Sastra dan Pembentukan Karakter

1,085 kali dibaca

Ajarkanlah anak-anakmu sastra, agar jiwa-jiwa mereka hidup. (Umar bin Khatab)

Akhir-akhir ini di lembaga pendidikan digalakkan spirit membangun karakter peserta didik. Melalui kurikulum, lebih khusus dalam analisis Kompetensi Dasar dan Indikator Pembelajaran, selalu duhubungkan dengan proyeksi pengembangan karakter. Karakter telah menjadi tujuan kurikulum agar peserta didik menjadi generasi patriotik.

Advertisements

Secara umum, karakter merupakan sikap dan etika yang harus dijadikan keseharian dalam berkehidupan sosial. Etika atau akhlak oleh Rasulullah dipandang sebagai persoalan yang urgen (penting). Maka, di dalam sebuah hadits Nabi Muhammad bersabda, “Innama bu’itstu liutammima makaarimal akhlak; sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan (memperbaiki) akhlak yang mulia.” ( Disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihnya Nomor 45).

Sementara, menurut Umar bin Khatab, salah satu bentuk ikhtiar dalam membangun karakter adalah mengajarkan sastra. Karena, di dalam karya sastra terdapat nilai-nilai religius yang dapat dijadikan pengajaran terhadap anak didik. Sehingga, dengan sastra kita dapat membentuk karakter peserta didik dengan estetika dan ajaran agama serta dapat menjadikan jiwa halus, lembut, dan mudah menerima realita kebenaran.

Sastra dan Pengertiannya

Dalam sebuah bukunya, Metode Pengajaran Sastra, B Rahmanto menjelaskan bahwa seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra, biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai (berguna) dan mana yang tidak bernilai (Rahmanto, 1988:25).

Sastra jika dipahami dengan sebaik-baiknya akan berdampak positif. Memberikan nilai-guna dan berdaya magis untuk perkembangan kognitif seseorang.

Senada dengan Rahmanto, Gamal Tabroni juga menjelaskan bahwa sastra adalah ungkapan ekspresi manusia berupa karya tulis atau lisan berdasarkan pemikiran, pendapat, pengalaman, hingga ke perasaan dalam bentuk imajinatif, cerminan kenyataan (data asli) yang dibalut dalam kemasan estetis melalui media bahasa.

Karya sastra memiliki spirit dan nilai religi jika dibangun atas asas kepedulian terhadap nilai itu sendiri. Artinya, karya sastra tidak akan memberikan efek positif seandainya nilai religi yang ada di dalamnya diabaikan dan terabaikan.

Sementara itu, Sumardjo dan Saini mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.

Membangkitkan pesona dapat diartikan sebagai kesadaran individu untuk melihat hal-hal yang indah (baca: bermanfaat) di dalam naskah sastra itu sendiri. Karya sastra dapat dijadikan referensi individu untuk membangun dinamika kehidupan.

Tidak sedikit para ulama, filsuf, dan orang-orang terkenal yang mahir di bidang sastra. Seperti para sastrawan muslim, di antaranya Jalulluddin Rumi, Al-Ghazali, Imam Syafi’i, Umar Khayam, Sayyid Qutb, dan Sir Muhammad Iqbal. Filsuf Eropa seperti Leo Tolstoy dan Nietzsche. Pun, dari Indonesia ada Pramoedya Ananta Toer, Taufik Ismail, Hamka, WS Rendra, dan lain-lain. Mereka telah menyelami keindahan atau estetika sastra dan larut dalam dimensi sastra yang sesungguhnya. Ini memberikan bukti bahwa sastra adalah nilai-nilai kebenaran yang patut untuk dipahami.

Karakter dan Spirit Sastra

Horace, “Sastra adalah indah dan berguna.” Hal ini sebagai spirit dalam jiwa seseorang bahwa sastra akan berdampak signifikan. Memberikan nilai positif, membangun tata nurani untuk kehidupan sosial. Buya Hamka mengatakan, “Sesuatu yang dibutuhkan untuk menghaluskan jiwa adalah seni dan sastra.”

Sastra, menurut Buya, akan memberikan nilai estetik yang akan membangun etika seseorang. Sehingga, sastra, di samping seni, atau seni sastra, akan membentuk jiwa seseorang menjadi lembut, beretika, dan ber-akhlakul karimah.

Karakter merupakan sikap dan sifat seseorang yang dipandang sebagai pembangun jiwa. Di dalam tubuh seseorang terdapat sifat yang sewaktu-waktu dapat ditunjukkan sebagai manifes atas eksistensi seseorang. Menjadi sebentuk sikap yang akan dinilai baik dan buruknya. Karakter yang baik akan melahirkan penilaian yang baik pula. Sebaliknya, karakter yang buruk akan melahirkan nilai yang buruk pula.

Pendidikan karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik. Tindakan mendidik tersebut diperuntukkan bagi generasi bangsa yang akan datang. Sementara, tujuan dari pendidikan karakter adalah untuk melatih diri dari masing-masing individu demi memperoleh kesempurnaan hidup yang lebih baik. Pendidikan karakter diperlukan demi tegaknya bangsa dan negara di bawah kemerdekaan hakiki yang berkeadilan.

Sastra dan pendidikan karakter merupakan kolaborasi dua aspek yang saling membangun. Sastra adalah sebuah pendidikan, dan pendidikan itu dapat diperoleh dari nilai sastra. Karena, sastra mengajarkan kelembutan, kebenaran, keberanian, keadilan, takwa, dan keimanan. Al-Quran dan al-Hadits merupakan bagian dari sastra yang mengandung nilai-nilai pendidikan yang komprehensif.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

Artinya: “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Hadits Shahih Lighairihi, HR Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Disahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).

Inklusisme Sastra

Sastra sebagai bentuk edukasi dalam sebuah pembelajaran perlu perhatian khusus. Karena, dengan mempelajari dan mengajarkan sastra, jiwa-jiwa pemberani akan lahir dalam kehidupan. Ketika sastra dijadikan sarana pembentukan jiwa, maka generasi selanjutnya akan menjadi nominasi dalam berkehidupan. Dan tata norma sosial akan terus berkembang demi terbentuknya nilai-nilai kemanusiaan yang abadi.

Inklusi sastra dalam pendidikan merupakan sebuah keniscayaan. Karena sastra itu sendiri, menurut Sumardjo dan Saini, adalah karya imajinatif dan realistik. Artinya, setiap karya —baik fiksi dan nonfikai— yang memberikan dampak positif merupakan karya sastra. Jadi, sastra itu cakupannya sangat luas. Tidak terbatas pada karya fiksi, tetapi nonfiksi juga termasuk dalam karya sastra.

Pengajaran memerlukan metode. Ketika dalam metode pengajaran terdapat inklusisasi sastra, bukan tidak mungkin sastra menjadi standar pengajaran untuk membangun karakter yang kita harapkan. Sastra di dalam KBM merupakan sebuah keniscayaan. Sebuah kemungkinan untuk diterapkan, agar nilai sastra menjadi bermartabat.

Umar bin Khatab mengatakan, “Ajarkanlah anak-anakmu sastra, agar jiwa-jiwa mereka hidup.” Artinya, sastra memberikan nilai kehidupan terhadap jiwa-jiwa yang kering. Kosong dari pemahaman dan pengetahuan tentang baik dan buruk. Dan sastra itu sendiri menyediakan nilai pengajaran, bahwa yang haq (benar) itu jelas, dan yang bathil (jelek) itu sudah pasti. Jiwa sastra akan memahami sikap dan sifat yang akan membawa kepada kebenaran hakiki.

Ikhtitam

Pada dasarnya sastra adalah sebuah sarana untuk membangun jiwa kesempurnaan. Ketika sarana tersebut melebur dalam jiwa yang muthmainnah (jiwa yang tenang menurut bahasa al-Quran), maka sastra akan mendapatkan fungsi dan maknanya.

Sudah menjadi kewajiban kita untuk mengajarkan sastra kepada anak didik kita. Setidaknya, literasi adalah bagian dari sastra yang saat ini sudah menjadi target pembelajaran dan pengajaran. Maka tidak ada alasan lagi, bahwa sastra (literasi) harus kita kedepankan demi tegaknya sastra yang akan melahirkan generasi pemberani. Generasi yang akan membangun bangsa dan negara menjadi baldatun thoyyibatun warobbun ghafur; yaitu negara yang baik (nyastra) dan terampunkan.

Terakhir, dalam membangun etika generasi yang akan datang diperlukan karya sastra yang bernilai dan berdaya guna. Diperlukan karya-karya abadi, terikat dalam kata, kalimat, dan naskah-naskah yang akan dikenang sepanjang masa. Menjadi marwah sejarah yang akan terus dikenang dan menjadi shadaqah jariyah. Benar apa yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib, “Semua penulis akan mati. Hanya karyanya-lah yang akan abadi. Maka tulislah sesuatu yang membahagiakan dirimu di akhirat nanti.” Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan