Santri dan Tren Purifikasi Agama

1,175 kali dibaca

Menjadi Islam sekarang tak lagi cukup. Sekarang tuntutan yang sering beredar di mana-mana adalah berislam “sesuai” al-Quran dan Sunnah, walaupun sejatinya penulis juga kurang mengerti bagaimana bisa seorang yang mengaku bagian dari Islam, sebagai muslim, tapi apa yang diyakininya tak sesuai al-Quran dan Sunnah? Menerima Islam berarti menerima al-Quran dan Sunnah. Karena keduanya adalah ibu kandung Islam itu sendiri. Tanpa al-Quran dan Sunnah, tak akan ada Islam.

Berbeda lagi, jika yang mereka maksud adalah “sesuai” al-Quran dan Sunnah “versi” mereka. Maka persoalannya menjadi argumentatif. Bagaimana al-Quran dan Sunnah versi mereka? Lalu apa bedanya dengan orang yang mereka dakwa tidak sesuai dengan al-Quran dan Sunnah?

Advertisements

Tentunya, bicara soal al-Quran dan Sunnah adalah bicara tafsirannya. Al-Quran tentu tak bisa digunakan sebagai bahan perdebatan. Orang bisa jatuh pada debat kusir belaka. Namun, jika yang dimaksud adalah berdebat tentang penafsirannya,  tentu akan berjalan dengan menarik. Karena al-Quran itu absolut, namun tafsirnya relatif.

Seruan untuk kembali pada al-Quran  dan Sunnah adalah sebuah fenomena yang disebut “purifikasi” agama. Kelompoknya disebut “puritan”. Gagasan yang mereka kemukakan adalah anggapan bahwa manusia telah tersesat dari jalan agama yang sesungguhnya, dan terjebak pada hal-hal di luar agama yang kini dicampur aduk dalam agama.

Tidak ada yang salah dengan paham purifikasi. Itu adalah keyakinan yang mereka percaya dan menjadi hak asasi yang boleh diperjuangkan. Namun, masalahnya adalah kebanyakan dari mereka yang meneriakkan slogan ini enggan untuk memaparkan argumentasinya dengan teknik yang elegan.

Jika kita tarik mundur ke zaman dahulu, para ulama juga sering berbeda pendapat dalam sebuah topik. Namum perbedaan di antara mereka diutarakan dengan cara yang elegan. Misalkan, Imam Ghazali mengungkapkan ketidaksetujuannya akan konsep filsafat yang kala itu sedang berkembang. Ketidaksetujuannya itu dituangkan dalam sebuah karya, yang hingga kini banyak dikaji orang, yakni kitab Tahafut al Falasifa. Ternyata, pendapat Imam Ghazali ini berseberangan dengan Ibnu Rusyd, seorang filsuf besar Muslim. Tapi ketidaksetujuan Ibnu Rusyd dihadirkan lewat karya yang juga sangat terkenal, yakni bukunya yang berjudul Tahafut Tahafut.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan