Sejarah Kita, Sejarah Siapa

637 kali dibaca

“Jangan! Jangan kau ungkit-ungkit lagi (sejarah) masa lalu itu! Jika membuka-buka masa lalu, kau akan kehilangan sebelah matamu.”

Akan tetapi, “Jika melupakan masa lalu, kau akan kehilangan kedua belah matamu.

Advertisements

Itu kutipan dari peraih Nobel Sastra asal Rusia, Aleksandr I Solzhenitsyn, dalam bukunya yang sangat monumental: The Gulag Archipelago 1918-1956. Kutipan itu ada dalam pengantarnya, bukan pada isi bukunya yang memang menelanjangi sejarah kelam Rusia (Soviet) di bawah ketidakturan dan kegilaan Stalin. Tapi Gulag bukan buku sejarah, melainkan kesaksian suatu peristiwa yang akan menjadi sejarah.

Melalui kutipan itu, yang disebutnya berasal dari pepatah Rusia, Solzhenitsyn seakan mengingatkan bahwa sejarah seringkali menempatkan kita, orang-orang yang hidup lama setelahnya, dalam posisi yang sulit, dilematis, terpojok. Membuka lembaran-lembaran lama akan membuat kita kehilangan sebelah mata. Melupakannya membuat kita buta.

Itu karena sejarah tak selalu hadir sesuai dengan apa yang diharapkan atau dipikirkan banyak orang. Seringkali ia justru menyakitkan. Apalagi jika benar bahwa, konon ini ungkapan dari Winston Churchill, sejarah selalu ditulis oleh para pemenang.

Pada masa-masa sulit, di mana orang saling tak percaya dan kehilangan respek, sejarah selalu menjadi perkara yang sangat sensitif. Itulah kenapa, ketika baru-baru ini ada rumor pemerintah Indonesia akan melakukan penyederhanaan kurikulum pendidikan sejarah di sekolah-sekolah, orang ramai malah memperdebatkan hal yang bukan-bukan: buku-buku sejarah akan dibuang ke tong sampah; pendidikan sejarah tak lagi diajarkan di sekolah. Dan kita, sebagai bangsa, akan kehilangan sejarah.

Pokok soal yang substansial sebenarnya bukan itu. Kita seringkali tidak adil memperlakukan sejarah, ketika sejarah dibaca dari kaca mata waktu yang berbeda, ketika sejarah tidak (lagi) sesuai dengan apa yang kita pikirkan dan bayangkan, dan ketika sejarah tidak (lagi) sesuai dengan masa depan yang kita rencanakan.

Contoh kecilnya adalah kekonyolan seperti ini: Cut Nyak Dhien, pahlawan nasional dari Aceh yang dalam buku-buku sejarah digambarkan mengenakan pakaian tradisional dengan rambut disanggul (bun top knot) dianggap sebagai penyesatan. Padahal, sebagai muslimah yang taat, Cut Nyak Dhien (dibayangkan) selalu berhijab. Orang lupa bahwa di zaman itu belum dikenal hijab, jilbab, atau cadar.

Contoh kekonyolan lain adalah seperti ini: banyak orang mulai mengkampanyekan penolakan terhadap episode kelam Kesultanan Mataram berupa pembantaian terhadap 6000 ulama yang dianggap atau dicurigai menentang kekuasaan Raja Islam itu, Amangkurat I. Alasannya masuk akal dalam kaca mata kekinian: mana mungkin seorang sultan dari kerajaan Islam membunuhi para ulamanya. Orang mungkin lupa bahwa di zaman itu, eranya raja-raja berkuasa, perang dan pembunuhan adalah suatu “kelaziman”. Itu juga yang mewarnai hampir di setiap pergantian kekhalifahan dalam sejarah Islam.

Orang kemudian mengeluh: sejarah kita penuh dengan kekerasan. Kelam nian. Tapi begitulah sejarah. Mengingkarinya akan memunculkan tragedi, atau juga komedi.

Misalkan seperti ini: selama bertahun-tahun, Kerajaan Arab Saudi begitu bangga pernah menjadi bagian dari Kekhalifahan Ottoman —yang telah runtuh pada awal abad ke-20. Dan itu tercantum dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah.  Karena, memang, di masa keemasan kekhalifahan Islam terakhir itu, Arab Saudi menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kekhalifahan Ottoman.

Tapi, rupanya sejarah itu dianggap tak sejalan lagi dengan entah apa rencana Arab Saudi. Maka, penguasa di sana lalu sibuk mengubah narasi buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah. Kekhalifahan Utsmaniyah, yang sebelumnya dinarasikan sebagai warisan kepahlawanan bagi dunia Islam, untuk sekarang dan entah sampai kapan diposisikan sebagai penjajah bagi bangsa penjaga dua tempat suci itu.

Jika kita membuka lembaran-lembaran buku sejarah yang mungkin sudah berbau apek atau tengik, tahun 1744 dan 1824 adalah kisah tentang Kekhalifahan Utsmaniyah yang sibuk membasmi gerombolan bandit pembuat onar di tanah suci yang dijaganya. Tapi, kini, pentarikhan yang sama pada lembar-lembar buku sejarah yang beraroma dupa dan baru ditulis dengan tinta emas menyebut itulah masa penjajahan yang dilakukan penguasa Ottoman, di mana imam terakhir mereka, Abdullah bin Saud, dibunuh tentara sang khalifah. Generasi baru Arab Saudi harus tahu bahwa Kekhalifahan Utsmaniyah, yang kini menjadi Turki, adalah sang penjarah dan penjajah.

Nun jauh di sana, penguasa Arab Saudi sedang menghapus bayang-bayang kekuasaan Kekhalifahan Utsmaniyah. Tapi di sini, di waktu yang sama, ada yang mencoba menghadirkan bayang-bayang itu melalui apa yang disebut sebagai “film sejarah”: Jejak Khilafah. Kerajaan-kerajaan di Nusantara, yang tadi dikeluhkan karena telah mengisi lembar-lembar buku sejarah yang penuh dengan kekerasan, dinarasikan sebagai bagian dari imperium Kekhalifahan Utsmaniyah.

Dunia yang terbalik, bukan? Tragedi atau komedi?

Begitulah sejarah. Ia tak pernah hadir dengan kesempurnaannya. Ia hanya berusaha hadir seperti apa adanya. Jujur dan adil dalam menerima kenyataan sejarah akan menunjukkan siapa kita. Dan itu, seperti diingatkan Solzhenitsyn, bisa menyebabkan hilangnya sebelah mata, atau malah keduanya.

Multi-Page

One Reply to “Sejarah Kita, Sejarah Siapa”

Tinggalkan Balasan