Santri, Pancasila, dan Nasionalisme

908 kali dibaca

Masih sangat jelas dalam ingatan, ketika saya masih aktif di Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep, Madura, ditunjuk sebagai anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka)pada saat Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI 17 Agustus.

Itu artinya, sehubungan dengan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2021, bahwa santri telah diberi dasar-dasar cinta tanah air sebagai bagian dari kewajiban berbangsa dan bernegara. Cinta tanah air, hubbul wathan, merupakan kewajiban seluruh anak bangsa, termasuk di dalamnya seluruh santri. Lahirnya nilai-nilai Pancasila yang sebagian besar diprakarsai oleh ulama tak lain merupakan bagian dari cinta tanah air.

Advertisements

Akhir-akhir ini viral di media sosial terkait dengan seorang dai (penceramah) yang meminta jemaahnya untuk tidak ikut serta menyanyikan lagu Indonesia Raya. Adalah Ustaz Khalid Basalamah, melalui akun Youtube, menyampaikan hal tersebut. “Kalau ada lagu Indonesia Raya, saya sarankan tidak usah ikut. Baca saja surah Al-Falaq dan Al-Ikhlas,” demikian sang ustaz mengungkapkan.

Pernyataan ini tentu saja melahirkan polemik dan kegaduhan. Sebab menyanyikan lagu kebangsaan, Indonesia Raya, merupakan bagian dari rasa cinta tanah air. Dalam syariat Islam tidak ada larangan untuk menyanyikan lagu kebangsaan dan lagu-lagu perjuangan lainnya. Meskipun kemudian Ustaz Khalid mengklarifikasi bahwa tidak ada maksud untuk mendeskriditkan NKRI.

Hubbul Wathan (Cinta Tanah Air) 

Seorang ulama Indonesia, KH Hasyim Asy’ari (1871-1947), berhasil mencetuskan prinsip hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman). Konteksnya saat itu untuk membangkitkan nasionalisme rakyat Indonesia untuk mengusir para penjajah. Nasionalisme dan cinta tanah air merupakan kewajiban seluruh abak bangsa. Oleh karena itu harus ada aplikasi berbagai teknis untuk membangkitkan nasionalisme dan cinta tanah air. Sehingga, setiap elemen bangsa mampu memberikan peran positif terhadap marwah dan identitas tanah air Indonesia.

KH Said Aqil Siroj, seorang ulama dari Kempek, Cirebon, mengatakan bahwa agama tanpa nasionalisme (cinta tanah air) akan menjadi ekstrem, sedangkan nasionalisme tanpa agama menjadi kering. Hal ini terlihat dari kelompok-kelompok ekseklusif yang sempit dalam memahami agama tanpa memperhatikan realitas kehidupan sosial. Agama dan nasionalisme merupakan dua aspek yang saling memberikan kemanfaatan (simbiosis mutualisme).

Menurut para ahli tafsir, ajaran cinta tanah air juga ada dalam Al-Quran, seperti Allah yang berbunyi, “Dan sesungguhnya jika seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik):Bunuhlah diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman kamu!’ niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka...” (QS. An-Nisa’: 66).

Di sini bunuh diri disandingkan dengan keluar dari kampung halaman (tanah air). Artinya bahwa lebih baik mati daripada harus meninggalkan tanah air tercinta. Cinta tanah air merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan jiwa kemerdekaan di dalam sebuah bangsa.

Cinta Tanah Air dan Santri

Sebagai seorang santri, bukti kecintaan kita adalah dengan berbagai kegiatan untuk kejayaan bangsa. Tekun belajar dan tidak pernah melanggar aturan negara merupakan bagian dari aktivitas hubbul wathan. Di pesantren sudah ditekankan bagaimana seorang santri harus patuh kepada Allah dan Rasulullah, juga kepada pemerintah (ulul amr). Hal ini menjadi pokok utama di dalam dasar-dasar kepesantrenan agar para santri memiliki jiwa nasionalisme dan rasa cinta tanah air.

Sehubungan dengan cinta tanah air, di dalam Al-Quran, Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59).

Santri yang baik akan memiliki rasa cinta tanah air yang begitu besar. Artinya bahwa sebagai seorang santri yang memiliki dasar-dasar agama yang mendorong nilai-nilai nasionalisme (cinta tanah air), seharusnya menunjukkan kepada masyarakat bagaimana menerapkan nilai-nilai hubbul wathan dalam keseharian. Memberikan kemaslahatan hidup serta tidak melakukan pelanggaran (baik agama atau pemerintah), maka seorang santri sudah dapat dipandang oleh khalayak sebagai individu nasionalis.

Cinta tanah air dan seorang santri sama sekali tidak ada pertentangan. Bahkan sebaliknya, antara santri dan cinta tanah air bagaikan dua sisi mata uang, di mana sisi yang satu memberikan nilai kebaikan bagi sisi yang lainnya. Memantapkan diri sebagai santri yang cinta tanah air dengan cara memberikan aktivitas terbaik bagi kehidupan serta bermanfaat bagi manusia lainnya. Dalam bahasa agama, “khoirunnas ‘anfa’ uhum linnas,” sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat kepada manusia lainnya.

Nilai Luhur Pancasila

Pancasila dengan segala nilai luhur yang ada didalamnya dibangun atas dasar nasionalisme dalam pluralisme bangsa. Oleh karena itu, maka tidak boleh terjadi ungkapan ataupun tindakan yang akan menciderai amanat Pancasila, utamanya dalam menjaga persatuan dan kesetuan bangsa. Sebagai bangsa yang beradab, menjaga keutuhan jiwa pemersatu adalah suatu kewajiban yang harus tetap dijaga. Ungkapan yang memantik perpecahan harus dijauhkan dari komunikasi komunitas bangsa yang pluralis.

Pancasila lahir untuk menjadi wadah pemersatu bangsa di atas kondisi kita yang beragam. Berbagai suku, adat istiadat, kepercayaan, agama, dan bermacam-macam karakter dan warna kulit disatukan di atas dasar Pancasila. Oleh karena itu 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila kita jadikan momentum untuk meneguhkan rasa cinta tanah air, nasionalisme, patriotisme, persatuan, kesatuan, dan saling menghargai antara satu individu dengan individu lain yang berbeda.

Terkait dengan pluralisme sebagai sunnatullah, Allah berfirman, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS. Al-Hujarat: 13). Ayat ini menegaskan bahwa keadaan umat di dunia diciptakan dalam keadaan pluralis, berbeda antara satu dengan lainnya agar terjadi saling menghargai dan saling memahami.

Pancasila yang dibangun atas dasar perbedaan dalam kebersamaan, harus dijadikan landasan yang semakin mengokohkan perbedaan. Kita akan kuat meskipun dalam perbedaan, ketika hubbul wathan (cinta tanah air) dijadikan sebagai asas untuk saling membantu demi kemaslahatan hidup. Pancasila tidak bertentangan dengan dogma dasar agama manapun, sehingga tidak benar jika kemudian Pancasila dicoba untuk dipertentangkan dengan nilai agama tertentu. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan