Santri Sodron

3,276 kali dibaca

Tahun ketiga berada di pondok aku mendapat teman baru. Pondok kami berada di perdesaan, tidak jauh dari sawah dan kebanyakan santrinya adalah warga sekitar. Namun santri satu itu berasal dari jauh di pedalaman dekat hutan, jauh pula dari peradaban. Dan istimewanya lagi, dia mulai mondok ketika usianya menjelang tiga puluh, suatu tekad yang patut diacungi jempol. Padahal di usia segitu aku berencana akan memiliki dua orang anak.
Di kampung temanku itu masih sangat terbelakang tingkat perekonomian dan pendidikannya. Banyak di antara warganya apabila diminta tolong membeli pulsa akan mencari kantung plastik sebagai wadah. Itu cerita dia sendiri. Sodron, santri dari jauh itu, bahkan terheran-heran melihatku menelepon Mak dengan telepon pondok. Dikiranya anak pondok dapat memanggil orang dari jauh dengan hizib tertentu. Aku terkekeh-kekeh dibuatnya.
Saat itu bertepatan dengan bulan puasa tahun 2009, Sodron baru mulai mondok dan bertempat di kamarku.
Suatu sore kami pergi ke belakang pondok untuk ngabuburit.
“Kenapa kamu mondok?” tanyaku menyeletuk.
“Biar ngerti agama, sekaligus untuk bekal dakwah, Kang. Di kampungku orang-orang tak ada yang ngerti agama,” ucapnya seraya berdecih penuh prihatin.
“Wah, di sana kamu nanti jadi dai, ya Kang,” tukasku kemudian.
“Ya, dipikir-pikir akulah yang paling ngerti agama di sana, Kang. Bukannya sombong, tapi memang begitu kenyataannya.” Sodron menyahut.
Aku mengangguk-angguk tanda paham.
“Kecut sekali mulut ini puasa-puasa begini, ya Kang,” gumamku.
Dia tersenyum. Aku memandang pematang sawah di ujung sana yang dihiasi tanaman padi yang telah menguning daunnya. Tiba-tiba hidungku mengendus sesuatu. Kutoleh Sodron di sampingku.
“Lho, ngapain Kang?” tanyaku kaget.
“Ayo disulut rokoknya, nggak usah sungkan. Sembari nunggu azan maghrib enak sekali rasanya rokokan.” Sodron menyodorkan tembakau dan klobot jagung untuk dijadikan rokok tingwe.
“Batal puasamu Dron!” pekikku.
“Kata Kiai Rusdi kemarin, yang membatalkan puasa kan makan dan minum, mengada-ada kamu Kang! Masak ngrokok dibilang sama dengan makan!”
Seketika aku bersyukur pada Gusti Allah, masih ada orang yang lebih bodoh daripada aku.

Tinggalkan Balasan