Santri Mustamik

678 kali dibaca

Dalam lintasan sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, santri memiliki peran yang sangat signifikan walaupun jarang sekali tertulis dalam buku-buku kurikulum pelajaran sejarah di sekolahan. Seakan identitas santri berusaha diasingkan dan dihapus dari ingatan bangsa Indonesia ini.

Menengok masa lalu dan juga untuk meneropong masa depan, santri berada dalam poros dari peradaban dan kebudayaan Indonesia. Pendidikan lahir dan batin yang didapatkan di pesantren tidak hanya mencetak agamawan saja, melainkan suatu agen perubahan bahkan hemat penulis juga ambil bagian dari agent of change yang saat ini hanya dinisbatkan pada mahasiswa saja, namun santri juga patut menyandang gelar demikian.

Advertisements

Terdapat bait syair dalam kitab Ta`limul Muta`alim yang menjadi nilai-nilai dasar seorang santri. Yakni, “Dzukain, wa hirshin, wa-sthibarin, wa bulghatin, wa irsyadi ustadzhin, wa thuli zamani”. (Kecerdasan, semangat, kesabaran, modal finansial, petunjuk guru, dan belajar sepanjang masa). Nilai-nilai dasar tersebut menjadi syarat bagi para santri ketika menimba ilmu di mana pun berada. Hemat penulis, bait syair tersebut tidak terbatas untuk santri, namun juga untuk para pelajar dan pecinta ilmu.

Jika membaca buku babon tentang pesantren anggitan Zamakhsyari Dhofier yang berjudul Tradisi Pesantren, kita akan disuguhi sub-bab yang membedah perihal santri. Bagi Dhofier, santri merupakan elemen penting dalam lembaga pondok pesantren. Dhofier juga mengklasifikasikan santri menjadi dua bagian yakni, santri mukim dan santri kalong.

Santri mukim lazim dikenal dengan murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren. Sedangkan, santri kalong dikenal sebagai murid-murid dari desa-desa di sekitar pesantren, biasanya tidak menetap dalam pesantren.

Namun, di sisi lain, jika kita membaca buku Pesantren Studies karya Ahmad Baso, akan ditemukan nomenklatur yang sama sekali tidak ditemukan di buku anggitan Zamkhsyari Dhofier tadi. Yakni, santri mustamik. Siapa itu santri mustamik?

Mustamik secara bahasa berarti orang yang mendengarkan. Jika kata mustami` disandingkan dengan santri, maka dapat diartikan dengan santri pendengar. Begitulah singkatnya.

Jika merujuk pada syair bait di muka, maka santri pendengar atau santri mustamik ini hanya mengamalkan nilai kedua saja, yakni hirshin. Dalam hal ini, santri mustamik diartkan sebagai santri yang hanya memerhatikan dan mendengarkan kiai atau guru. Namun tak dinafikan pula, jika santri mustamik mengamalkan beberapa nilai sekaligus yang termaktub dalam syair tersebut.

Para santri mustamik tersebut setidaknya memiliki usaha dan tekad yang kuat dalam mendengarkan dawuh-dawuh dari lisan mulia para kiai. Dalam keseharian, para santri mustamik ini pun tidak selalu berada di sekitar para kiai, namun hanya pada momen tertentu saja ketika bertamu untuk sowan atau menghadiri berbagai majelis dan pengajian.

Dalam relasinya, yakni, antara kiai dan santri mustamik memiliki hubungan yang dialogikal. Yaitu melalui dua cara, yakni, kiai mendekati masyarakat lalu dijadikan sebagai santri mustamik. Atau, pun para masyarkat mendekati lalu menjadi pendengar setia para kiai.

Seperti halnya dalam sebuah cerita, Mbah Kiai Chudlori, pendiri Ponpes Tegalrejo Magelang, yang suatu saat dihadapkan dengan persoalan penyaluran dana desa yang digunakan untuk membangun masjid atau membeli alat kesenian. Mbah Kiai Chudlori yang mengetahui masyarakat desa menyukai kesenian mengambil langkah kedua. Dengan itu, dibelikanlah alat kesenian tersebut lalu dengan perlahan masyarakat mendekatinya dan dijadikanlah mereka sebagai santri mustamik.

Lanjut, Baso menyebut para mustamik ini sebagai jalan masyarakat yang tidak bisa menjadi santri namun tetap setia pada kiai dan NKRI. Para mustamik ini menjaga betul dan mengamalkan dengan penuh kesabaran atas apa yang dipelajarinya dari kiai. Entah ilmu praktis tentang kehidupan, ilmu politik, ketatanegaraan, dan lain sebagainya. Bahkan, mereka (santri mustamik) banyak menjadi aktor gerakan sosial yang digelar oleh para kiai-ulama pada masa kolonial silam.

Santri mustamik tidak sekadar individu atau pun kelompok, melainkan juga sebuah komunitas atau pun organisasi. Sebut saja, pada masa prakemerdekaan, Boedi Oetomo dan Studieclub garapan Douwes Dekker disebut menjadi mustamik atas Tasjwiroel Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab Chasbullah. Keduanya, merupakan perpanjangan ide atas pesantren, juga menjadi kontra pendidikan pemerintah kolonial.

Terdapat pula para mustamik yang menjadi juru bicara atas nama pesantren. Artinya, mereka (mustamik) mememlihara tradisi kepesantrenan. Mustamik di sini tidak hanya menjadi pendengar setia kiai, namun juga menghasilkan suatu karya mengenai kepesantrenan. Juga membela pesantren dan menjaga kesinambungan tradisi pesantren. Tak lain, demi keutuhan NKRI dan orisinalitas pendidikan Indonesia.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan