Senggotan

3,055 kali dibaca

Jangan-jangan, generasi milenial, lebih-lebih yang tinggal di kota-kota besar nan modern, belum pernah mengalami rasanya menimba air dari sumur.

Mau mandi tinggal memutar atau memencet tombol kran, air akan muncrat dari shower dan mengguyur tubuh. Mau wudhu atau mencuci piring, juga tinggal memutar kran. Mau cuci kaki atau cuci tangan atau membasuh muka, juga tinggal memutar kran. Pendeknya, kita butuh air untuk keperluan apa saja, tinggal memutar kran. Beres!

Advertisements

Bahkan, seringkali kita tak tahu dari mana sumber airnya, atau jaringan pipanya. Yang kita tahu pasti hanyalah letak krannya. Bahkan, bisa jadi di antara generasi milenial malah ada yang tak pernah tahu atau melihat yang namanya sumur, atau timba, karena sejak orok sudah diguyur air hanya dari kran. Wajar jika kemudian ada yang belum pernah mengalami rasanya menimba air sendiri.

Tapi bayangkanlah orang-orang yang hidup di masa lalu, ketika masih belum ditemukan mesin pemompa air atau jet pump. Atau saat jet pump itu belum sampai pada masyarakat kita. Untuk memenuhi kebutuhan akan air merupakan persoalan tersendiri.

Hingga generasi yang lahir pada dekade 1960-an atau 1970-an, terutama yang tinggal di daerah perdesaan atau pedalaman, orang masih mengenal apa yang disebut senggotan. Ini alat untuk mengambil air dari kedalaman sumur dengan sistem katrol. Ia disebut sumur senggot —jika masih ada, orang sekarang menyebutnya sumur tradisional.

Peralatannya biasanya terbuat dari beberapa batang bambu. Dua batang bambu akan dipancangkan di tanah agak jauh dari sumur untuk dijadikan tiang penyangga. Sebatang bambu lagi, biasanya berukuran lebih panjang, dijadikan galah dan dikaitkan dengan bambu tiang penyangga. Pada galahnya, di sisi yang jauh akan diberi bandul pemberat. Bandulnya bisa berupa batu, batu bata, atau kayu. Timba akan diikat pada ujung lainnya, yang mengarah ke tubir sumur. Jadilah ia sumur senggot.

Dengan cara begitulah orang-orang dulu mengambil air dari sumur, kemudian disimpan di jeding atau bak mandi. Jika sumurnya dalam, maka kita akan bersusah payah untuk sekadar memasukkan timba ke dasar sumur, karena biasanya bandul pengungkitnya sangat berat. Seringkali galah pengungkitnya patah karena lapuk atau tak kuat.

Di rumah-rumah penduduk, di masjid-masjid atau langgar-langgar, juga di pondok-pondok pesantren, pada masa-masa dulu menggunakan sumur senggot seperti ini. Maka, ketika jam-jam orang harus mandi atau bersuci, kegiatan mengisi jeding atau bak mandi sudah seperti “perayaan” tersendiri. Ramai nian. Orang bergantian, bergotong royong, menimba air untuk mengisi bak mandi, jeding, atau padasan (tempat wudhu) di langgar-langgar, masjid-masjid, atau pesantren. Orang harus berkeringat dulu sebelum mandi atau bersuci.

Saya termasuk orang yang pernah menggunakan senggotan untuk “keperluan lain”. Waktu itu, saat masih SD, saya menjadi “anak langgaran”. Artinya, bersama teman-teman sebaya, saban malam saya tidur di musala. Tengah malam kami suka iseng. Membuat senggotan bukan untuk menimba air, melainkan untuk menjebak anjing liar yang suka mengendus-endus sisa makanan di lingkungan langgar.

Lalu, senggotan itu dikaitkan dengan tali untuk menjerat anjing dengan umpan tulang belulang atau makanan sisa. Anjing yang kena jebakan itu akan terjerat lehernya dan terangkat ke udara, dan mati… (saya merasa berdosa teringat keisengan masa kanak-kanak itu).

Tapi itulah bagian dari kisah masa lalu kita: sumur senggotan. Bukan hanya sumurnya, bahkan mungkin generasi milenial ada yang belum pernah mengenal atau mendengar kosa kata senggot atau senggotan. Itu bagian dari jejak kita yang nyaris musnah, dan sesekali kita perlu mengingatnya, atau mengenangnya, untuk sekadar nostalgia atau rekreasi dengan masa lalu.

Multi-Page

One Reply to “Senggotan”

  1. Kalau di rumah saya, senggotan itu bukan sistem katrol, tp sistem pengungkit. Sistem katrol biasanya hanya menggunakan tali (tampar dalam bahasa Madura) dengan katrol tetap yang dipasang di atas sumur dg dua tiang/pancang. Dan model tradisional seperti ini saat ini sudah sangat jarang untuk ditemukan, karena sudah diganti dengan sistem mesin air. Jadi, gotong royong sebagaimana dulu kita alami sudah semakin menghilang.

Tinggalkan Balasan