Santri, Prestasi, dan Relegiusitas

2,873 kali dibaca

Umumnya, materi sejarah Indonesia yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan formal menyimpulkan bahwa bebasnya Ibu Pertiwi dari belenggu penjajahan semata-mata hanya berkat perjuangan rakyat sipil, tanpa sedikit pun menyinggung kata “santri” di dalamnya. Padahal, sejarah secara faktual membuktikan bahwa sebagian besar figur yang menjadi motor penggerak untuk memberontak terhadap kolonialisme adalah para ulama atau tokoh agama, yang tak lain sejatinya adalah juga seorang santri.

Perlu diingat, jauh sebelum ada politik etis yang disebut-sebut sebagai cikal bakal bangkitnya pendidikan nasional, seperti dibangunnya HIS (Hollandsch Indlandsche School), MULO (Meer Uitgebreid Lagare Onderwijs), AMS (Algemeene Middlebare School), Kweek School, santri sudah hidup di lingkungan pesantren. Bahkan, pesantren sudah menjadi pusat pembelajaran dan pelestari kebudayaan Nusantara yang tidak kalah eksis dengan sekolah buatan Belanda. Namun, lagi-lagi, sejarah tidak menyorot secara mendalam eksistensi pendidikan di pesantren kala itu.

Advertisements

Ada lagi bukti perjuangan dari para santri yang jarang sekali diketahui. Yakni, perjuangan di perang Surabaya. Sejarah hanya menulis itu tentang perjuangan para rakyat Surabaya. Padahal, di balik itu ada peran besar santri di dalamnya. Peristiwa itu adalah Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 (18 hari sebelum perang besar meletus) oleh pimpinan ulama dan santri, Hadratus Syeikh KH Hasyim Asya’ari. Pada saat itu, beliau menyeru adanya hukum fadhu ain untuk setiap masyarakat yang tinggal dalam radius 94 kilometer dan fardhu kifayah bagi masyarakat yang tinggal di luar radius luar 94 kilometer. Resolusi Jihad inilah yang akhirnya mampu membangkitkan semangat arek-arek Suroboyo dan semua santri untuk menggempur pasukan sekutu. Dari sinilah kemudian 10 November 1945 dikenal sebagai Hari Pahlawan.

Nah, sampai uraian ini sangat jelas, histori santri yang memiliki peran atau prestasi yang sangat pretisius untuk bangsa Indonesia. Ini menunjukkan bahwa dedikasi dan kredibilitas santri untuk negeri ini sudah ada bahkan sejak zaman kolonialisme Belanda.

Bergeser ke zaman setelah kemerdekaan, kredibilitas santri dalam menyesuaikan diri dengan kondisi sosial masyarakat sudah tidak dapat dimungkiri lagi. Kalau kita mengacu pada pendapat KH Makruf Amin yang mengatakan bahwa santri adalah orang yang ikut kiai, entah ia belajar di pesantren atau tidak, bisa membaca kitab kuning atau tidak. Yang penting dia manut kiai, ikut perjuangan kiai, itu adalah santri. Maka dari itu, presiden pertama kita pun adalah seorang santri. Karena menurut beberapa informasi, beliau pernah nyantri di KH Ahmad Dahlan.

Kemudian, setelah kemerdekaan ada sosok KH Idham Chalid yang menjadi politisi penting zaman Soekarno, yaitu menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo (24 Maret 1956-9 April 1957), Kabinet Djuanda (9 April 1957-9 Juli 1959), dan dalam dua Kabinet Dwikora (22 Februari 1966-25 Juli 1966). Setelah itu ada KH Wahid Hasyim yang menjadi Menteri Kabinet, dan masih banyak lagi santri yang berprestasi dalam mengabdi di pemerintahan pada awal-awal kemerdekaan.

Ada lagi Resolusi Djamaluddin Malik yang sedikit sekali diketahui oleh masyarakat. Peristiwa itu terjadi pada 1967, yaitu ketika Ketua MPR dijabat oleh Jendral AH Nasution. Di tengah Sidang Umum MPR, muncullah Resolusi Djamaluddin Malik yang diusulkan oleh H Djamaluddin yang meminta agar Presiden Soekarno diberhentikan dan diganti oleh Jendral Soeharto. Usulan tersebut diterima dan sekaligus menjadi ketetapan MPR. Namun, sejarah mencatat, pergantian Presiden RI dari Soekarno kepada Soeharto pada tahun 1967 dikarenakan adanya Supersemar. Tidak banyak yang tahu terjadinya perubahan itu, atas inisiatif santri NU yang saat itu menjabat sebagai anggota DPR GR. Memasuki era 2000-an, Gus Dur yang seorang santri berhasil menjadi RI 1 dan dan sekarang seorang santri menjadi Wakil Presiden.

Jadi, statemen yang mengatakan bahwa santri adalah kaum sarungan yang tertinggal adalah ungkapan yang keliru. Banyak sekali prestasi santri yang berhasil ditorehkan, hanya saja media massa tidak terlalu simpati pada hal tersebut. Siapa yang menyangka santri Sumut, yang bernama Ja’far Hasibuan, mendapatkan medali emas di kejuaraan internasinal Sanghai karena mampu mengubah udang menjadi obat kulit. Atau siapa yang mengira santri MBI Amanatul Ummah yang berdomisili di lereng Gunung Welirang Pacet, Mojokerto, Jawa Timur yang notabene  hanya berkutat dengan pena dan kitab kuning, mampu menjuarai kompetisi matematika dan robotika tingkat ASEAN. Ada juga prestasi santri Indonesia di tingkat dunia, seperti memenangi musabaqoh hifzil quran tingkat internasional yang diikuti oleh 80 negara di dunia. Dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Dari sisi luar memang ada sedikit kesamaan, tapi secaara batin, santri dengan pelajar biasa mempunyai perbedaan yang signifikan. Yakni, pada tingkat religiusitasnya. Setiap langkah dan capaian santri selalu dibarengi  dengan moral Islami atau yang dikenal dengan akhlaqul karimah. Sehingga, ini pun berpengaruh pada tingkah laku santri ketika berkompetisi. Alhasil, capaian prestasi pun adalah hasil pendekatan religiusitas. Mungkin, ketika berkompetisi, memang terlihat sama, tapi santri mempunyai faktor x atau spiritual effort yang relevan dengan capaian prestasi tersebut. Pembelajaran di pesantren yang memiliki seorang panutan, yaitu kiai dan pendekatan moral pesantren tentang agama serta akhlaqul karimah menyebabkan tingkat religiusitas santri terus meningkat. Dengan tingkat religiusitas yang tinggi, menyebabkan santri ketika mendapatkan prestasi selalu diiringi oleh sujud syukur. Ini juga relevan dengan apa yang telah diajarkan oleh para kiai, yakni syukur dan menghindari sifat sombong.

Tapi, sekali lagi, religiusitas inilah yang menghiasi tindak-tanduk santri setiap waktu. Sehingga diberitakan atau tidak oleh wartawan, diekspose atau tidak oleh media massa, bagi kaum sarungan bukan menjadi masalah besar. Hal yang paling urgen dari ini semua itu adalah terletak pada kredibilitas santri di masyarakat yang tidak akan pernah berkurang sedikit pun, dan stigma positif tentang santri yang religius serta penuh prestasi tidak akan hilang dari mata masyarakat Indonesia.

Wallahu a’lam bi asshowab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan