Sarung Baru Arman

1,503 kali dibaca

Siang itu sepulang sekolah aku dan Arsyad mampir ke mall untuk membeli sarung. Setelah mengelilingi seluruh sudut mall dan naik turun elevator akhirnya aku menemukan juga sarung yang kuinginkan. Arsyad tidak membeli apa pun karena dia hanya kuminta untuk menemaniku. Segelas es degan dan semangkuk bakso cukup untuk membuatnya mengiyakan permintaanku, menjadi bodyguardku berkelana di mall.

Setelah selesai belanja kami pulang ke pesantren dengan naik angkot. Mobil tua itu ramainya minta ampun. Udara begitu panas di dalam angkot. Celoteh para penumpang tentang harga bawang, cabe, petai, tumbar, kemiri, serta jahe membuat kupingku makin panas. Bau keringat yang bergumul dalam ruang sempit juga ikut menyemarakkan suasana. Kepalaku tiba-tiba pusing. Kututupi hidungku dengan tas.  Dan betapa kagetnya aku saat menyadari ternyata tasku robek. Arsyad juga terperangah menyadarinya. Melihatku heboh, para ibu yang ada di angkot itu segera ikut-ikutan heboh. Saling meneliti wajah para penumpang satu sama lain. Namun kami tidak menemukan orang yang pantas untuk dicurigai. Semuanya adalah ibu-ibu berwajah polos. Itu pun sudah tua. Sangat tidak pantas di balik wajah polos mereka itu terdapat jiwa pencopet.

Advertisements

Sopir angkot tua itu terlihat panik kemudian menghentikan angkotnya. Ia menggeledah semua tas milik penumpang. Dan hasilnya nihil. Sopir itu terlihat geram. Aku mengajak Arsyad untuk menelusurinya di mall. Arsyad menolak permintaanku mentah-mentah dan memberi tahuku betapa tidak mungkinnya menemukan dompet yang hilang di tengah mall yang berjibun orang jahat itu. Hatiku sedih sekali. Bagaimana aku tidak sedih jika dompet itu berisi aset kehidupanku? Di dalamnya ada uang, kartu ATM, serta hal-hal penting lainnya. Padahal kemarin aku baru merengek-rengek pada umi untuk mengirimiku uang buat beli sarung. Wah, berarti sarungku ikut hilang!!!

* * *

Uraian beberapa kata yang disampaikan ustadz itu harus terhenti sebelum sempat sempurna menjadi sebuah kalimat. Seseorang mengetuk pintu kelas kami, entah siapa dia. Pandangan kami pun segera tertuju ke arah pintu itu. Sebentar kemudian pintu yang dipenuhi ukiran itu terbuka perlahan-lahan. Bersamaan itu pula muncullah seorang bocah berpeci hitam macam presiden pertama RI. Songkok nasional yang bertengger di kepalanya itu telah dihiasi warna merah di bagian bawahnya. Yang dikenakannya adalah baju koko dengan warna putih yang telah memudar serta kusut minta ampun. Dan ketika pandangan mata kami turun ke bawah, mata kami langsung terbelalak heran. Anak itu tidak bersarung seperti kami. Dia mengenakan celana kain panjang seperti yang biasa dipakai para guru kami di sekolah. Di pondok memakai celana adalah sebuah keanehan, apalagi ketika mengaji.

Ketika anak itu merasa semua mata tertuju ke celananya, ia kemudian ikut melihat apa yang terjadi dengan celananya. Tangannya kemudian lincah melepaskan lipatan yang sampai hampir mencapai lutut. Kemudian ia mendekati Sang Ustadz sembari mencium tangannya. Setelahnya ia menghadap kami sambil membungkukkan badan seperti tentara Jepang yang sering kulihat di TV-TV itu. Matanya liar menyapu wajah kami satu per satu. Kemudian tatapan matanya itu berhenti lama di dampar kosong sampingku. Dia menatapku sambil tersenyum. Anak itu berjalan menuju ke sampingku. Dia tetap membungkukkan badan. Ya, akhirnya aku punya teman duduk kini. Walaupun dia aneh tapi tak mengapalah, daripada sendirian.

Sebenarnya aku ingin mengajaknya berbicara sekadar perkenalan, namun ternyata dia sangat serius dengan materi yang disampaikan oleh Ustadz. Aku beberapa kali mendesiskan mulut supaya dia mau menoleh ke arahku, tapi dia tetap berkonsentrasi mendengarkan penjelasan Sang Ustadz. Akhirnya aku memilih diam, tidak ingin mengganggunya lagi. Hingga pengajian selesai aku belum sempat berbincang dengannya. Dan ketika pelajaran usai anak itu segera menyongsong ustadzku untuk bersalaman. Temanku yang lain tidak ada yang melakukannya. Aku sedikit terusik dengan tingkahnya yang nyeleneh itu. Tapi biarlah. Kenapa aku harus sibuk memikirkannya?

MTs tempat aku sekolah mayoritas siswanya adalah anak-anak pesantren. Di situlah kami bisa bertemu dengan makhluk bernama wanita. Sesuatu yang mustahil bisa kami temukan di pesantren. Maka, di sekolah-lah kami melampiaskan apa yang kami tidak temukan di pesantren itu. Sebagai seorang lelaki aku termasuk yang tidak mudah jatuh cinta. Ah, aku masih terlalu kecil untuk berkata tentang cinta. Namun ketika melihat gadis cantik aku pun juga tidak bisa menghindari untuk tidak tertarik. Tertarik tidak selalu berarti jatuh cinta bukan?

Aku bertemu dengan seorang cewek yang juga seorang santriwati sebuah pesantren. Sebenarnya aku hanya iseng saja. Ikut-ikutan temanku yang sering menggoda gadis itu. Namun siapa sangka pendekatanku berbuah hasil. Gadis itu kini malah yang mengejar-ngejar cintaku. Aku sulit mengelak. Akhirnya cinta monyet-monyetan pun secara resmi telah dimulai. Kami terlibat di dalamnya. Adalah Maisyaroh nama gadis itu. Keberhasilanku mendekati gadis itu tentu bukanlah sebuah prestasi. Apalagi aku adalah seorang santri. Pacaran adalah aib. Namun aku menikmatinya. Menikmati sanjungan teman-temanku atas kehebatanku bisa mendapatkan cewek idaman semua orang di sekolah. Kerling matanya. Dekik pipinya. Putih kulitnya, sungguh aku suka.

Namun siapa yang bisa menebak bakal ada nasib sial setelah sebuah hal yang kita anggap sebagai sebuah keberuntungan? Suatu siang sepulang sekolah aku dicegat oleh anak-anak kelas tiga yang merupakan para penggemar Maisyaroh. Mereka menyeretku ke belakang gedung sekolah. Tempat segala sampah sekolah ditimbun. Lima orang itu adalah orang yang paling ditakuti di sekolahku. Aku yang sendirian menjadi bulan-bulanan pukulan mereka. Tak bisa aku menghindari setiap pukulan yang datang.

Pukulan itu tiba-tiba. Kukira ada malaikat yang menolongku. Ternyata ada seorang bocah pemulung meneriaki mereka. Keranjang yang digendongnya terbang menghajar dua orang yang sedang sibuk memukuliku. Perkelahian pun segera terjadi. Dan sebuah pemandangan yang menakjubkan tersaji di depan mataku. Pemulung itu mampu mengatasi lima orang berandal sekolahku sekaligus. Mirip aksi samurai yang menghajar puluhan musuhnya. Dengan tongkat pemungutnya ia menyabet kesana kemari. Mengakibatkan mereka tak berdaya. Maka lari lintang pukanglah mereka itu.

Rasa kagetku semakin memuncak ketika melihat pahlawan yang gagah berani itu adalah Arman, si bocah dekil temanku duduk sedampar di pesantren. Dia menatapku. Sesungging senyum merekah dari celah bibirnya yang hitam. Lengkap dengan gigi kuningnya. Namun kini senyum yang biasa membuatku sebal itu telah meluluhkan hatiku. Aku sangat berterima kasih padanya. Kehadirannya bak pahlawan superhero. Momennya selalu pas. Dan sebagai tanda terima kasih aku mengajaknya untuk minum es teler di dekat sekolah. Sejak saat itulah kami berubah menjadi teman baik. Aku berdamai dengan baunya yang masyaallah itu. Persahabatan itu tetaplah manis walau berselubung bau sampah. Dan kini aku memaklumi keadaannya. Aku semakin mengagumi sosok Arman yang pendiam, polos, rajin, agak tidak pintar, dan pemalu itu.

Tak terasa setahun telah berlalu semenjak memasuki pesantren. Dan malam ini adalah malam pertama tahun pelajaran baru. Aku merindukan Arman. Dia memberiku semangat untuk mencari ilmu. Semangatnya mengaji walau dalam keadaan yang sulit ternyata mampu memompa motivasi belajarku. Aku telah memasuki kelas baruku sebentar setelah bel masuk kelas berbunyi. Aku menantikan kehadirannya, mengawasi setiap anak yang memasuki kelas. Berharap dia adalah Arman. Beberapa kali aku kecewa karena Arman tak kunjung datang. Tapi penantianku segera terjawab. Bocah berpeci bak Presiden Soekarno itu memasuki kelas dengan wajah cerahnya. Kami tersenyum ketika beradu pandang. Dan kali ini ada yang berbeda dengan penampilannya. Untuk pertama kalinya Arman memakai sarung!!! Aku memberinya selamat. Dia kelihatan gembira sekali. Mungkin sarung itulah pemicunya. Mimpi setahun lamanya untuk berpenampilan layaknya santri pada umumnya itu menjadi kenyataan malam ini.

Sambil menunggu kehadiran ustadz pengampu mata pelajaran nahwu kami saling berbagi cerita satu sama lain. Sudah menjadi kebiasaan memang di awal tahun ajaran baru ustadznya tidak hadir. Maka mengalirlah cerita asal-muasal sarung yang dikenakannya itu. Aku mendengarkannya dengan seksama. Semakin cerita itu mengalir aku semakin mengerutkan dahi. Aku berusaha menghubungkan ceritanya dengan apa yang aku alami setahun yang lalu. Semakin ceritanya mendekati akhir aku semakin menemukan keganjilan. Dalam ceritanya, Arman mengatakan bahwa sarung itu ditemukannya setahun yang lalu di sebuah tempat dekat mall tempat dia mengais sampah. Panaslah telingaku mendengar pengakuannya bahwa dia telah menyimpan sarungku itu setahun lamanya.

Aku seketika berdiri didorong oleh rasa marah yang tak terkendali. “Dasar pemulung tak tau diuntung! Bajingan kau!!! Pencopet berkedok santri!! Mana dompetku, hah!?”

Teman-temanku kaget mendengar teriakanku. Dan aku tak peduli. Semuanya mengarahkan pandangannya padaku. Arman terbengong-bengong terlambat menyadari permasalahannya. Wajah polosnya menyebalkan sekali. Kemudian kemarahanku menular pada sebagian kawan-kawanku lainnya. Anak-anak yang dulu pernah menaruh curiga pada Arman yang nyeleneh kini terbukti sudah. Kami mengeroyoknya beramai-ramai. Arman tak bisa berbuat apa-apa kecuali melolong-lolong kesakitan.

“Ada apa ini?” teriak seseorang tiba-tiba. Ternyata dia adalah Ustadz Hariri. Kami segera diam dibungkam oleh rasa takut pada ustadz sekaligus pengurus keamanan itu.

“Kenapa kalian memukulinya, hah? Santri macam apa kalian ini?”

“Dia copet, Tadz. Dia yang mencopet dompet dan sarung Gus Takim setahun yang lalu,” jawab Arsyad tak kalah lantang dengan teriakan Ustadz Hariri.

“Sarung apa?” tanya Ustadz Hariri lagi.

Lalu aku menceritakan kronologi hilangnya sarung serta dompetku itu.

“Kenapa kau bisa begitu yakin sarung ini adalah sarungmu? Padahal itu sudah setahun berlalu?” tanya Ustadz Hariri padaku.

“Aku masih sangat ingat dengan merek serta motif sarung yang aku beli setahun lalu ini. Apalagi bekas saus di ujung sarung itu memastikan semuanya. Aku baru saja makan bakso bersama Arsyad waktu itu. Aku tidak tahu kalau tanganku masih ada sausnya ketika menyentuh sarung itu. Dan oleh sebab itulah aku dipaksa untuk membelinya oleh penjual sarung itu.” Aku bercerita dengan semangat yang berapi-api.

“Setahun yang lalu dia memang menemukan sebuah sarung ketika sedang memungut sampah tidak jauh dari tempatmu berbelanja. Dia merasa takut harus diapakan sarung itu. Kemudian dia bertanya padaku tentang keresahannya itu. Aku memberinya penjelasan tentang hukum barang temuan seperti itu. Melalui ajakanku pula akhirnya dia mau mengaji ke pesantren ini. Dia memakai celana ketika mengaji memang karena tidak memiliki sarung, bukan karena alasan ribet,” papar Ustadz Hariri kalem.

“Aku adalah merbot mesjid dekat dengan mall tempat kau belanja itu. Akhirnya aku menyimpan sarung yang ditemukan Arman itu sembari mengumumkannya setiap Jumat, barangkali ada orang yang merasa kehilangan. Sarung itu adalah barang luqotoh. Barang temuan yang harus diumumkan selama setahun di tempat umum sebelum bisa menjadi milik orang yang menemukannya. Dan malam ini adalah tepat setahun sejak sarung itu ditemukan. Waktu ketika barang temuan boleh dipindah kepemilikannya setelah selama setahun diumumkan tidak ada orang yang mencarinya. Dan aku memberikannya kembali pada Arman, orang yang menemukannya.”

Ustadz Hariri menyudahi ceritanya. Aku menelan ludah beberapa kali. Ustadz Hariri menggeleng-gelengkan kepala sambil mengelus tubuh Arman yang babak belur. Bibirnya mengalirkan darah. Dia menyunggingkan senyum ketika menatap Ustadz Hariri. Senyum itu juga dibaginya padaku. Namun aku tak mampu membalasnya. Rasa bersalah dan malu menghilangkan kemampuan bibirku untuk sekadar tersenyum.

“Maafkanlah aku, Man. Aku salah paham. Aku terlalu jahat padamu.”

“Akulah yang harus minta maaf padamu, Gus. Memakai sarungmu tanpa minta izin dulu. Dan sekali lagi aku harus minta maaf karena aku tidak bisa mengembalikannya malam ini. Karena celana “guruku” sedang aku cuci. Besok saja aku kembalikan, ya?” Arman tersenyum padaku. Senyum getir.

“Tidak usah kau kembalikan, Man. Ini adalah sarungmu. Pakailah.”

Kali ini senyum Arman semakin lebar. Dan aku baru tahu bahwa senyum ketulusannya itu sungguhlah menawan. Senyum kebahagiaan setelah sekian lama tertahan untuk bisa memakai sarung saat mengaji.

“Lalu. Bagaimana dengan dompet dan isinya?” tanyaku beberapa saat kemudian.

Lama pertanyaanku tak dijawab. Kami semua menunggu dia bicara. Mungkinkah bibirnya sakit untuk bicara?

“Dompet itu ikut kujual dengan rongsokan lainnya.”

“Isinya?”

“Uangnya untuk membeli obat emakku.”

Tiba-tiba udara di atas kepalaku terasa mendidih.

 * * *

Simeulue-Aceh. Selasa, 2 Nov. 2015(Revised)

Multi-Page

Tinggalkan Balasan