Sebelum dan Setelah Monolog Itu…

1,172 kali dibaca

Meskipun masih ada kekurangan dan ketaksempurnaan, pertunjukan Monolog “Negeri Sarung” itu sungguh terasa wah. Mewah. Bahkan terlalu mewah untuk ukuran jejaring duniasantri. Banyak yang geleng-geleng kepala, berdecak kagum, betapa jejaring duniasantri yang baru seumur jagung bisa menyelenggarakan acara sebergema itu, semenarik itu, seunik itu. Dan memperoleh liputan media yang begitu luas.

Hingga tiba acara potong tumpeng, nyaris tak ada pengunjung yang beranjak dari kursi selama tiga jam. Bahkan, seorang Rachmad Gobel pun harus “menyesuaikan” jadwalnya. Semula, Wakil Ketua DPR RI itu dijadwalkan akan langsung meninggalkan tempat usai memberikan pidato kebudayaan. Sebab, ia harus terbang keluar kota untuk kegiatan yang sudah diagendakan cukup lama. Nyatanya, bersama Ibu Hj Sinta Nuriyah Wahid, Rachmad Gobel justru termasuk tokoh yang paling akhir meninggalkan lokasi pertunjukan, setelah turut merubung tumpeng. Itu pun setelah meninggalkan catatan “harus ada lagi yang lebih besar” dan ia berjanji akan datang lagi ke acara duniasantri.

Advertisements

Lalu Lintas Ide

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

2 Replies to “Sebelum dan Setelah Monolog Itu…”

  1. Entah mengapa, membaca naskah ini membuat saya merinding sekaligus terharu. Ingin rasanya saya turut serta, berhadir-datang menjadi bagian dari kegiatan itu. Tetapi, keadaan sangat tidak memungkinkan. Berbagai halangan dan rintangan menjadi penghadang untuk sekadar memberikan applus yang meriah, membahana.

    Terlintas dalam benak saya, bagaimana Sdr Mukhlisin begitu berpontang sekaligus berpanting dalam menyiapkan acara. Tentu, kawan-kawan lainnya juga pasti bersibuk-sibuk dalam rencana “pesta” yang begitu meriah, mewah, dan wah. Persiapan untuk geleri tidak dapat dipandang sebelah mata. Karena mengumpulkan foto-foto ulama NU dan atau sarung yang memiliki memorilia kepesantrenan juga bukan perkara mudah. Tindak “jalan santri” Ngatawi Al-Zastrow patut diacungi jempol, sebagai bentuk hormat meskipun sebenarnya tidaklah cukup.

    Hal lain lagi, dan lagi-lagi membuat saya merinding, adalah peran serta Kiai saya dari Annuqayah, pengasuh Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa, Kiai Muhammad Shalahuddin (Ra Mamak) yang ternyata sebagai penulis naskah Monolog Negeri Sarung. Subhanallah, tuntas sudah puncak kebahagiaan saya bahwa ultah Dunia Santri yang ke-3 ini memuat berbagai marwah dan martabat yang tidak dapat dinilai dengan materi. Ada banyak nilai-nilai luhur yang kemudian mengalir di relung setiap santri, khususnya saya yang telah menjadi alumni santri.

    Monolog Negeri Sarung adalah dari santri oleh santri dan untuk semua. Semoga di waktu yang akan datang akan kembali hadir kegiatan spektakuler, San saya ada di sana sebagai bagian dari catatan sejarah emas yang tidak terbantahkan. Aamiin ya Robb!

Tinggalkan Balasan