Sastra dan Pergolakan Batin

1,311 kali dibaca

Ajarkan anak-anakmu sastra, agar mereka berani melawan ketidakadilan; agar mereka berani menegakkan keberanian; agar jiwa-jiwa mereka hidup. Sastra akan mengubah yang pengecut menjadi pemberani. —Umar Ibn Khattab

Premis sastra dari Sahabat Umar ini benar-benar mengobarkan semangat membedah nilai-nilai sastra. Melahirkan kecenderungan untuk mengungkap hikmah di balik martabat sastra itu sendiri. Bagaimana sastra bisa melawan ketidakadilan, membangun jiwa-jiwa pembenari, dan meruahkan karakter seorang pemberani.

Advertisements

Memang, benar apa yang dikatakan oleh Fadhilah Mukhta, dosen INSTIKA Annuqayah Sumenep, Madura, Jawa Timur, dalam sebuah acara bedah buku puisi di PP Annuqayah belum lama ini, bahwa Islam lahir di tengah-tengah pergolakan sastra yang sangat kuat dan dominan.

Di Jazirah Arab, tempat Islam mengembangkan sayap-sayap keimanan dan keesaan Tuhan, pada saat itu persaingan kalimat-kalimat sastra menjadi puncak peradaban. Maka jika kemudian Al-Quran turun dengan nilai sastra yang begitu agung, rasanya bukan hanya sebuah kebetulan. Dan apalagi jika dianggap bahwa Al-Quran itu hanya karangan Muhammad. Yang terakhir ini memunculkan sikap logika yang tidak ilmiah dan cenderung mendeskriditkan eksistensi seorang Rasul.

Sastrawan dan ulama terkemuka Indonesia Buya Hamka juga pernah mengarakan, sesuatu yang dibutuhkan untuk menghaluskan jiwa adalah seni dan sastra. Sastra mampu membangkitkan pergolakan batin dari semula yang tidak bernilai menjadi bermanfaat. Jiwa yang kemaruk terhadap popularitas dan nilai kasat mata, harta, jabatan, tahta, dll, dengan membaca dan memahami nilai-nilai kesusastraan akan menumbuh-kembangkan batiniah seseorang ke arah yang lebih bermakna. Jiwa sastra yang tertanam dalam batin seseorang akan semakin menumbuhkan marwah pergolakan batin. Katarsis sastra di ruang-ruang perenungan menjadi semakin nyata dengan cara mengaji dan mengkaji rumusan hakikat sastra.

Kita mengenal para pemikir yang juga para sastrawan hebat dalam Islam, seperti Jalalluddin Rumi, Al Ghazali, Umar al Khayyam, Sayyid Qutb, atau Sir Muhammad Iqbal. Begitu juga kita tahu filsuf Eropa, Leo Tolstoy, Nietzsche, dan Soe Hok Gie di Indonesia, hingga generasi Pramoedya Ananta Toer, Taufik Ismail, dan Rendra yang karya-karyanya sangat responsif terhadap keadaan. Ada berbagai nilai luhur yang terlahir dari naskah sastra, yang di dalamnya dapat berupa puisi, cerpen, syair, nadhaman, pantun, dan naskah sastra lainnya. Muara keadaan ini berhilir pada sekat-sekat kejiawaan yang semakin meningkatkan kualitas batin yang semakin responsif terhadap lingkungan.

B Rahmanto, dalam bukunya Metode Pengajaran Sastra, mengatakan bahwa seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya lebih peka terhadap hal mana yang bernilai dan mana yang tidak bernilai. Lebih lanjut dia akan mampu menghadapi masalah-masalah hidupnya dengan pemahaman, wawasan, toleransi, dan rasa simpati yang lebih mendalam (Rahmanto, 1988: 25).

Menurut B Rahmanto, sastra memiliki nilai positif, mengembangkan pergolakan batin ke arah yang lebih baik jika memahami sastra dalam konteks hakikat makna di dalamnya untuk diaplikasikan dalan kehidupan. Kondisi jiwa seseorang akan merekatkan keluhuran dan keagungan.

Sastra dan Keadilan

Seperti ungkapan Umar ibn Khattabyang dikutip di awal tulisan ini, ajarkanlah sastra kepada anakmu, agar mereka mampu menghadapai ketidakadilan. Bagaimana sastra jika dikaitkan dengan keadilan. Benarkah sastra membangun jiwa adil?

Premise ini menjadi sebuah diskusi yang mesti kita ungkap, karena di dalamnya tersimpan kebenaran. Sastra terkait erat dengan keindahan. “Innallaha jamilun yuhibbul jamal,” (sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan). “Indah” itu sendiri bertentangan dengan ketidakadilan, dusta, pengecut, dan culas. Maka menjadi sebuah keniscayaan jika kemudian nilai-nilai sastra akan mendorong pelakunya ke hakikat hidup keadilan.

Keadilan itu sendiri akan terwujud dalam bentuk karakter personal ketika di dalam batin seseorang memiliki nilai sastra. Sastra dan adil merupakan frase yang bersinggungan dalam kelindan tanpa batas. Seseorang yang memiliki sikap dan sifat adil dapat dipastikan bahwa jiwa sastra begitu kuat di dalam dirinya. Setidaknya, meskipun tidak secara langsung bersinggungan dengan lembaran-lembaran sastra, tetapi karakter sastra sudah melekat secara kuat. Ikatan batin yang menyastra serta dipenuhi dengan harkat dan hakikat aktualisasi sastra.

Sastra adalah keadilan, dan keadilan itu sendiri memuat nilai-nilai sastra. Sehingga sastra memiliki nilai keadilan untuk dipelajari, membangun martabat keindahan dan pejuang untuk keadilan. Tidak heran, jika sahabat Nabi yang dikenal memiliki sikap tegas dan jiwa keras, Umar ibn Khattab, justru menganjurkan agar kita mengajarkan generasi muda kita dengan nilai dan muatan bersastra.

Sastra dan Kebenaran

Simbiosis sastra dan kebenaran merupakan sebuah kesetaraan hubungan dalam jiwa seseorang. “Ajarkanlah anak-anakmu sastra, agar mereka dapat menegakkan kebenaran,” (Umar ibn Khattab). Sastra dan kebenaran persis sama dengan sastra dan keadilan. Korelasi yang tidak dapat dipisahkan, karena jiwa sastra akan selalu menghadirkan kebenaran.

Kebenaran merupakan sesuatu yang harus diungkapkan dalam kehidupan. Tanpa kebenaran, kehidupan akan menjadi suram dan keadaan menjadi kacau. Dan kebenaran itu dapat diunduh dari sudut-sudut sastra. Karena di dalam sastra terkandung nilai kebenaran yang akan menjadikan kita menjadi benar dalam kebenaran, dan menjadi indah melalui sastra dan kesusastraan.

Maka tidak berlebihan jika kemudian Umar ibn Khattab memberikan penegasan bahwa pengajaran sastra akan memberikan karakter kebenaran yang dapat diungkapkan dalam kehidupan. Membangun jiwa kebenaran melalui sastra bukan isapan jempol. Tetapi suatu kenyataan bahwa di dalam sastra terdapat anasir kebenaran yang dapat dijadikan pedoman. Maka tidak dapat melarung suatu kebenaran ketika sastra tidak dijadikan karakter keseharian.

Terkait kebenaran, dalam Al-Quran Allah berfirman, “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,” (QS. AR-Ra’d:19).

Terkait dengan ayat ini, Imam ibn Katsir menjelaskan bahwa tidaklah sama antara orang yang meyakini kebenaran yang datang dari Muhammad dengan orang buta yang tidak mengetahui dan memahami kebaikan. Dan Al-Quran itu sendiri merupakan “naskah sastra” yang di dalamnya mengandung kebenaran dan kebaikan.

Sastra dan Keberanian

“Ajarkanlah anakmu sastra, karena sastra mengubah pengecut menjadi pemberani,” (Umar bin Khattab). Sastra merupakan salah satu sarana untuk menjadikan seorang pengecut menjadi pemberani. Seseorang yang memahami dan mendalami sastra yang di dalamnya terkandung nuansa keindahan, kejujuran, kebenaran, kebaikan, keadilan, dan lain sebagainya, maka unsur-unsur nilai luhur ini akan membentuk jiwa-jiwa pemberani. Aspek nilai luhur di dalam sastra menjadikan seseorang pemberani karena benar. Membentuk karakter berani dengan kejujuran dalam ranah kehidupan.

Berani karena benar merupakan karakter yang diajarkan dalam sastra. Bukan sebuah kebetulan jika kemudian Umar ibn Khattab menganjurkan untuk mengajarkan anak didik kita dengan nilai-nilai sastra yang di dalamnya memuat kebenaran. Di dalam sastra itu sendiri mengajarkan kita akan hakikat keberanian, bahwa berani itu harus dilandasi kebenaran dan nilai kebaikan.

Pergolakan batin terkait dengan sastra menumbuh-kembangkan kesadaran bahwa di dalam naskah sastra terdapat pitutur amaliah kehidupan. Serpihan keluhuran sastra memiliki bias-bias keadilan, kebenaran, dan keberanian. Naskah sastra yang mahasastra adalah Al-Quran, kemudian hadis, kemudian kitab-kitab klasik, berikutnya buku-buku sastrawan yang banyak berkeliaran di antara kehidupan kita. Semoga tulisan ini memberikan nilai manfaat bagi pembaca untuk lebih memahami dan mendalami nilai luhur sastra. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan