Santri dan Ragam Islam Kota Industri

664 kali dibaca

Ketika masih berada di pesantren, kita pasti sepakat bahwa keimanan seorang santri sedang berada di posisi yang cukup kokoh. Namun, ukuran keimanan seorang santri bukanlah ketika berada di pesantren. Di pesantren, ‘penjaga’ iman itu banyak. Justru, kadar kesantrian seorang santri yang sesungguhnya adalah ketika santri sudah memutuskan untuk mengakhiri masa studinya di pesantren, dan mulai melakukan kegiatan di dunia luar. Ibarat seekor burung yang bertahun-tahun betah hidup di sangkar, kini memutuskan untuk terbang ke hutan. Jangankan ke hutan, terbangnya pun mungkin belum semahir kawan-kawannya yang lain.

Begitupun yang dialami penulis ketika memutuskan untuk memulai lembaran baru dalam kehidupan di masyarakat. Setelah berpamitan dan sowan pada kiai di Pondok Pesantren Nurul Hidayah Al-Falah, penulis memutuskan melanjutkan studinya pada jenjang sarjana di UIN Sunan Ampel Surabaya. Beranjak dari kota kecil macam Mojokerto, dengan bekal hidup di lingkungan pesantren selama kurang lebih 6 tahun, menuju kota Surabaya. Sebuah kota yang dijuluki sebagai Ibu kota kedua, tentu hal ini membuat penulis berkali-kali mengalami shock culture yang cukup ekstrem.

Advertisements

Surabaya dikenal sebagai kota Industri terbesar kedua di Indonesia, setelah Jakarta. Hal ini membuat Surabaya memiliki demografi penduduk yang sangat plural, karena sebagian besar penduduknya adalah perantauan. Kondisi ini membuat santri (dalam hal ini penulis), mengalami lompatan yang cukup besar, dari lingkungan yang cukup homogen selama bertahun-tahun.

Tantangan yang harus diterima penulis selama hidup di Surabaya bagai berjalan di antara dua jurang yang cukup dalam. Jurang pertama adalah gemerlapnya kota metropolitan yang penuh dengan pergaulan bebas, dunia malam, dan kerasnya kehidupan sosial. Jurang kedua adalah makin banyaknya penulis berjumpa dengan orang-orang yang memiliki pemahaman agama yang berseberangan dengan keyakinan penulis.

Bagi penulis, jurang kedua nampak lebih mengerikan dibanding jurang yang pertama. Karena jurang kedua ada wilayah abu-abu. Titik permasalahannya adalah keyakinan yang sifatnya debateable. Makin bias kebenaran yang diyakini penulis dengan kebenaran yang diyakini oleh jurang kedua ini membuat level kengerian untuk jatuh di dalamnya menjadi semakin besar. Tantangan yang diterima penulis adalah bagaimana mampu mempertahankan apa yang selama ini ia yakini, dengan tetap bergaul dan bereputasi baik diantara para penghuni jurang kedua ini.

Hal ini menuntut penulis untuk terus belajar demi menjalani kehidupan yang harmonis dan ideal di antara orang-orang ini. Selama di pesantren, penulis dan kawan-kawannya mendengar berita soal Islam radikal, Islam arogan, Islam kanan, Islam kiri, dan lain sebagainya hanya dari tutur kata kiai dan media-media yang sifatnya terbatas. Tentu sebelum mengalaminya sendiri, penulis denial terhadap pernyataan tersebut. Ia pikir, Islam ya sebagaimana yang ia lihat selama ini. Namun nyatanya tidak sesederhana itu. Islam sangat kompleks dan beragam. Maka, memprotes para orientalis yang mengkotak-kotakkan Islam adalah hal yang sangat naif. Karena harus diakui, mereka punya nalar metodologis yang lebih maju dibanding kita. Karena memang realitanya kita hidup di kotak masing-masing. Hampir kita semua menghindari pertemuan antar-kotak itu.

Shock culture antara penulis dengan ragamnya pilihan berislam di Surabaya adalah satu dari sekian ribu kasus yang sama, yang dialami oleh mahasiswa seluruh Tanah Air. Namun sebenarnya, itulah gerbang awal menuju Indonesia yang lebih toleran dan moderat. Mengutip pernyataan dari komedian Dzawin Nur Ikram (yang juga alumni pesantren), bahwa meyakini kebenaran yang kita percayai itu wajib hukumnya, namun representasinya bukan dengan menghardik orang lain yang kita yakini salah. Dalam kehidupan yang demikian, santri dituntut untuk lebih arif dan bijak dalam bersikap. Jangan sampai kebenaran yang kita yakini terenggut, tapi jangan sampai pula kebenaran yang kita yakini menjadi senjata untuk menghakimi orang lain.

Keragaman sejatinya mendewasakan. Orang dewasa dituntut untuk mampu bersikap ideal di mana dan kapan ia bertindak. Dengan menyaksikan dunia yang begitu luas, kita akan menemukan banyak perspektif baru tentang kehidupan. Syaikh Ali Jaber pernah mengungkapkan, bahwa jangan caci maki orang yang belum berjilbab, karena kita tak tahu barangkali ia tiap malam punya dua rakaat tahajjud yang akhirnya membuat semua dosanya terampuni.

Islam tak sesederhana yang ada di pikiran dan literatur yang kita baca. Ia begitu luas dan beragam hidup di tengah masyarakat, dengan cara memandang yang berbeda. Ibarat Islam ini adalah sebuah tugu kota, seorang akan menganggap posisinya ada di depan sebuah pagar, namun seorang lain akan menganggap tugu itu berada di balik pepohonan. Tergantung dari arah mana seseorang melihat tugu tersebut.

Dari Surabaya, penulis mengerti bahwa keniscayaan yang harus ia dan generasinya hadapi adalah, hidup yang harus tetap ideal di tengah masyarakat yang plural.

Wallahu A’lam.

Multi-Page

One Reply to “Santri dan Ragam Islam Kota Industri”

Tinggalkan Balasan