Selawat Pertama Runa

2,570 kali dibaca

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarrakatuh. Selamat malam ukhti-ukhti semuanya. Nama saya Runa. Asal kota Bandung. Alasan mondok di sini karena direkomendasikan sama ustaz saya,” kata gadis berkerudung pink fanta itu.

“Malam juga ukhti Runa. Hua-ha-ha-ha-haaa,” teriak seorang santri di pojok belakang diiringi gelak tawa hampir seluruh isi kelas.

Advertisements

Runa yang awalnya terlihat ceria karena ditunjuk pertama oleh sang ustaz untuk memperkenalkan dirinya, mendadak sedih karena gelak tawa teman-temannya. Ada rasa marah, malu, dan campur aduk menjadi satu. Batinnya berontak, kenapa semua teman-teman barunya yang ada di kelas 1 Tsanawiyah C ini menertawakan dirinya.

“Sudah, sudah… Kok malah ditertawakan. Bagus, loh, Runa sudah mau memperkenalkan dirinya pertama kali,” kata Ustaz Farhan selaku wali kelas mereka.

Runa hanya menunduk, tapi hatinya tidak takluk. Dia memang tipikal orang yang bisa keras dengan keadaan. Sehingga perkataan yang akan membuat hatinya terpatahkan, tidak akan ia hiraukan.

Runa duduk bersebelahan dengan seorang gadis cantik bermata sipit.

“Hai Runa, aku Mela,” gadis itu memperkenalkan diri dengan sopan. Diiringi dengan uluran tangan, dia tersenyum dengan sangat menawan.

“Iya, Mela. Salam kenal. Mela darimana?” jawab Runa antusias. Di mata Runa, Mela terlihat berbeda dibanding dengan santri-santri yang lainnya. Dia terlihat anggun dengan setelan sarung pink gloyor, atasan tunik putih polos, dan kerudung pink dengan sedikit renda di pinggirannya.

“Aku dari Cilacap, Runa. Tau ndak? Hee.”

“Belum tuh. Jauh ndak dari sini?”

“Ya sekitar dua jam kalau naik motor. Kapan-kapan main, ya, ke rumah.”

“Wah, masyaallah, insyaallah, ya. Semoga diberi sempat oleh Allah untuk bisa shilaturahmi ke sana.”

Ternyata Mela adalah santri pindahan dari pondok pesantren di Jawa Timur. Ia memilih melanjutkan studi di Purwokerto karena baru saja diterima menjadi mahasiswa baru di sebuah universitas Islam di sini. Sama halnya Runa. Keduanya adalah mahasiswa baru prodi Pendidikan Agama Islam. Perbincangan keduanya berhenti sementara karena kontrak pembelajaran di kelas sedang dibacakan oleh Ustaz Farhan. Semua santri fokus mendengarkan penjelasan, dan beberapa mencatat di buku masing-masing yang masih kosong.

***

PENGUMUMAN
Dalam rangka menyambut kedatangan santri baru, pengurus pondok pesantren akan mengadakan “Orientasi Ta’aruf Santri (ORTASI)” yang akan dilaksanakan pada tanggal 10-13 September 2021. Untuk itu, seluruh santri baru diharapkan mempersiapkan dirinya untuk mengikuti rangkaian acara yang sudah diagendakan.
Agenda kegiatan (Terlampir).
TTd
Lurah Pondok

Pengumuman itu di-share di WA grup kelas. Runa membaca rangkaian acaranya dari hari pertama sampai selesai. Ada pengenalan sejarah pondok pesantren, pengenalan organisasi, program-program unggulan, ziarah, sampai penutupan yang dikemas dalam acara gema selawat simtudror.

“Selawat ? Apa mungkin seperti yang pernah aku lihat di Youtube itu?” Runa bergumam.

“Yeee, besok ada selawat yee,” teriak seorang mba-mba santri yang satu kamar dengan Runa. Namanya Mba Inayatul, dan biasa dipanggil Mba Inuy.

“Apa sih, Nuy. Biasa aja kali,” sahut Icha yang sedang asyik mengerjakan skripsinya.

Mba Icha dan Mba Inuy adalah dua orang yang dituakan di kamar itu. Mba Inuy adalah ketua kamar, sementara Mba Icha seksi keamanan kamar Khodijah di mana sekarang Runa berada.

“Ndak apa-apa, sudah lama banget kan kita ndak selawatan di halaman.”

“Emang kenapa kalau di halaman?”

“Yak an, bisa lihat santri tamvan. Ha-ha-ha…”

“Dasar!” kata Mba Icha sambil melemparkan bantal yang sedari tadi ia gunakan untuk sandaran duduk di tembok pojok.

Hari demi hari di pesantren Runa jalani dengan senang hati. Meski ada banyak hal aneh yang baru ia ketahui di sini. Seperti ziarah ke makam, tahlilan, wiridan, dan selawatan. Rasanya dia benar-benar memasuki dunia baru. Bagaimana tidak? Dia biasa mengaji dengan sistem halaqah. Mengkaji berbagai ilmu dari satu masjid ke masjid yang lain. Tidak ada guru tetap sebagaimana di pesantren yang baru dia masuki.

“Umi, Runa ndak betah di sini. Ngapa-ngapain ndak bebas kaya di rumah. Bahkan, Runa mau lanjut liqo di sini, ndak boleh. Padahal, kan Umi tahu, Runa tipikal orang yang ndak suka dikekang. Suka jalan-jalan, mengaji di outdoor, rutinan ODOJ (one day one juz), halaqah, liqoat, dauroh, jalsah ruhi, dll. Runa pengin pulang, Umi:(“

Pesan itu dikirimkan Runa kepada uminya di akhir bulan pertama mondo. Rupanya dia tidak betah di pondok barunya ini karena tidak sesuai background ngajinya dulu. Dirinya sedang berontak karena ada hal-hal yang membuatnya merasa direndahkan di sini. Di luar ekspektasi, pesan Runa hanya dibaca oleh uminya. Tak berbalas. Dia semakin dibuat sedih karenanya.

Runa teringat kejadian ketika dia masa ORTASI kemarin. Tepatnya pada hari ketiga di mana santri-santri baru melaksanakan kegiatan outdoor untuk mengenal lingkungan sekitar pondok. Sama halnya seperti kegiatan pramuka di madrasah, tapi ini lebih ringan. Di pos terakhir penjelajahan, satu tim diberi tugas untuk menyeberang sungai. Otomatis semua santri membuka sepatu dan kaus kakinya. Tapi tidak dengan Runa. Dia keukeuh dengan sepatu dan kaus kakinya. Menyeberang sungai yang besar bukan alasan bagi dia harus melepas sepatunya. Karena ia tahu, di seberang sungai itu ada dua orang ustaz yang akan memberi kejutan tugas untuk mereka. Prinsip yang sudah lama ia bangun tidak akan runtuh begitu saja. Meski teman-teman lainnya memberi saran untuk melepas sepatu dan kaus kakinya, Runa bergeming.

“Wah, mantap. Selamat sudah bisa memasuki pos terakhir dalam rangka ORTASI ini. Semuanya bisa duduk dulu di sini ya. Karena ini adalah pos terakhir, jadi tidak ada tugas mengerjakan soal. Hanya, ustaz ingin melihat semangat dan kekompakan kalian saja. Yel-yel ya…” kata seorang ustaz.

“Siap, Taz!”

Tim Runa pun menyanyikan yel-yel untuk pembangkit semangat mereka.

“Bagus, bagus. Yel-yel kalian sudah bagus dan semangat sekali. Hanya, ada satu yang masih belum kompak…” tatapan ustaz bersarung coklat itu melirik Runa. Dengan pandangan tidak suka, ia menatap aneh kepada Runa.

“Kenapa sepatu dan kaus kakimu ndak dilepas seperti teman-teman yang lain? Jadinya basah sendiri, kan,” kata ustaz tersebut dengan penuh selidik.

Runa hanya menunduk. Dia tidak bisa menjelaskan bagaimana itu sebenarnya prinsip yang sudah lama dia lekatkan kepada dirinya.

“Ndak apa-apa, ustaz,” jawab Runa dengan terus menunduk. Dia tidak mungkin menjelaskan bagaimana ketakutannya menampakkan auratnya di depan ustaz tersebut. Dia memilih diam untuk hal ini.

Begitulah hal-hal yang membuatnya semakin berontak dengan peraturan dan adat yang ada di pesantren ini.

***

“Nak, Ustaz Baha itu ustaz panutan keluarga kita sejak dahulu. Keilmuannya akan agama tidak mungkin diragukan lagi. Bukan hanya itu, ilmu kebatinan beliau sudah mumpuni. Pasti beliau tidak salah pilihkan kamu di pesantren itu saat ini. Ustaz Baha ingin kamu mempelajari Islam tidak radikal, Nak. Umi tahu kamu pasti berontak dengan keadaan di pesantren saat ini. Tapi kamu harus taat. Pondok pesantren itu berbeda dengan lembaga pendidikan yang lainnya. Nanti kamu akan paham, apa sebenarnya alasan kamu berada di situ. Peluk jauh dari Umi.”

Pesan itu dikirim Umi Hana bertepatan dengan jadwal selawatan di halaman, jadi belum sempat Runa membalas chat umnya.

“Runa, ayo! Buruan ke halaman, nanti ndak dapet tempat, loh,” ajak Mba Inuy dengan semangat mengajaknya ke halaman segera.

“Iya mbak, ini lagi make kerudung sebentar.”

“Oke, mba tunggu ya.”

Lima menit kemudian, selesailah Runa dengan dress putih dan kerundung putih pula. Dia berjalan bersama Mba Inuy menuju halaman. Tapi ada yang aneh baginya. Di jalan ia melihat banyak santri putri yang berdandan dengan tidak biasanya. Memakai lipstik, bedak, dan celak dengan mencoloknya. Mendadak dia teringat kata Mba Inuy, kalau di halaman bisa melihat santri tampan.

Astaghfirullah, kenapa suudzon ini terus meliputi hati kecilku,” Runa menggumam.

Selawat pun dimulai. Runa diajak Mba Inuy duduk di tengah-tengah lautan santri putri. Di halaman ini, santri putri dan putra menjadi satu tempat, tetapi tetap disekat. Melihat semangat dan kebahagiaan santri-santri yang lain, rasanya dia belum bisa menjadi seperti mereka. Sehingga Runa memilih banyak diam dan berpikir, bagaimana bisa mereka suka selawat seperti ini….

“Runa, kamu baru pertama kali ikut selawatan seperti ini ya ?” tanya Mba Inuy.

“Hee, iya mbak.”

“Ada sesuatu yang ingin kamu tanyakan?” tanya Mba Inuy dengan lembut. Tidak bar-bar sebagaimana di kamar, Mba Inuy terlihat lebih dewasa saat mengobrol berdua. Tatapannya begitu jujur dan penuh kasih sayang.

“Mba, kenapa sih, banyak yang berdandan mencolok di acara selawatan ini? Mereka kan bisa kelihatan sama santri putra?”

Mba Inuy tersenyum.

“Niat itu ada di dalam hati, Runa. Kita seperti ini karena berniatkan bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad. Jadi kita berusaha secantik mungkin. Sebagaimana mereka yang di luar sana yang hendak bertemu kekasih, tentu memakai pakaian dan berdandan secantik mungkin untuk kekasihnya. Dan malam ini, kita akan bertemu kekasih sejati, bagaimana kami tidak mempercantik diri,” jawabnya.

Runa tertohok dengan jawaban Mba Inuy.

“Lalu, kenapa kita di acara puncak malah selawatan. Ndak pengajian atau lainnya?”

“Karena majelis-majelis selawat adalah majelis cinta. Kamu tahu, selawat itu ibadah yang sungguh luar biasa. Coba deh, salat, zakat, puasa, haji, apakah Allah melakukan ibadah itu semua?”

“Tentu tidak Mba.”

“Tapi lihatlah, dalam Al-Qur’an surah at-Taubah, disebutkan bahwasanya Allah pun ikut berselawat kepada Nabi Muhammad. Betapa istimewanya selawat, bukan?”

Tetiba Runa meneteskan air mata. Berduka atas hatinya yang penuh buruk sangka dan betapa bodohnya ia soal ilmu agama.

ilustrasi: pinterest.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan