakin hari warung itu juga semakin ramai oleh pembeli karena bubur asyura Hasan yang terkenal lezat.

Meski disia-siakan oleh paman dan bibinya, Hasan tidak pernah dendam, ia tetap baik. Bahkan di saat ia tinggal di rumah Pak Mahmud, Hasan mendengar rencana istri dan pamannya itu untuk menambahkan obat diare ke dalam bubur Hasan yang ia buat waktu itu. Untung saja mereka tidak sempat melakukannya, sebab Hasan terlebih dahulu membuang sebuk itu ke tong sampah, sedikit lagi nama baiknya tercemar. Tapi Tuhan begitu baik dan memberikan petunjuk sebelum semuanya terjadi. Oleh sebab itulah Hasan sangat senang tinggal di rumah Ustaz Komar yang baik hati dan tulus. Ia juga sering berkunjung ke rumah pamannya sambil membawakan bubur buatannya, terserah mau dimakan apa tidak. Bagi Hasan, Pak Mahmud dan istrinya itu tetaplah keluarganya.

Riau, 2022.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan