Santri dan Krisis Pemahaman Islam Mahasiswa

1,506 kali dibaca

Sudah cukup lama saya bergelut di dalam dunia pendidikan pesantren. Sejak lulus sekolah dasar di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, orang tua saya langsung mengirim saya ke pondok pesantren yang cukup terkenal di Madura, Jawa Timur. Hingga saat saya menulis artikel ini, saya masih nyantri sembari kuliah di Semarang.

Saya pikir, seusia saya yang saat itu baru lulus sekolah dasar, tidak sepantasnya harus meninggalkan rumah dan jauh dari bawah ketiak orang tua. Tapi nyatanya, saya berhasil juga melalui fase-fase yang saya rasa sedikit sulit itu, fase di mana saya mendapat gelar “santri”.

Advertisements

Anak kecil seumur jagung sudah dilatih untuk bisa hidup lebih mandiri. Semenjak nyantri, saya diberi uang saku untuk jatah sebulan, dilatih untuk mengatur uang jajan dan kebutuhan. Sering sekali saya salah perhitungan dan menghabiskan jatah sebelum datang lagi jatuh tempo.

Tidak jarang juga saya menodong orang tua untuk bisa dapat uang saku tambahan supaya tetap bisa jajan. Semua hal yang menyangkut pribadi, saya siapkan sendiri. Kecuali makan pagi, siang dan malam. Sebab, Makan tiga kali sehari itu sudah disediakan pondok agar santri lebih fokus dalam menghafal Al-Quran dan mengembangkan daya intelektual.

Di pondok pesantren, pelajaran-pelajaran yang didasari keislaman lebih menonjol dibandingkan ilmu-ilmu yang dianggap umum oleh banyak kalangan. Pelajaran Bahasa Arab dan Inggris begitu banyak saya dapatkan. Teks-teks gundul tanpa harakat pun saya pelajari. Sejak saat itu juga, khazanah keislaman saya sedikit bertambah. Saya mulai bisa memahami kedua bahasa asing itu.

Waktu terasa berjalan begitu cepat. Di pengujung tahun 2020, saya dinyatakan lulus dari pondok pesantren. Dengan bekal ijazah berbahasa Arab, saya mencoba mendaftar ke perguruan tinggi di Timur Tengah. Naas, sampai saat ini, tidak ada kejelasan antara saya diterima atau tidak.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan