Santri dan Mudik Lebaran

1,210 kali dibaca

Ini adalah tahun kedua Lebaran di tengah pandemi. Banyak hal yang berubah, mulai dari kebiasaan, kegiatan, dan perayaan momen-momen penting. Bagaimanapun, tidak ada seseorang yang menginginkan hal ini. Apalagi saat Lebaran, sebagian besar orang menginginkan berkumpul di kampung halamannya. Bersama kelurga, mengingat memori saat kecil di kampung halaman, atau bertemu kerabat yang, bahkan kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Hanya di momen Lebaran kita bisa bertemu sapa dengan mereka.

Banyak hal menyenangkan sekaligus menjengkelkan sebenarnya saat momen Lebaran itu. Menyenangkan, tentu saja bisa bertemu dengan orang tua di rumah. Apalagi seorang santri, yang sekian lama menahan rindu, menabungnya sedikit demi sedikit di balik tembok pesantren, kadang-kadang, tak ada yang bisa mengobatinya selain air mata.

Advertisements

Sisi lain yang menjengkelkan adalah muncul pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya hanya basa-basi, tapi tetap saja masuk ke dalam hati. Biasanya, pertanyaan-pertanyaan tersebut datang dari keluarga yang jauh. Selain menanyakan kabar, ada turunan pertanyaan yang sebenarnya cukup merasahkan untuk seorang santri.

Misalnya, kapan rabi (nikah), ngaji sudah sampai mana, sudah hafal Alfiah berapa bait, dan sederet pertanyaan lain yang keluar dari mulut ke mulut. Mungkin, untuk sebagian santri, pertanyaan tersebut tidak mengenakkan. Pasalnya, secara tidak langsung hal tersebut merupakan “pengingat” atau cambukan yang belum siap untuk dihadapi.

Bagaimana tidak, saat santri merasa hal itu belum sepatutnya ditanyakan, namun harus terlebih dulu mendengarnya. Padahal, mereka sedang sibuk-sibuknya menuntut ilmu. Ada harapan kecil  seandaniya bisa disampaikan oleh hati. Seperti doakan saja semoga semua berjalan lancar, atau doakan saja supaya dapat ilmu yang berkah. Di tambah, tidak semua santri memiliki kemampuan belajar yang sama.

Artinya, sebagaimana manusia pada umumnya, santri memiliki kemampuan dan kecakapan ilmu yang berbeda-beda. Ada yang pandai menulis, ada yang pandai berpidato, ada yang pandai teknologi, ada yang pandai desain, dan kepandaian-kepandaian lain yang berbeda-beda.

Memang, hal tersebut menjadi beban moral tersendiri bagi seorang santri. Di mana mereka harus bisa memenuhi tuntutan sosial yang dianggap sebagai orang pandai agama. Padahal, ada sisi lain yang harus dilihat dari seorang santri, yaitu potensi dalam dirinya yang tidak dimiliki oleh insan yang lain, yang berbeda-beda, dan tidak bisa dipukul sama.

Kendati demikian, kewajiban memahami dan mengerti ilmu agama memang kewajiban bagi seorang santri. Namun, menyamaratakan bahwa santri adalah orang yang ahli agama, saya rasa kurang tepat. Perlu dibedakan antara mengerti dan ahli.

Barangkali, doa adalah ucapan paling tepat yang harus keluar dari siapa saja yang masih beranggapan bahwa santri adalah ahli agama. Misalnya, doakan saja mereka supaya mempunyai ilmu yang bermanfaat, ilmu apa saja yang penting baik, dan doakan saja supaya menjadi orang yang berguna bagi agama dan bangsa. Sebab, di pesantren santri tidak hanya belajar, tapi juga dididik untuk menjadi manusia yang bermanfaat. Paling tidak, santri tidak diajarkan untuk merugikan orang lain.

Dengan adanya larangan mudik yang kedua kalinya, bagi sebagian santri mungkin menjadi anugerah tersendiri. Terhindar dari hal-hal toxic dan bisa lebih fokus mengembangkan dirinya di pesantren.

Sebagai seorang santri, saya pernah merasakan kebingungan dalam belajar ketika di pesantren dulu. Pertanyaan paling dasarnya adalah, kenapa santri diajarkan begitu banyak cabang keilmuan, mulai dari kitab-kitab fikih, nahu-saraf, mahfudzat, dan lain-lain. Belum lagi mata pelajaran umum di sekolah, yang mana saya dituntut untuk memahaminya.

Bagaimana bisa, seorang santri seperti saya, yang mempunyai kemalasan dan keterbatasan, dengan umur yang terbilang masih remaja, harus memadatkan otak dengan puluhan mata pelajaran, belum lagi kitab kuning yang menurut saya cukup rumit untuk dipahami.

Keresahan tersebut kemudian saya tanyakan kepada kiai pimpinan pondok semasa aliyah itu. Kemudian, beliau memberikan jawaban yang cukup membuat saya sadar. Kira-kira seperti ini; “Banyaknya kitab yang kamu pelajari saat ini, adalah modal awal untuk di masa nanti setelah kamu selesai dari pondok. Syukur-syukur bisa mengerti semunya, kalaupun belum bisa, paling tidak, kamu tahu nama-nama kitab, pengarangnya, ajarannya, dan sanad keilmuannya. Supaya kamu tidak tersesat di masa yang akan dating.”

Dari jawaban tersebut, saya berpikir bahwa mempelajari ilmu tidak boleh berakhir setelah keluar dari pesantren, terutama ilmu-ilmu agama, dan pesantren, adalah fondasi awal agar santri tidak tersesat di kemudian hari.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan