Santri dan Politik Praktis

740 kali dibaca

Beberapa waktu yang lalu kita dihebohkan dengan salah satu unggahan Mardani Ali Sera yang merupakan anggota F-DPR RI dari Partai Keadilan Sosial (PKS). Unggahan tersebut memuat quote dari seorang alim, Gus Baha yang berisi pesan tentang arah politik dan santri.

Menurut sudut penulis, yang membuat atau memancing kegaduhan adalah dengan ditempelinya logo PKS dan DPR. Mengapa hanya sebatas logo dapat membuat kegaduhan, itulah yang mungkin kita tanyakan.

Advertisements

Hemat saya ini bukan hanya sebatas logo, tapi kita ya harus mikir bagaimana perasaan muhibbin dan orang-orang nahdliyin saat gambar kiai mereka yang sekaliber Gus Baha ditempeli logo PKS. Wong kita tahu sendiri bagaimana hubungan NU dan PKS. Jadi kita dapat menyimpulkan bersama.

Tapi saya tak mau berlarut-larut hanya membahas logo dan Gus Baha milik siapa, karena sejatinya Gus Baha adalah pendakwah untuk mensyiarkan Islam itu sendiri, bukan hanya untuk wong NU, PKS, Muhammadiyyah, ataupun ormas-ormas lainnya. Lebih daripada itu, ada yang ingin saya bahas sebenarnya terkait politik saat ini, apakah sudah dihiasi oleh santri?

Politik Praktis

Terlepas dari pro dan kontra tersebut, sejenak mungkin kita harus membahas tentang arah politik bangsa kita yang mungkin kendalinya harus dipegang oleh seorang santri.

Saat mondok, orang seperti saya mungkin tak akan menggubris tentang bahasan politik. Saya mungkin telanjur malas untuk berbicara politik praktis yang hanya berisi kebusukan oleh ulah-ulah politisi kotor.

Namun, seiring berjalannya waktu dan saya juga telah boyong dari pesantren, saya pun mulai menikmati bangku kuliah dan sering pula mendengar obrolan, diskusi, dan kajian tentang politik. Hal inilah yang mendorong saya untuk melihat masa depan, apakah harus ikut andil dalam politik di masa depan, atau lebih sederhananya juga timbul artikel yang saya tulis ini.

Sebelum lebih jauh, kita haruslah memahami secara kontekstual apa itu politik dan apa hubungannya dengan santri. Secara kontekstual, politik yang artinya dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara, adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.

Namun, realitasnya politik saat ini hanya digunakan untuk menjadi alat mencari kekuasaan, uang, dan gerakan-gerakan yang hanya untuk kepentingan sendiri.

Politik praktis ini yang juga membuat hadirnya kasus-kasus seperti suap, korupsi proyek negara, jual beli jabatan dalam lingkungan pemerintahan, dan melanggengkan kekuasaan lewat jalur-jalur dinasti “keluarga” dalam kekuasaan.

Kapan Santri Berpolitik

Kiai saya pernah mengatakan bahwa kita haruslah berjuang untuk agama Allah, yakni Islam. Selaras pernyataan ini dengan kata-kata Gus Baha yang mengatakan, “Kalau santri nggak mau berpolitik dan terjun politik, memangnya Islam mau disalurkan lewat apa? Seribu fatwa haram melacur itu masih kalah dengan satu tanda tangan penutupan lokasinya.”

Bunyi pernyataan itulah yang harus kita korek atau kalau istilah santri onceki lebih dalam. Jika jabatan-jabatan politik strategis tak dikuasai orang baik seperti santri, maka hanya akan diisi oleh orang-orang yang hanya mementingkan ambisinya semata.

Politik inilah di kemudian waktu dimaknai sebagai wasilah oleh para ulama untuk menguatkan agama Allah SWT. Hingga pendapat masyhur oleh Imam Mawardi yang mengatakan bahwa politik jika dilandasi agama maka akan baik.

Lantas apakah kini santri siap untuk berpolitik? Maka jawabannya haruslah siap. Mengapa penulis berpendapat demikian, karena sejatinya contoh-contoh gerak politik telah ada dari zaman dulu hingga kini.

Bedanya adalah, jika zaman dulu politik digunakan untuk diplomasi meraih kemerdekaan negara dari belenggu penjajah, membuat ideologi negara, dan pernah pula diplomasi politik ini yang menjadi wasilah Arab Saudi pada waktu itu tidak membongkar makam Nabi SAW. Walaupun saat ini dikenal dengan politik praktis, namun politik praktis ini dimanfaatkan dengan semestinya maka akan memberikan kemaslahatan yang luar biasa bagi umat.

Maka selayaknyalah santri saat ini haruslah melek dengan arah gerak politik dalam negeri. Buatlah partai politik berwarna dengan hadirnya santri, membuat ruang untuk perkembangan Islam ke depan, dan mengatur undang-undang untuk ketentraman kehidupan atas SARA yang ada di Indonesia.

Seperti kata Gus Baha, satu tanda tangan penutupan lokalisasi lebih menang daripada 1000 fatwa yang ada. Siapkah santri untuk berpolitik? Minimallah mau membahas dan menuliskan hal-hal politik untuk ikut mengawal negeri.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan