Senggotan

3,022 kali dibaca

Jangan-jangan, generasi milenial, lebih-lebih yang tinggal di kota-kota besar nan modern, belum pernah mengalami rasanya menimba air dari sumur.

Mau mandi tinggal memutar atau memencet tombol kran, air akan muncrat dari shower dan mengguyur tubuh. Mau wudhu atau mencuci piring, juga tinggal memutar kran. Mau cuci kaki atau cuci tangan atau membasuh muka, juga tinggal memutar kran. Pendeknya, kita butuh air untuk keperluan apa saja, tinggal memutar kran. Beres!

Advertisements

Bahkan, seringkali kita tak tahu dari mana sumber airnya, atau jaringan pipanya. Yang kita tahu pasti hanyalah letak krannya. Bahkan, bisa jadi di antara generasi milenial malah ada yang tak pernah tahu atau melihat yang namanya sumur, atau timba, karena sejak orok sudah diguyur air hanya dari kran. Wajar jika kemudian ada yang belum pernah mengalami rasanya menimba air sendiri.

Tapi bayangkanlah orang-orang yang hidup di masa lalu, ketika masih belum ditemukan mesin pemompa air atau jet pump. Atau saat jet pump itu belum sampai pada masyarakat kita. Untuk memenuhi kebutuhan akan air merupakan persoalan tersendiri.

Hingga generasi yang lahir pada dekade 1960-an atau 1970-an, terutama yang tinggal di daerah perdesaan atau pedalaman, orang masih mengenal apa yang disebut senggotan. Ini alat untuk mengambil air dari kedalaman sumur dengan sistem katrol. Ia disebut sumur senggot —jika masih ada, orang sekarang menyebutnya sumur tradisional.

Peralatannya biasanya terbuat dari beberapa batang bambu. Dua batang bambu akan dipancangkan di tanah agak jauh dari sumur untuk dijadikan tiang penyangga. Sebatang bambu lagi, biasanya berukuran lebih panjang, dijadikan galah dan dikaitkan dengan bambu tiang penyangga. Pada galahnya, di sisi yang jauh akan diberi bandul pemberat. Bandulnya bisa berupa batu, batu bata, atau kayu. Timba akan diikat pada ujung lainnya, yang mengarah ke tubir sumur. Jadilah ia sumur senggot.

Halaman: 1 2 Show All

One Reply to “Senggotan”

  1. Kalau di rumah saya, senggotan itu bukan sistem katrol, tp sistem pengungkit. Sistem katrol biasanya hanya menggunakan tali (tampar dalam bahasa Madura) dengan katrol tetap yang dipasang di atas sumur dg dua tiang/pancang. Dan model tradisional seperti ini saat ini sudah sangat jarang untuk ditemukan, karena sudah diganti dengan sistem mesin air. Jadi, gotong royong sebagaimana dulu kita alami sudah semakin menghilang.

Tinggalkan Balasan