Saat Nabi Membela Para Penyebar Ilmu

3,626 kali dibaca

Banyak sekali amaliah ataupun ibadah yang apabila diamalkan, maka Allah Swt akan memberikan pahala yang berlipat ganda. Pahala yang berlipat ganda itu bila dikalkulasi, ada yang berlipat 10 kali, 70 kali, hingga 1000 kali. Namun, ada amalan yang jauh lebih melimpah pahalanya, yakni 70.000 kali lipat manakala berkaitan dengan ilmu.

“Tidak ada keutamaan amal yang melebihi dari keutamaan nasyrul ilmi (menyebarkan ilmu),” kata KH.Sobri Dinal Musthofa, Pengasuh Ponpes Yasmida Ambarawa Pringsewu, Lampung.

Advertisements

Menyebarkan ilmu, baik dari segi aktivitas belajar maupun mengajar, dalam pandangan Islam mendapat tempat yang istimewa. Orang-orang yang dalam posisi berkecimpung di bidang ilmu pengetahuan oleh Allah Swt dijanjikan derajat yang tinggi.

Agama Islam seolah tiada henti mendorong umatnya agar mencari ilmu dan memuji orang-orang yang menguasainya lalu mengamalkan ilmu tersebut.

Bahkan, kedudukan orang yang memiliki ilmu dibandingkan dengan orang muslim lainnya pernah diungkapkan oleh Hadratussyekh KH.Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab al Alim wa al Muta’alim, dengan mengutip perkataan sahabat Ibnu Abbas RA:

درجات العلماء فوق المؤمنين بسبعمائة درجة درجة ما بين الدرجتين خمسمائة عام

“Para ulama mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang mukmin pada umumnya dengan selisih 700 derajat dan di antara dua derajat terpaut selisih 500 tahun.”

Begitulah gambaran keutamaan bagi orang yang berilmu. Nah, bagaimana ketika orang yang berilmu ini menyebarkan ilmunya?

Menurut Kiai Sobri, orang yang nasyrul ilmi bagaikan tongkat yang menuntun umat manusia kepada jalan kebenaran, pelita yang menerangi kegelapan. Ia akan mengentaskan manusia dari kejahilan menuju pengenalan (ma’rifat billah), seperti halnya mursyid yang setia menunjukkan kepada murid ke anak tangga maqom-maqom thoriqoh.

Para penyebar ilmu ini menurutnya seperti meniti jalan kenabian, karena mewarisi sifat Nabi yakni mengajarkan manusia tentang apa-apa yang tidak diketahuinya. Bila hamba Allah SWT ini istiqomah dalam meniti jalan rasul-Nya, maka keberkahan dan pembelaan Allah dan Rosul-Nya kepada para penyebar ilmu akan selalu menyertai.

Sejarah mencatat, karya-karya ulama klasik hingga kini masih terus dikaji. Dari panggung diskusi ilmiah di kampus-kampus hingga forum bahtsul masail di pesantren. Keadaan demikian menjadi saksi mengalirnya ilmu secara turun temurun tidak menjadikan ilmu habis lalu punah di telan waktu.

Sebagaimana al-Quran yang senantiasa dijaga oleh Allah hingga akhir masa, maka Allah pun akan menjaga ilmu para kekasih-Nya.

Ambil contoh kitab karya ulama klasik, seperti Jaami’u Karomatil Auliya karya Al-Imam al-‘Allamah Asy-Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani (L.1265 / W. 1350 H) dan kitab Ihya’ Ulumiddin karya Hujjatul Islam Al-Imam Abul Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali at-Thusi atau yang masyhur dengan sebutan Imam Al-Ghozali (L. 450 H/1058 M— W. 505 H /1113 M). Kedua kitab ini boleh jadi mempunyai karomah tersendiri. Dalam bahasa Kiai Sobri, kedua kitab ini merupakan kitab yang di-‘tashih’ (terkonfirmasi kevalidanya) langsung oleh Rasulullah SAW.

Pembelaan Rasul

Bagaimana caranya Rasulullah SAW yang sudah meninggal itu kemudian berkomunikasi dengan pengarangnya lalu mengoreksi, kemudian merestui hasil karyanya?

Dikisahkan oleh Kiai Sobri, menukil dari maqolahnya pendiri Thariqah Syadliliyah, Abu Hasan al Syadlili, suatu ketika ada seorang ulama bernama Syeh Ibnu Harazim-ada yang menyebut Abul Hasan Ali bin Harzamin, mengungkapkan kritik dan ketidaksukaannya pada kitab Ihya’ milik Imam al Ghazali. Menurut analisis Syekh Harazim, di dalam kitab Ihya’ banyak memuat hadits dhaif dan palsu yang ia ragukan keaslian sanadnya sampai ke Rasulullah SAW.

Syekh Harazim yang nota bene ulama terkemuka waktu itu juga melarang murid-muridnya mengkaji dan menelaah kitab Ihya’. Bahkan, dalam keterangan lain disebut Syekh Harazim berencana memusnahkan naskah-naskah kitab Ihya’ yang telah beredar di masyarakat.

Namun, sebelum niat Syekh Harazim terlaksana, suatu malam dalam tidurnya ia bermimpi, dalam mimpi itu tiba-tiba dirinya bersama Imam Al Ghazali berada di hadapan Rasulullah SAW,  di samping Nabi ada Sahabat Abu Bakkar Al Shidiq dan Umar ibnu al-Khattab. Lalu Imam Al Ghazali mengadu kepada Nabi:

“Ya Rasul, inilah orang (sambil menunjuk Syekh Harazim) yang terus menyalahkan dan mengkritik ajaranku (kitab Ihya’).Tolonglah, mohon petunjuk bila aku salah dalam kitabku maka aku akan berhenti, tapi jika benar maka peringatkanlah orang ini”.

“Mana kitabmu?” tanya Nabi pada Imam Al-Ghazali. Kemudian, Al-Ghozali menyerahkan kitab Ihya’ kepada Nabi. Setelah memeriksa lembar demi lembar kitab tersebut, Nabi berkata: “Ini kitab sangat baik dan sangat bermanfaat.”

Setelahnya, Nabi menyodorkan kitab Ihya’ kepada Abu Bakar, setelah melihatnya Abu Bakar menganggap kitab Ihya’ baik sekali. Kemudian Abu Bakar memberikan kitab itu kepada Umar. Setelah memperhatikannya, Umar pun memujinya dan mengatakan seperti apa yang dikatakan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Selesai Rasulullah SAW beserta dua sahabat beliau yang mulia memeriksa kitab Ihya’ Ulumuddin, dalam mimpi tersebut lalu Rasulullah memerintahkan kepada Umar agar memberi hukuman cambuk pada Syekh Harazim yang dianggap telah bersalah menilai tidak baik atas kitab karya Imam Al-Ghazali itu.

Atas peristiwa dalam mimpi tersebut, saat terjaga dari tidurnya, Syekh Harazim merasa kaget,  punggungnya terasa perih dan terdapat bekas cambukan. Ia merasa apa yang baru saja ia alami dalam tidurnya seolah bukan mimpi.

Kemudian Syekh Harazim bertaubat atas kekeliruanya lalu menceritakan apa yang terjadi kepada murid-muridnya. Sejak saat itu Syekh Harazim dan santrinya semakin intensif mempelajari kitab Ihya’ dan mensyiarkannya.

Sama halnya dengan Imam Ghazali, penulis tafsir Al-Jalalain, Imam Jalaluddin as Suyuthi juga dikarunia keberkahan ilmu dan mendapat ma’unah dari Allah. Di kisahkan, dalam suatu masa di mana ia menyusun kitab hadits Jami’us Shaghir fi Ahadits an-Nadzir wa al-Basyir, sering sebelum menulis sebuah hadits pada kitabnya, terlebih dulu ia mengkonfirmasi langsung kepada Rasulullah SAW tentang kebenaran hadits tersebut.

“Disebutkan dalam kitab Al-Asybah wa an Nadloir,Wa kana yaro nabiya yaqdlotan (Imam Jalaludin berjumpa Nabi dengan terjaga) wa kana yasaluhu ‘an ahadits (kemudian ia menanyakan hadits kepada Nabi).”

Demikianlah keutamaan orang berilmu dan menyebarkan ilmunya.

Semoga Allah SWT menggolongkan kita orang-orang yang mau belajar dan mengajarkan ilmu-Nya.

Wallahu a’lam

Diadaptasi dari mauidoh hasanah oleh KH. Sobri Dinal Musthofa, di Majlis ‘Dzikir Fida’ (29/02/2020) di Desa Ambarawa, Kecamatan Ambara Pringsewu, Lampung.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan