Di tengah maraknya sekolah-sekolah dengan bangunan megah dan kurikulum padat, seringkali kita lupa bahwa pendidikan Islam bukan sekadar proses transfer ilmu pengetahuan, melainkan juga perjalanan ruhani. Pendidikan Islam, sejatinya, adalah taman zikir, bukan hanya ruang ujian. Ia bukan sekadar tempat menyerap fakta, tetapi wadah menyemaikan makna.
Tapi coba lihat sekolah kita hari ini—berapa banyak yang memberi ruang bagi muridnya untuk benar-benar “mengalami” Allah dalam pembelajaran? Atau jangan-jangan, pendidikan kita hanya sibuk mengejar angka dan ranking, tanpa sempat menyapa langit?

Pengalaman spiritual adalah saat ketika ilmu tak hanya berhenti di kepala, tapi menyentuh hati. Ketika siswa mendengar nama Allah, bukan hanya mengangguk secara akademik, tapi hatinya bergetar. Pendidikan yang membuka ruang spiritualitas bukan mengasingkan siswa dari realitas, tapi justru menyatukan antara bumi dan langit. Seperti petani yang mencangkul tanah sambil berzikir, pendidikan Islam harus membentuk manusia yang mampu berpikir dan berdzikir sekaligus.
Bayangkan seorang anak belajar tentang air dalam pelajaran IPA. Ia mempelajari molekul H₂O, titik didih, dan tekanan uap. Tapi, di saat yang sama, guru mengajak dia merenungkan ayat, “Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup” (QS. Al-Anbiya: 30). Ilmu itu bukan hanya fakta, tapi juga ayat. Inilah yang dimaksud dengan pengalaman spiritual dalam pendidikan: menyatunya nalar dengan nur.
Sayangnya, spiritualitas dalam pendidikan sering kali dianggap bonus, bukan inti. Ia dikira tambahan, bukan fondasi. Bahkan di sekolah Islam sekalipun, kegiatan seperti zikir, muhasabah, dan shalat dhuha hanya menjadi rutinitas administratif. Padahal, ruh pendidikan Islam ada di sana—di dalam sunyi doa, dalam lirih istighfar, dalam nyala semangat mencari makna di balik materi. Bukankah Rasulullah bersabda, “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan jalannya menuju surga” (HR. Muslim)?
Tapi apa artinya “jalan menuju surga” kalau sepanjang jalan itu tak pernah terasa hangatnya dekapan ruhani?
Pendidikan Islam bukan jalan tol menuju gelar sarjana, tapi lebih mirip jalan setapak di hutan: penuh rintangan, tapi juga keheningan yang menumbuhkan. Di sanalah siswa belajar mendengar bukan hanya suara guru, tapi juga suara hati. Ia belajar bukan hanya berpikir, tapi juga merasa. Lalu bertanya dalam dirinya, “Untuk apa aku belajar? Siapa yang aku cari?”
Sebuah tamsil indah: pendidikan yang tak memberi ruang spiritual bagaikan membangun rumah mewah tanpa kamar untuk beristirahat. Fungsional, ya. Tapi membahagiakan? Belum tentu. Dalam pendidikan yang hanya logis dan mekanis, anak-anak tumbuh menjadi mesin, bukan manusia. Mereka tahu cara menyalakan mesin, tapi tak tahu cara menyalakan jiwa.
Ruang spiritual bukan ruang untuk menjauh dari dunia, tapi ruang untuk memahami dunia secara lebih dalam. Seperti seorang penyair yang melihat hujan bukan hanya sebagai air dari langit, tapi pesan dari Tuhan. Pendidikan Islam yang spiritual melahirkan manusia dengan mata dua lapis: satu untuk fakta, satu lagi untuk makna. Ketika dua mata ini terbuka, dunia jadi terasa lebih utuh, dan hidup lebih bermakna.
Namun, mari jujur. Apakah sekolah kita memberi ruang itu? Apakah guru-guru kita merasa cukup bebas dan disiapkan untuk menumbuhkan pengalaman spiritual muridnya? Atau justru mereka sendiri telah lama kehilangan arah, tersesat dalam target administrasi dan serbuan teknologi? Pertanyaannya pedih, tapi penting: kalau guru kehilangan ruh, dari mana murid akan mendapat cahaya?
Dalam konteks ini, hati (qalb) bukan sekadar simbol, tapi perangkat epistemologis dalam Islam. Ia bukan pelengkap, tapi pusat. Maka, ketika pendidikan tak menyentuh hati, ia kehilangan fungsinya yang paling mendasar. Ilmu yang tak menyentuh qalb hanya akan menjadi data kosong—seperti komputer canggih yang tak punya listrik. Menyala sebentar, lalu mati.
Pengalaman spiritual dalam pendidikan bisa muncul dalam hal-hal kecil: ketika guru memaafkan murid dengan kelembutan, ketika siswa membaca Al-Qur’an sambil menangis, ketika ada ruang untuk diam dan merenung, bukan hanya bicara dan debat. Inilah pengalaman yang membentuk manusia seutuhnya—bukan hanya lulusan, tapi hamba. Bukan hanya profesional, tapi khalifah.
Apakah ini utopia? Mungkin. Tapi bukankah semua perubahan besar dalam sejarah manusia dimulai dari ruang-ruang spiritual? Bukankah Imam al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, dan bahkan tokoh-tokoh besar reformasi Islam memulai perjalanan mereka dari perenungan mendalam? Lalu, mengapa kita takut membuka ruang itu di sekolah dan madrasah?
Maka, tugas kita bukan menambah jam pelajaran agama, tapi menghidupkan kembali ruh pendidikan. Tugas kita bukan sekadar membangun fasilitas, tapi membangun kesadaran. Tugas kita bukan hanya mencerdaskan, tapi juga menyadarkan. Dan semua itu hanya bisa terjadi kalau kita berani menjadikan pengalaman spiritual sebagai pilar utama pendidikan, bukan pelengkap upacara.