Tidak semua sujud menghadap kiblat. Ada yang mengarah pada luka, pada cahaya yang datang dari Timur—tempat kebenaran pernah disembunyikan dan dicatat diam-diam.
***

Langgar itu berdiri di kaki bukit yang terlupakan, setengah tersembunyi di antara pohon-pohon tua dan pagar hidup yang nyaris mati. Dindingnya kayu yang mulai lapuk, atapnya dari seng berkarat, dan satu-satunya lampu yang menggantung tak pernah benar-benar terang. Tapi tiap kali aku melangkah masuk, selalu ada perasaan seolah aku sedang memasuki ruang yang menyimpan banyak sekali suara—suara yang dulu pernah berdoa, pernah menangis, pernah bertahan.
Mereka menyebutnya Langgar Timur. Alasannya sederhana: sajadah di dalamnya tak menghadap ke kiblat. Ia menghadap ke arah Matahari terbit. Ke timur. Dan anehnya, tak ada yang berani membetulkannya. Bukan karena takut pada sesuatu yang mistis. Tapi karena langgar itu sudah seperti pusaka yang tak boleh disentuh. Hanya beberapa orang tua desa yang masih rutin datang ke sana, dan konon—dulu—Kiai Ghozali-lah yang diam-diam menjaga agar tempat itu tetap utuh.
Aku Luthfi, santri tingkat akhir di Pesantren Darul I’tibar, yang datang ke langgar itu bukan untuk beribadah—awalnya. Aku hanya ingin tahu kenapa ada tempat ibadah yang dibiarkan ‘salah arah’ selama puluhan tahun, dan kenapa para kiai yang terkenal ketat dalam hal syariat justru seolah membiarkannya.
Semula aku mengira langgar itu hanya peninggalan tua yang dilupakan. Tapi tidak. Ia tetap terawat. Sajadahnya bersih. Ada sandal-sandal tua di terasnya, dan sesekali tercium bau dupa samar yang entah dari mana asalnya. Ada aura sunyi yang bukan kosong, tapi penuh.
Aku menemukannya secara tak sengaja. Hari itu aku ditugaskan menyalurkan bantuan ke warga terdampak banjir di dusun bawah. Di tengah perjalanan, hujan turun tiba-tiba dan aku berteduh di langgar itu. Di situlah pertama kali aku melihat sajadah yang menghadap ke arah yang keliru. Tak hanya satu, tapi seluruh barisan sajadah dalam langgar itu dipasang ke arah timur.