Sebelum dan Setelah Monolog Itu…

1,195 kali dibaca

Meskipun masih ada kekurangan dan ketaksempurnaan, pertunjukan Monolog “Negeri Sarung” itu sungguh terasa wah. Mewah. Bahkan terlalu mewah untuk ukuran jejaring duniasantri. Banyak yang geleng-geleng kepala, berdecak kagum, betapa jejaring duniasantri yang baru seumur jagung bisa menyelenggarakan acara sebergema itu, semenarik itu, seunik itu. Dan memperoleh liputan media yang begitu luas.

Hingga tiba acara potong tumpeng, nyaris tak ada pengunjung yang beranjak dari kursi selama tiga jam. Bahkan, seorang Rachmad Gobel pun harus “menyesuaikan” jadwalnya. Semula, Wakil Ketua DPR RI itu dijadwalkan akan langsung meninggalkan tempat usai memberikan pidato kebudayaan. Sebab, ia harus terbang keluar kota untuk kegiatan yang sudah diagendakan cukup lama. Nyatanya, bersama Ibu Hj Sinta Nuriyah Wahid, Rachmad Gobel justru termasuk tokoh yang paling akhir meninggalkan lokasi pertunjukan, setelah turut merubung tumpeng. Itu pun setelah meninggalkan catatan “harus ada lagi yang lebih besar” dan ia berjanji akan datang lagi ke acara duniasantri.

Advertisements

Lalu Lintas Ide

Saya, bagian terkecil dari penyelenggaraan acara itu, begitu terharu saat melepas tokoh-tokoh dan ratusan pengunjung meninggalkan lokasi pertunjukan. Senyatanya, baru pada detik-detik akhir kami menyadari, bahwa acara yang kami gagas itu boleh dibilang tergolong besar. Spektakuler. Karena, senyatanya, semua bermula dari dan disulam oleh obrolan-obrolan kecil.

Sekitar kurang dari tiga bulan sebelumnya, pengurus jejaring duniasantri mengadakan rapat kerja. Salah satu pokok bahasannya adalah soal merayakan ulang tahun (ultah) yang ketiga. Jika ultah pertama ditandai dengan penerbitan buku, ultah kedua hanya tumpengan karena dalam situasi pandemi, maka ultah ketiga harus ditandai dengan sesuatu yang berbeda lagi. Tapi, seperti apa “sesuatu” itu masih belum terbentuk gambarannya.

Suatu hari, saya dan Daniel K sedang makan siang bersama sejumlah kawan. Sehabis makan siang, saya diajak mampir ke sebuah galeri seni rupa di bilangan Jatinegara, Jakarta Timur. “Sudahlah, kita ngopi-ngopi di sana saja. Pasti cocok nanti,” ajak Koh Kumala Wijaya, salah satu teman makan siang kami.

Benar saja. Sebuah rumah di bilangan Jatinegara itu memang dijadikan geleri seni rupa. Di sanalah saya berkenalan dengan si empunya galeri, Kaisar Nuno. Pelukis impresionis ini banyak memajang karyanya di situ, dan sebagian besar subjeknya adalah tokoh-tokoh nasional. Ada lukisan KH Hasyim Asya’ari dan Mbah Moen, misalnya.

Tentu saja kami terlibat obrolan yang intens dengan Kaisar Nuno. Tentu saja salah satu yang saya “pamerkan” dalam obrolan itu adalah duniasantri, lengkap dengan berbagai agendanya, dengan berbagai impiannya. Seperti kebanyakan penulis/kontributor duniasantri, Kaisar Nuno juga merasa menemukan dunianya.

“Kita harus berkolaborasi, harus berjejaring, berbuat sesuatu untuk negeri kita,” kata Kaisar Nuno dengan wajah sumringah. Hingga saat kami berpamitan, belum ada gambaran seperti apa kolaborasi dan jejaring yang saya tangkap dari kalimat Nuno.

Dua atau tiga hari kemudian, Daniel K mengenalkan saya pada seseorang saat makan malam di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan. Seseorang itu adalah Yayat Nur Hidayat. Yayat adalah orang yang lama berkecimpung di dunia kreatif dan marketing komunikasi. Setelah menceritakan tentang dirinya dan perjalanan hidupnya, di sela seruputan kopi, Yayat Nur Hidayat ingin mendengarkan langsung dari mulut saya apa itu duniasantri.

Seperti kepada Nuno, kepada Yayat saya juga menceritakan tentang duniasantri, lengkap dengan berbagai agendanya, dengan berbagai impiannya. Mendengar cerita itu, Yayat merasa dirinya seperti terlempar ke masa lampau yang jauh, ke masa-masa saat dirinya menjadi bocah santri langgaran. “Terus terang, sudah lama saya merindukan dunia seperti itu. Dunia penuh kedamaian,” kata Yayat yang juga ingin menjalin kebersamaan dengan duniasantri.

Tapi hingga kami berpisah malam itu, juga belum ada gambaran kebersamaan seperti apa yang dapat kami bangun.

Tak lama kemudian, ketika pengurus jejaring duniasantri kembali mengadakan rapat, saya mengundang Kaisar Nuno dan Yayat Nur Hidayat untuk turut serta. Meskipun belum ada gambaran utuhnya, namun keduanya bersepakat untuk terlibat dalam program-program kegiatan jejaring duniasantri, terutama untuk perayaan ultah yang ketiga ini.

Sejak itu, kami berempat sering menyisih ke galeri Nuno, dan berpura-pura menjadi “tim kreatif” untuk perayaan ultah yang ketiga ini. Dalam diskusi kecil di galeri Nuno, Yayat menyemburkan unek-uneknya. Menurut Yayat, jika perayaan ultah hanya diisi acara seremonial dan potong tumpeng, akan booring dan tak punya efek apa-apa. “Harus ada sesuatu, mungkin sebuah pertunjukan yang unik,” katanya.

Kami bersetuju soal itu, tapi apa? Dari Yayat muncul ide “monolog”. Tapi cerita tentang apa? “Pokoknya tentang sarung,” kata Nuno. Soalnya, di matanya, santri identik dengan sarung. Dan sarung merupakan produk budaya Nusantara.

Tapi apa yang hendak diceritakan tentang sarung ini dalam sebuah monolog? Yang menarik? Antara monolog dan sarung masih terjeda “kekosongan”. Harus ada kata yang menjadi penjelas, penyambung, dan punya daya tarik. Lalu lintas kata dan ide pun berhamburan begitu riuh, namun begitu lama dirasa belum ada yang cocok.

Tetiba saya berteriak, “Negeri! Negeri sarung.” Yayat langsung berdiri, “Nice. Good. Cocok. Thank you. Kita akan bikin pertunjukan Monolog Negeri Sarung.” Yayat kemudian menuliskannya ke dalam papan dengan spidol. Di HP saya, foto papan tulis itu bertanggal 20 Juli 2022.

Tapi siapa yang akan bermonolog? Banyak aktor tenar yang biasa tampil dalam pertunjukan monolog. Contoh yang paling mudah adalah Butet Kartaredjasa atau Happy Salma. Tapi sedari mula yang kami cari adalah aktor yang berdarah santri. Maka ketemulah satu nama yang dirasa pas bener: Inayah Wulandari Wahid, putri bungsu KH Abdurrahman Wahid.

Isyarat alam sepertinya Tuhan memberi rida. Esoknya, tanpa sengaja, Yayat bertemu dengan Inayah Wahid saat menghadiri pemutaran film dokumenter Pesantren yang diproduseri Lola Amalia. Tak buang kesempatan, rencana mengundang Inayah untuk bermonolog di “Negeri Sarung” pun disampaikannya. Dan Inayah mengangguk.

Gagasan menggelar pertunjukan Monolog “Negeri Sarung” itu pun dibawa ke rapat pengurus jejaring duniasantri pekan berikutnya. Tak sekadar monolog, pertunjukannya malah diperluas dengan menghadirkan grup musik Ki Ageng Ganjur dan painting live performance dari Kaisar Nusa. Ide-ide lanjutan terus bermunculan. Yayat menawarkan pameran seni instalasi rumah sarung dan sarung memorabilia. Nuno mengajukan pameran lukisan tokoh-tokoh pesantren, dan ia sanggup melukisnya dalam waktu singkat.

Tentu saja, bagi jejaring duniasantri, apa yang sedang digagas ini merupakan pekerjaan besar dan sebagai pengalaman pertama. Bukan cuma besar acaranya, tapi juga biayanya. Karena itu kami menggandeng dan bekerja sama dengan Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI) dan kemudian membentuk kepanitiaan bersama. Bahkan, kami juga menggandeng tim show management yang profesional.

Dukungan Mengalir

Ketika konsep sudah matang dan tanggal serta tempat pertunjukan diputuskan, jejaring duniasantri segera mengabarkan rencana ini ke berbagai kalangan. Dukungan kemudian mengalir dari berbagai kalangan itu, baik dari pribadi-pribadi maupun institusi- institusi. Dari Kota Surabaya, misalnya, salah satu produsen sarung terbesar di Indonesia, PT Behaestex, mengirimkan 100 buah sarung ciamik yang kemudian dijadikan Rumah Sarung itu.

Juga, banyak institusi baik lembaga pemerintah maupun swasta memberikan dukungan berarti. Dari lembaga negara ada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Dari swasta ada Maritus Lines, Kapal Api, dan Ultima II. Dukungan juga datang dari PT Kereta Api Indonesia.

Yang membanggakan adalah dukungan yang datang dari tokoh-tokoh dan para aktor yang menjadi bagian dari pertunjukan. Ibu Sinta Nuriyah, KH Said Aqil Siradj, Wakil Ketua DPR RI Rachmad Gobel, dan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Marsudi Syuhud adalah tokoh-tokoh yang sejak awal memberikan dukungan dan bersedia hadir.

Sementara itu, para aktor mempersiapkan diri seoptimal mungkin agar mampu memberikan pertunjukan yang terbaik. Inayah Wahid dan Kang Zastrouw menyuguhkan monolog dan tawashow. Kemudian ada Muhammad Shalahuddin alias Ra Mamak dari Sumenep datang untuk menyiapkan naskah monolog untuk Inayah Wahid dan Abdullah Wong sebagai narator pertunjukan.

Yang mengharukan sekaligus membanggakan adalah ketika pameran sarung memorabilia akhirnya terwujud. Pameran sarung memorabilia ini memang dimaksudkan untuk mendukung pameran lukisan tokoh-tokoh pesantren. Tidak gampang, misalnya, untuk bisa meminjam sarungnya Mbah Moen atau Gus Dur atau tokoh-tokoh lainnya. Beruntung, Kang Zastrouw punya “jalan santri” yang bisa ditempuh. Akhirnya, sejak 22 hingga 27 Agustus 2022 itu, belasan sarung memorabilia para tokoh itu bisa dipamerkan bersama lukisannya.

Setelah Monolog

Pertunjukan Monolog “Negeri Sarung” ini sesungguhnya terbangun dari lima elemen yang menjadi satu kesatuan dalam sebuah cerita. Cerita tentang Negeri Sarung yang disuguhkan dalam beragam gaya. Kelimanya adalah monolog, tawashow, painting live performance, puisi, dan musik (Ki Ageng Ganjur). Nyaris saja dua elemen terakhir batal menjadi bagian dari pertunjukan.

Semula, pertunjukan ini akan digelar pada 20 Agustus. Namun, dengan pertimbangan waktu untuk persiapan terlalu mepet, saya minta dimundurkan ke tanggal 27 Agustus —dan belakangan saya baru tahu itu merupakan tanggal ulang tahunnya Kang Zastrouw. Semua, dengan pede-nya, setuju dengan pengunduran tanggal itu.

Rupanya, jauh sebelumnya, grup musik Ki Ageng Ganjur telah berkontrak dengan pihak lain untuk berpentas pada tanggal yang sama. Kami langsung “ciut” karena akan kehilangan satu elemen penting dalam pertunjukan itu.

Lagi-lagi, Kang Zastrouw harus menempuh “jalan santri”, berkomunikasi langsung dengan pengontrak. Alhamdulillah, pihak yang lebih dulu mengontrak  Ki Ageng Ganjur “mengalah” dengan menggeser waktu. Dengan catatan, Ki Ageng Ganjur yang bermarkas di Yogyakarta ini baru bisa tiba pada dini hari di hari pertunjukan, sehingga tak bisa mengikuti gladi resik. Dan harus bergladi sendiri beberapa jam sebelum acara dimulai, menyesuaikan dengan skenario pertunjukan.

Sementara itu, elemen puisi juga nyaris hilang karena hingga H-2 puisinya belum ada. Begitu pun dengan pembaca puisinya. Sejak awal, saya yang paling ngotot agar yang membaca puisi adalah santri, dan puisinya adalah puisi-puisi yang pernah dimuat di duniasantri.co. Maka, tanggung jawab untuk menyiapkannya ada di pundak saya.

Hingga saat-saat akhir itu, setelah membaca-baca kembali puisi-puisi yang termuat di duniasantri.co, belum ada puisi yang cocok, yang bertema sarung dan sesuai dengan ide cerita pertunjukan. Kalau sekadar sajak bertema sarung banyak, misal “Di Bawah Kibaran Sarung” karya penyair kondang Joko Pinurbo. Tapi itu bukan puisi yang ditulis oleh santri untuk duniasantri.co.

Ini soal yang mencemaskan buat saya. Sudah dua kali gladi, tapi elemen puisi belum bisa masuk. Kang Zastrouw dan Yaya Nur Hidayat bolak-balik nagih: mana pembaca puisinya? Dan saya haras berpura-pura tidak cemas. “Ada. Pasti siap nanti.”

Ndilalah, di tengah kecemasan itu, ada notif submit naskah puisi ke duniasantri.co dari Khanafi, kontributor duniasantri.co dari Yogyakarta. Puisi berjudul “Percakapan Sarung dan Jilbab” itu langsung saya bacakan di depan sejumlah teman. “Cocok,” serentak mereka berkomentar. Detik itu juga, puisi itu dirilis di duniasantri.co.

Tapi itu belum cukup. Sebab, dari tiga judul puisi yang dikirim Khanafi, baru satu yang dianggap cocok untuk menjadi bagian dari pertunjukan. Praktis, dua hari menjelang pertunjukan, baru ada satu puisi dan juga belum ada pembacanya. Ndilalah lagi, di H-1, ada submit puisi dari Fathorrozi, kontributor duniasantri.co dari Jember. Satu dari tiga puisinya dianggap cocok, judulnya “Munajat Debu untuk Negeri Sarung”. Detik itu juga puisi ini dirilis.

Sudah ada dua puisi, tapi masih menyisakan satu persoalan: siapa yang pas membacakannya? Malam menjelang H-1, saya sedang duduk-duduk di bawah pohon yang dibalut sarung itu bersama Daniel. “Bro, si itu bisa kali baca puisi,” kata Daniel yang bisa membaca kegusaran saya.

Saya langsung bergegas menghampiri orang yang dimaksud Daniel. Dia adalah seorang santri, kuliah di Universitas Indonesia, yang sekira dua pekan sebelumnya mengajukan surat lamaran untuk magang di duniasantri. Beberapa hari sebelumnya, saya mengundangnya untuk membantu-bantu di kepanitiaan. Dia mengaku suka membaca puisi, yang direkam di HP dan sering “dipamer-pamerkan” pada teman-temannya. Saya meminjam HP-nya untuk melihat dan mendengar gayanya membaca puisi. Menyendiri.

Menurut saya ok, tapi saya masih memerlukan second opinion. Filenya saya kirim ke Bang Pi, alias Dr Alfian Siagian yang memang orang teater, untuk dikurasi. “Perlu sentuhan,” responsnya.

“Ya dilatih dong,” sergah saya.

Malam sambil menunggu jam gladi resik, saya melihat Bang Pi melatihnya, berkali-kali. Setelahnya ia bergabung dengan pengisi panggung untuk mengikuti gladi resik. Kecemasan saya pergi. Malam menjelang hari H optimisme mulai merebak. Seluruh elemen pertunjukan sudah menyatu menjadi satu kesatuan cerita. Kepingan terakhir yang membaca puisi itu adalah Lulu Ashafa.

Dan, seperti kita tahu, Sabtu 27 Agustus 2022 itu menjadi hari istimewa bagi jejaring duniasantri. Menandai hari jadinya yang ketiga, jejaring duniasantri mampu menghadirkan acara dan pertunjukan yang wah, mewah, keren, dan unik dengan gemuruh pesan yang ditangkap penuh keharuan. Juga memperoleh liputan media yang begitu luas.

Setelah layar ditutup, banyak kalangan mengusulkan agar pertunjukan ini diusung dan dipanggungkan keliling Indonesia. Itu memang sesuatu hal yang mungkin. Tapi, bagi saya, fondasi utama jejaring duniasantri adalah gerakan literasi. Literasi orang-orang pesantren. Namun, apa pun itu, penutupan layar pertunjukan itu sekaligus akan menjadi pembuka jalan bagi jejaring duniasantri untuk memperluas jejaring gerakannya. Awal dari banyak cerita yang akan ditulis, bersama ribuan santri yang begitu tekun berliterasi.

Multi-Page

2 Replies to “Sebelum dan Setelah Monolog Itu…”

  1. Entah mengapa, membaca naskah ini membuat saya merinding sekaligus terharu. Ingin rasanya saya turut serta, berhadir-datang menjadi bagian dari kegiatan itu. Tetapi, keadaan sangat tidak memungkinkan. Berbagai halangan dan rintangan menjadi penghadang untuk sekadar memberikan applus yang meriah, membahana.

    Terlintas dalam benak saya, bagaimana Sdr Mukhlisin begitu berpontang sekaligus berpanting dalam menyiapkan acara. Tentu, kawan-kawan lainnya juga pasti bersibuk-sibuk dalam rencana “pesta” yang begitu meriah, mewah, dan wah. Persiapan untuk geleri tidak dapat dipandang sebelah mata. Karena mengumpulkan foto-foto ulama NU dan atau sarung yang memiliki memorilia kepesantrenan juga bukan perkara mudah. Tindak “jalan santri” Ngatawi Al-Zastrow patut diacungi jempol, sebagai bentuk hormat meskipun sebenarnya tidaklah cukup.

    Hal lain lagi, dan lagi-lagi membuat saya merinding, adalah peran serta Kiai saya dari Annuqayah, pengasuh Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa, Kiai Muhammad Shalahuddin (Ra Mamak) yang ternyata sebagai penulis naskah Monolog Negeri Sarung. Subhanallah, tuntas sudah puncak kebahagiaan saya bahwa ultah Dunia Santri yang ke-3 ini memuat berbagai marwah dan martabat yang tidak dapat dinilai dengan materi. Ada banyak nilai-nilai luhur yang kemudian mengalir di relung setiap santri, khususnya saya yang telah menjadi alumni santri.

    Monolog Negeri Sarung adalah dari santri oleh santri dan untuk semua. Semoga di waktu yang akan datang akan kembali hadir kegiatan spektakuler, San saya ada di sana sebagai bagian dari catatan sejarah emas yang tidak terbantahkan. Aamiin ya Robb!

Tinggalkan Balasan