Saya tak pernah sebegitu salah tingkah, salting, sampai suatu hari saya merasa begitu dimuliakan justru oleh seorang kiai.
Pengalaman itu sebenarnya ingin saya pendam sendiri. Atau, sesekali diselipkan dalam obrolan warung kopi. Tapi, setelah mengobrol dengan beberapa teman, sebagian dari pengalaman itu akhirnya saya jadikan tulisan ini, semata-mata untuk berbagi kebajikan. Sebab, setiap kebajikan adalah sumur hikmah.

Hari itu, Minggu (8/6/2025), saya bersama sejumlah pengurus jejaring duniasantri bersilaturahmi ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sejak kedatangan, saya merasa, kami memperoleh perlakuan istimewa. Minggu pagi itu kami langsung menuju kediaman KH Riza Yusuf Hasyim, cucu Hadratussyekh KH Hasyim Asya’ari, sesepuh Pondok Tebuireng yang akrab disapa Gus Riza —yang dalam tulisan ini menggunakan sebutan Pak Kiai.
Lazimnya, tetamu di kediaman tokoh, termasuk kiai, akan diarahkan ke ruang tamu, kemudian dipersilakan menunggu sampai tuan rumah muncul untuk menyambut tamunya. Kelaziman seperti itu juga saya rasakan ketika mengunjungi banyak pesantren atau sowan ke kediaman banyak kiai di berbagai daerah. Tapi tidak kali ini. Ketika mobil kami masuk pelataran, Pak Kiai justru sudah menyambut kami di beranda rumahnya. Di sana, sendirian, Pak Kiai menunggu kami satu per satu turun dari mobil, sampai Pak Kiai mempersilakan kami duduk di beranda setelah kami bersalaman dan berusaha untuk mencium tangannya. Bagi saya, itu hal yang tak biasa.
Setelah cukup lama mengobrol, siang itu kami dipersilakan ngaso sebentar, kemudian mengelilingi kota Jombang. Sebelum itu, Pak Kiai juga menyarankan kami untuk ziarah ke sejumlah situs, di antaranya makam Syekh Jumadil Kubro dan Putri Campa yang ada di Trowulan, Mojokerto. Siang itu kami meninggalkan kediaman Pak Kiai dan janjian akan bertemu lagi bakda maghrib di kompleks Pesantren Tebuireng.
Setelah melihat-lihat gedung Mahad Aly Tebuireng dan Museum Islam Indonesia, bakda maghrib kami bergeser ke kompleks utama pesantren. Tak lama kami menunggu di halaman Gedung KH Yusuf Hasyim, Pak Kiai tiba bersama istri. Menyetir mobil sendiri. Kami kemudian diajak melihat-lihat ruangan yang rencananya akan digunakan untuk kegiatan jejaring duniasantri.
Ketika akan melihat aula di lantai tiga, Pak Kiai meminta seorang santri untuk bersiaga di lift. Mungkin karena ukuran lift terbilang kecil, kami diminta lebih dulu masuk lift. Saya berpikir Pak Kiai akan segera menyusul masuk lift karena masih cukup ruang. Ternyata dugaan saya salah. Santri yang siaga tadi diminta menekan tombol untuk menutup pintu dan lift segara meluncur ke atas. Saya merasa ada yang ganjil.
Sampai di lantai tiga, keluar dari pintu lift, saya masih berdiri di sana menunggu Pak Kiai muncul dari pintu lift yang sama. Ternyata saya salah lagi! Pak Kiai justru muncul dari pintu lain. Bukan menggunakan lift, tapi menapaki tangga. Masyaallah, dalam hati, Pak Kai naik ke lantai tiga menggunakan tangga biasa. Saya pun mulai salah tingkah.
Karena di seberang sana Pak Kiai masih berbicara dan memberi perintah ini-itu kepada santri, kami menunggunya di depan pintu aula, duduk bersila. Tak lama kemudian Pak Kiai mendekati kami. Tidak berdiri. Pak Kiai langsung duduk di depan saya, agak menyamping. Bukan bersila seperti kami. Saya melirik, Pak Kiai “duduk tahiyat”, kaki ditekuk ke belakang, dengan posisi tubuh miring-menyamping. Ketika berbicara, tubuhnya didoyongkan ke depan, dan selalu mengacungkan ibu jarinya.
Lagi-lagi saya menjadi salah tingkah, dan langsung memperbaiki posisi duduk. Tidak lagi bersila. Saya langsung ikut “duduk tahiyat”, menekuk kaki ke belakang, dan membuangnya ke samping yang jauh. Tapi saya tetap tak bisa lagi mencari posisi duduk yang lebih rendah. Sebab, Pak Kiai sudah berada dalam posisi duduk yang paling rendah.
Seusai melihat-lihat ruangan aula, kami diajak bergeser ke makam masyayikh Tebuireng untuk ziarah. Saat itu, Pak Kiai memberi isyarat kepada santri untuk membuka pintu lift, dan saya diarahkan untuk turun menggunakan lift tersebut.
Secara spontan saya langsung bilang, “Tidak, Pak Kiai, saya ikut jenengan.” Saya pun memilih menuruni tangga di belakangnya. Dan sejak itu, sebisa mungkin, saya mengambil posisi berjalan di belakang Pak Kiai, minimal di sampingnya. Saya tak mau terjebak lagi seperti pengalaman ketika naik lift itu.
Saat hendak menuju area makam, hujan turun rintik-rintik. Jalan menuju makam penuh santri. Pak Kiai sudah memegang payung, dan mengajak saya untuk berteduh di payung yang sama. Saya menjadi salah tingkah lagi —para santri yang melihatnya akan menduga-duga, siapa orang berkaus oblong yang dipayungi Pak Kiai itu? Untung, setelah dicari-cari, di mobil rombongan kami ada payung. Selamatlah, saya akhirnya bisa berjalan di belakang Pak Kiai dengan membawa payung sendiri.
Lihatlah, di sepanjang jalan menuju makam, banyak santri berebut bersalaman dan mencium tangan Pak Kiai. Dan setiap kali disalami santri, Pak Kiai selalu memelankan jalannya, berusaha mengelus bahu santri yang disayanginya. Bayangkan, apa yang terjadi jika saya berjalan di sampingnya, tidak di belakangnya, dan malah dipayungi oleh Pak Kiai?
Kami, terutama saya, merasa sangat terhormat dan dimuliakan, ketika Pak Kiai membuka gembok pintu pagar pesarean KH Hasyim Asya’ari, KH Abdurahman Wahid (Gus Dur), dan para masyayikh Tebuireng. Tubuh saya menggigil ketika Pak Kiai mempersilakan kami memasuki pesarean itu. Tak semua orang bisa memasukinya. Tapi saya bisa berzikir dan berdoa sambil memegangi pusara Mbah Hasyim dan Gus Dur.
Pengalaman hari itu membuat saya merasa dimuliakan, tapi jadi sering salah tingkah. Hingga hari kami kembali ke Jakarta, saya tak pernah benar-benar berhasil mencium tangan Pak Kiai ketika bersalaman. Dari pengalaman itu saya banyak belajar tentang bagaimana cara menghormati, mengasihi, dan melayani sesama. Itulah tradisi pesantren yang sudah begitu mengakar.
Saya tak habis pikir, kenapa masih ada orang-orang yang menyebut tradisi beradab di lingkungan pesantren seperti ini sebagai feodalisme.