Santri Milenial Berdakwah bil Qalam

761 kali dibaca

Di era informatika, di mana banjir informasi, berita bohong (hoax), dan ujaran kebencian memenuhi linimasa dan lini kehidupan seperti saat ini, sudah saatnya santri angkat pena. Berdakwah dengan pedang pena. Mengguratkan tulisan yang menyejukkan, tulisan yang mengabarkan kebenaran, tulisan yang mendamaikan hati.

Di zaman milenial, di mana dunia nyata dan dunia maya saling berkait-kelindan seperti saat ini, peran santri dalam berdakwah tidak cukup hanya dengan bil lisan. Tapi harus mampu mengambil jalan dakwah bil qalam. Sehingga santri bisa melakukan dakwah di dunia nyata dan dunia maya sekaligus.

Advertisements

Untuk bisa mengambil jalan dakwah bil qalam, maka santri harus sadar akan pentingnya budaya literasi. Budaya membaca dan mencatat hasil dari apa yang dibaca dan dipelajari. Memang, sebenarnya budaya literasi bagi para santri di pesantren sudah ada, bahkan melekat pada kehidupan sehari-hari santri.

Buktinya di pesantren, santri banyak membaca dan mengkaji kitab-kitab kuning karya para ulama terdahulu. Misalnya, kitab At-Taqrib karya Al-Qodhi Abu Syuja’ bin Husein bin Ahmad Al-Asfahany (kitab fikih yang menjadi rujukan dasar dalam mempelajari ilmu fikih); kitab Aqidatul Awam karya Syaikh Ahmad Marzuqi Al-Maliki (kitab dasar akidah Islam); kitab Arba’in Nawawi karya Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Murri Al Nizami An-Nawawi (kitab matan hadis yang meliputi meliputi dasar-dasar agama, hukum, muamalah, dan akhlak); kitab Ta’limul-Muta’alim karangan Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji (kitab dasar yang menerangkan mengenai akhlak di dunia pesantren, kitab yang wajib dipelajari para santri sebelum mempelajari kitab-kitab yang lainnya), dan masih banyak kitab-kitab yang lainnya.

Dan dari banyaknya kitab yang dipelajari para santri di pesantren itu juga menunjukkan bahwa budaya literasi para ulama terdahulu begitu tinggi. Hampir semua ulama besar menulis kitab sesuai bidang masing-masing, mulai dari akidah, akhlak, fikih, tafsir, hadis, tasawuf, sampai tata bahasa Arab (nahu-saraf). Sehingga nama para ulama itu abadi dalam karya tulis mereka.

Nah, para santri zaman sekarang harusnya bisa mencontoh spirit para ulama terdahulu yang dengan tekun mencatat dan menuliskan ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan dari para guru mereka. Sehingga lahir dari tangan mereka kitab-kitab yang terus dikaji dan dipelajari hingga saat ini.

Santri zaman sekarang hendaknya gemar membaca dan mencatat apa yang mereka pelajari dari kitab-kitab kuning, untuk kemudian dikaitkan dengan fenomena atau kejadian di masa sekarang. Sehingga para santri bisa merespons tantangan zaman sekarang dengan nilai-nilai keislaman yang original.

Hal ini juga pernah dicontohkan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden Indonesia keempat, yang pernah menjadi seorang santri. Gus Dir banyak menulis tentang dunia pesantren, budaya pesantren, kritik sosial dengan memakai kacamata pesantren, merespons masalah-masalah yang terjadi dengan nilai-nilai pesantren, dan sebagainya.

Beberapa buku yang pernah ditulis Gus Dur, antara lain Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi; Tuhan Tidak Perlu Dibela; Khazanah Kiai Bisri Syansuri: Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat; Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, dan lain-lain.

Atau kalau yang lebih muda, ada KH Mustofa Bisri (Gus Mus), pengasuh Pesantren Raudlatul Thalibin, yang selain ulama juga dikenal sebagai seorang sastrawan, penyair, dan penulis kolom yang sangat dikenal di kalangan sastrawan. Di samping budayawan, Gus Mus juga dikenal sebagai penyair. Karya tulisnya antara lain Saleh Ritual Saleh Sosial, Pesan Islam Sehari-hari, Fikih Keseharian, dan lain-lain. Gus Mus juga terkenal sebagai ulama yang aktif menggunakan media sosial, baik Facebook maupun Twitter. Bahkan, setiap hari ada saja kuliah twitter (kultweet) darinya, tentang Islam keseharian.

Atau bagi santri Pesantren Modern Al-Amanah, ada sosok KH Nurcholis Misbah (Romo atau Abah Nur), pengasuh Pesantren Modern Al-Amanah Junwangi Sidoarjo, Jawa Timur, yang rutin menulis kolom tausiah di Majalah Imtiyas, majalah bulanan Pesantren Modern Al-Amanah yang rutin terbit tiap bulan. Bahkan, tulisan-tulisannya juga sudah diterbitkan menjadi sebuah buku, yang terbaru adaalah buku Merawat Jiwa, berisi renungan-renungan KH Nurcholis Misbah tentang bagaimana menjaga hati dan merawat jiwa agar selalu ingat akan kebesaran Allah.

Itulah salah tugas santri kekinian: berdakwah bil qalam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan