Seekor Burung dan Seorang Pengemis

847 kali dibaca

Ia menghadapi hari-hari dengan ketakutan dan kelaparan. Tubuhnya kurus dan gemetar, terlebih saat ia dengar suara jerit mesin kayu, disusul tumbangnya pohon-pohon. Bulu-bulunya serabut dan kusam. Setiap waktu selalu ada yang rontok melayang diembus angin sebelum akhirnya jatuh mendekap tanah dan ia menatapnya dengan mata penuh kesedihan—mengingatkanya pada rumah idamannya yang berupa ranting rindang dari pohon-pohon yang kini selalu ditebang. Sepasang kakinya rapuh menapak batu; tampak kotor oleh sisa lumatan debu dari tanah yang ia pijak saat mencari makan.

Sebenarnya ingin sekali ia hinggap di ranting agar kakinya bersih seperti nenek moyangnya di masa lalu, tapi baginya ranting adalah sebuah kemewahan yang dalam mimpinya pun kini tak pernah ada. Paruhnya yang tirus dan nyaris pecah, baru sekali mematuk sebutir biji kendung di impitan batu cadas sebelum ia tertatih-tatih atau kadang terbang rendah dan lunglai, menyeberangi bentang tanah gersang hingga tiba di sisi seorang pengemis yang berteduh di tenda darurat yang terbuat dari terpal. Ia melihat ujung roti yang penuh sisa gigitan semut menyembul dari saku pengemis itu.

Advertisements

“Oh, betapa enaknya,” ia menelan ludahnya sendiri. Mulai berusaha beranjak sedikit mendekat dengan sekali kepak sayapnya yang lemah. Menjulur-julurkan paruh sambil mengeluarkan suara yang sudah terdesak serak.

Si pengemis menoleh ke arahnya. Ia merasa antara aneh dan terhibur. Terbersit dalam hatinya untuk membawanya pulang dan memeliharanya, tapi kemudian ia berubah pikiran. Ia bangkit, memanggul karung, dan meninggalkan burung itu begitu saja setelah tangan kirinya menekan roti di sakunya itu hingga tak tampak.

Sebagaimana burung malang itu, si pengemis lantas melangkahkan kaki dengan sedikit tenaga yang tersisa karena sesiang itu ia hanya bisa mengunyah selembar kerupuk pemberian tukang becak yang tersisa dalam kemasan plastik sobek.

Burung kecil itu berbunyi dan melompat ke arah si pengemis sampai nyaris menyentuh tumitnya. Si pengemis menoleh ke bawah. Sepasang matanya beradu tatap dengan sepasang mata burung itu. Nganga paruhnya—yang sesekali melantunkan bunyi—sama keringnya dengan mulut si pengemis itu.

“Tolong bawa aku, Kawan. Aku ingin minta rotimu nanti setelah kau tiba di rumahmu. Selain itu, aku juga butuh tempat yang aman dan damai,” ucap burung itu pada si pengemis.

Tentu saja si pengemis tak memahaminya selain hanya bunyi biasa lazimnya burung lain. Tapi ia tersenyum, lalu jongkok, tangan kanannya meraih burung itu dengan lembut, dan tangan kirinya mengusap pelan bulu-bulunya dengan gerakan yang lebih lembut lagi. Burung itu merasa nyaman laiknya hidup dalam dekap si induk. Kedua matanya berkedip pelan, menikmati setiap usapan. Ia merasa baru bertemu kedamaian dan kehangatan.

“Kamu jangan mengikuti langkahku wahai burung! Aku hidup dalam kesengsaraan. Aku tak ingin kau hidup sengsara sepertiku,” ucap si pengemis lirih, bibirnya begitu dekat dengan telinga burung itu. Si burung hanya melihatnya menggerakkan mulut; tak kuasa memahaminya. Ia masih yakin; dirinya akan dibawa si pengemis itu ke rumahnya. Diberinya makan. Diberinya perindungan.

“Hei! Cepat tinggalkan tempat ini!” seorang lelaki jangkung seketika memecah suasana. Satu tendangan membuat si pengemis terhuyung jatuh. Mulutnya mengaduh sambil mengelus pahanya yang sakit. Burung itu terlempar dan merasakan derita yang sama dengan si pengemis saat tubuhnya terpelanting ke tanah kering.

“Di sini akan dibangun hotel kelas mewah. Orang sepertimu tak pantas tinggal bersama kami. Cepat pergi!” suara lelaki jangkung semakin keras.

Ia kembali mendekati si pengemis seperti hendak menyakitinya lagi. Si pengemis perlahan bangkit meski sambil menahan rasa sakit. Ia melangkah tertatih. Bibirnya mengaduh dan gemetar. Roti yang semula tersimpan di sakunya jatuh ke tanah, tepat berguling pelan ke dekat si burung. Spontan paruh burung itu penuh liur dan ambil aba-aba untuk mematuk. Tapi tangan si pengemis sigap memungutnya.

“Bagi dua saja ya!” suaranya lirih dan ramah.

Lelaki jangkung itu segera merampas roti dan menginjaknya dengan memutar-mutar ujung sepatunya hingga roti itu hancur menjadi bubur, menyatu dengan tanah. Si pengemis menangis. Burung itu pun demikian. Keduanya dalam derita yang sama meski satu sama lain tak memahaminya. Sebentar kemudian, bentakan lelaki jangkung mengharuskan si pengemis benar-benar pergi, tertatih, memanggul karung, tubuhnya dijarum terik.

Burung itu berbunyi dengan sisa suara kecilnya sambil menggelepar-gelepar tak berdaya. Tanpa diduga, lelaki jangkung memungut tubuh si burung dengan genggaman yang agak erat. Burung itu tak bisa bergerak selain pasrah. Ia mengamati burung itu dari jarak dekat. Si burung semakin gemetar saat dekat dengan kedua mata lelaki itu yang lebar, dan di kedalaman mata itu, si burung melihat banyak pohon-pohon yang ditebang. Lelaki jangkung itu kemudian meleparkan burung yang digenggamnya ke udara. Ia mengira burung itu bisa terbang.

***

Selepas subuh, si burung tak menyangka dirinya masih hidup. Tubuhnya diliputi rasa sakit yang amat mendera. Ia berada di tengah tumpukan besi bahan bangunan yang teramat dingin karena semalam diricik embun. Dadanya sakit dan sesak. Kini, baginya pagi baru adalah derita baru.

Si lelaki jangkung dan sebagian temannya masih mendengkur di bawah tenda, sebagian yang lain menyiapkan makan pagi, ada yang menyiapkan alat-alat. Dua buah truk dengan suara sekarat datang penuh muatan material bangunan. Matahari perlahan muncul; piatu di balik kawat yang tegak mengakar ke dasar beton.

Sepagi itu sisa pohon di bagian barat bangunan kembali ditebang dengan suara mesin yang memekik. Si burung yang hanya bisa menggerakkan leher di pisau kenangannya sendiri; tak ada lagi kicau bersama, tak ada lagi kedamaian, dan keteduhan. Semua terampas keserakahan manusia.

“Andai pengemis itu datang lagi, hanya kepadanya aku bisa mengadu, sebab kedua matanya memancarkan keteduhan dan pembelaan kepada lingkungan, meski aku tak bisa memahami bahasanya.”

Belum purna si burung bergumam, seorang pekerja yang lumayan punya empati mengambilnya dengan menangkupkan tangan, lalu ditaruh perlahan pada pokok kayu yang menghitam sisa dibakar. Di pokok kayu itu, karena desak keterpaksaan rasa lapar, ia pun bermutasi dari pemakan biji pada pemakan serangga; mematuk dua ekor semut yang mungkin juga masih lapar. Si burung tak bisa menahan duka. Ia seperti menangis.

“Manusia terlalu memikirkan dirinya sendiri,” ia berkata entah kepada siapa.

Burung itu hanya bisa sedikit menggeser tubuhnya perlahan begitu matahari meninggi. Mesin kayu semakin riuh. Sebagian orang sibuk menebang pohon, sedang sebagian yang lain sibuk melanjutkan pembangunan gedung. Si burung—dengan bahasanya sendiri dalam bentuk kicau sederhana—berteriak minta tolong. Tapi tak ada yang peduli. Terik matahari terus saja mendera tubuh si burung di datar pokok kayu yang sudah berupa setengah arang itu.

Ketika si burung masih menjerit sia-sia, tiba-tiba terdengar kegaduhan. Burung itu perlahan melirik asal kegaduhan itu terjadi. Ternyata pengemis yang kemarin datang lagi. Ia sedang diadang oleh dua orang petugas untuk segera pergi. Tapi tetap memaksa.

“Mohon izinkan saya sebentar mencari seekor burung yang kemarin datang mendekati saya dalam keadaan tak berdaya. Aku yakin ia pasti masih ada di sekitar sini,” pinta lelaki itu agak memelas. Si burung yang tidak mengerti maksudnya hanya bisa menggerakkan paruhnya yang sudah tak bisa bersuara. Ia ingin ikut pengemis itu dengan harapan bisa menemukan makanan yang mungkin si pengemis punya.

Kegaduhan terus terjadi, menarik perhatian banyak orang. Beberapa bogem mengenai tubuh si pengemis hingga ia membungkuk menahan rasa sakit. Tapi ia masih tak beranjak sedikit pun. Suaranya yang dalam terus minta izin untuk mencari burung yang dijumpainya kemarin. Kegaduhan itu baru berakhir ketika seorang pekerja yang tadi menaruh burung itu di pokok kayu mengambilnya kembali, lalu diberikannya kepada pengemis itu.

Si pengemis itu pun pulang dengan penuh kegembiraan. Sepanjang perjalanan, berkali-kali ia mengamati burung yang tergenggam tangan kanannya sambil sesekali ia kecup. Sedang burung itu merasa damai berada di genggaman si pengemis.

Setiba di gubuk kecilnya yang terbuat dari bambu yang sebagain besar dindingnya berlubang oleh kunyahan rayap, si pengemis memasukkan burung itu ke dalam sangkar kecil yang terbuat dari bambu. Semula burung itu terkejut dengan rumah barunya yang sempit. Tapi kemudian ia berusaha menerima apa yang terjadi. Ia merasa rumah sempit itu hanyalah satu-satunya pilihan yang lumayan ramah terhadap takdir hidupnya daripada hutan yang kehilangan pohon dan tanahnya dibangun gedung-gedung.

Pengemis itu memincuk senyum teduh, beriring sepasang mata yang berbinar begitu ia lihat burung itu lahap mematuk biji-biji kendung yang ia sediakan pada dasar botol bekas yang dipotong menyerupai lepek. Si burung serasa masuk surga, berharap hari-harinya akan bahagia hidup dengan pengemis itu dalam keadaan aman dan kenyang. Ia tidak tahu bahwa yang ada di dalam pikiran pengemis itu nanti—setelah burung itu sehat—adalah menjagalnya untuk mengganjal perutnya sendiri yang juga sering lapar. Si pengemis itu juga tidak tahu keesokan harinya, kelaparan yang terus mendera mengantarnya ke gerbang maut yang membuat kematiannya hanya ditemani seekor burung.

ilustrasi: pengemis, affandi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan