Romantisasi Radikalisme dan Masalah Digitalisasi

1,113 kali dibaca

Sejak kasus Ahok di tahun 2016, kata ‘radikal’ beserta turunan dan padanannya mendapat tempat khusus dalam praktik wacana umat muslim Indonesia. Debat antarpenduduk muslim soal dua kata tadi biasanya mengenai fakta sosial keseharian dan makna linguistik menurut kamus.

Bila ditarik mundur beberapa tahun ke belakang, masalah naiknya konservatisme di Indonesia setidaknya bisa dibagi menjadi dua babak.

Advertisements

Pertama, babak pembenihan, yang terjadi pada dekade 1980-1990an melalui beragam kajian liqo dan sejenisnya di masjid-masjid kampus. Di lain pihak, tren rohani ini terasa menjawab tantangan hidup di tengah gairah pembangunan ekonomi Orde Baru, yang hilirnya berupa: bioskop, globalisasi, musik Barat, konsumerisme, pusat perbelanjaan, dan hal lain yang berkebalikan dengan kesuburan rohani.

Babak kedua kemudian terjadi pada tahun 2000-an, di mana pasca-reformasi memberikan angin segar bagi kebebasan berkumpul dan berdiskusi, termasuk bagi kelompok-kelompok Islam yang dulu terpinggirkan. Sejak saat itu, visi-visi Islam transnasional, modernis, dan aneka ragamnya punya kesempatan dan berhasil masuk pada posisi-posisi strategis di lembaga strategis.

Tidak lama setelah itu, media digital mulai mengambil alih hampir segala aspek kehidupan di Indonesia. Visi-visi transnasional, modernis, dan anekanya berhasil memanfaatkannya dengan baik, dan mengalahkan rival nasionalis mereka secara telak. Selanjutnya, 16 tahun kemudian, hasil dari babak itu dapat terlihat sebagaimana kondisi saat ini.

Sejak saat itu, agenda kontra radikalisme, riset-riset, dan tulisan-tulisan soal radikalisme menjadi gairah utama kalangan Islam nasionalis. Masing-masing agenda punya peran khusus: riset memberikan justifikasi realita dan pertimbangan soal apa yang perlu dilakukan; tulisan-tulisan berperan sebagai kenikmatan individual dalam mengabdi pada ideologi; kontra radikalisme menjadi laku kolaboratif dalam menyelenggarakan kegiatan.

Inisiasi agenda kontra radikalisme pun bersemarak. Ada yang mengambil jalur mikroselebriti. Ada yang mengambil jalur layanan platform media tulis. Ada yang mengambil jalur konten kreatif. Ada juga yang mengambil jalur konfrontasi terbuka di media sosial. Semuanya diarahkan semata untuk mengalahkan rival mereka yang lebih dulu menguasai dunia digital.

Kontra radikalisme menjadi laris karena ada banyak pihak berkepentingan dalam wacana ini. Meskipun sering dihubungkan dengan politik elektoral dan ketertiban sipil, namun kontra radikalisme juga jadi kepentingan akar rumput, mengingat―misalnya―agenda progresif seperti emansipasi perempuan, pelemahan patriarki dan hak sipil identitas liyan, terusik oleh nafas agama yang patriarkis dan eksklusif.

Namun, kelemahan dari euforia kontra radikalisme adalah, terkonsentrasinya perhatian kalangan Islam nasionalis pada masalah radikalisme (khususnya radikalisme dalam media digital), dan melupakan substansi dari digitalisasi itu sendiri.

Sebagai kelompok yang dekat dengan kekuasaan, kalangan Islam nasionalis punya privilese tersendiri. Rezim Jokowi memandang digitalisasi berdasarkan kacamata ekonomi teknokratis. Persiapan-persiapannya disebarkan ke masyarakat umum, termasuk kalangan santri. Khusus untuk kalangan santri, ada mandat patriotik soal menjaga NKRI. Kontra radikalisme menjadi relevan sebagai ‘jihad’ baru santri di era digital. Baik pemerintah maupun kalangan santri secara populer, melupakan kacamata struktural dan kultural dalam memandang digitalisasi.

Digitalisasi adalah dunia baru yang terasa netral, namun sebenarnya tidak. Konten yang ada di lini masa kita adalah hasil saringan algoritmik berdasarkan kesukaan, preferensi, kebencian, dan kepedulian kita terhadap suatu hal ataupun isu.

Melalui proses itu, celah sosial ataupun budaya yang mengkristal di masyarakat dapat terpantul di ekologi digital wilayah geografis tertentu. Dominannya gambar perempuan kulit putih berbikini ketika mencari kata kunci ‘politisi perempuan’ di Google adalah salah satu contoh bias algoritmik di Amerika. Di Indonesia konstelasinya bisa berbeda, namun dengan prinsip kerja yang sama.

Masalah struktural kemudian muncul sebab proses kerja algoritma ditentukan oleh pemilik teknologi. Ketika proses kerjanya didesain untuk memantulkan apa yang disenangi dan dibenci oleh seseorang, maka, ada jumlah realitas terpersonifikasi yang tak terbatas. Bila ada 200 juta umat muslim di Indonesia, maka ada 200 juta profil realitas yang berbeda.

Perubahan tenaga kerja (seperti munculnya kebutuhan tenaga customer care di start up belanja daring) beserta pemenuhan hak-haknya, dan masalah resiko psikologis yang ditimbulkan digitalisasi juga termasuk masalah struktural yang luput diperhatikan. Ketika digitalisasi telah menelan semuanya, maka dua isu tersebut telah bergulir menjadi bola salju, yang boleh jadi implikasi sosialnya tak tertangani, sebab terkurasnya perhatian pada masalah counter radikalisme.

Masalah struktural tersebut terjadi di dalam sekaligus di luar ekologi digital. Berbeda dengan masalah struktural, masalah kultural terjadi di dalam individu khususnya, dan masyarakat umumnya. Masalah ini meliputi perubahan kognisi dalam mengolah dan mengartikulasikan wacana publik penting seperti politik, agama, dan pendidikan.

Patriotisme digital dalam menggalang kontra radikalisme menuntut kemampuan literasi digital di kalangan santri. Namun, makna literasi digital dalam arus mainstream lebih diartikan sebagai kecakapan teknis mengolah konten dan membedakan hoaks dan fakta secara dikotomis. Implikasi kasual namun serius dari perubahan media ini adalah tergerusnya tradisi analitik dan menulis.

Dulu, peranti teknologi di mata pondok pesantren adalah benda yang nyaris haram. Kini, tatapan pada peranti teknologi jauh lebih lunak. Divisi media, dan santri dengan kecakapan teknologi mendapat posisi emas. Mereka yang piawai kitab kuning dan hafal Al-Qur’an didorong untuk mengudara di dunia digital. Motifnya dari mulai dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, hingga menyebar konten positif.

Hal baru dalam tradisi digital ini adalah, terbiasanya laku kognitif dalam konsumsi informasi yang  singkat, terfragmentasi dan tersaji dalam bias algoritmik. Tulis menulis kemudian menjadi kurang relevan dibanding vlog dan konten visual. Di lain pihak, penggemar kegiatan tulis menulis memang ada, tapi kini banyak termotivasi sebagai reaksi dari kejadian di media sosial. Verba volant scripta manen, omongan menguap sedangkan tulisan adalah abadi, adalah pepatah yang tidak lagi relevan. Di era Big Data, apapun tenggelam dan dilupakan dalam sekejap.

Tradisi digital mulai membiasakan santri pada konstruk kognitif yang tak nyaman dengan uraian panjang, mendalam, dan sistematik. Pesantren tidak bisa mengelak, karena cepat atau lambat, perubahan generasi dengan profil kognitif yang lebih berpihak teknologi akan masuk di pesantren.

Dampak lanjutannya terhadap individu adalah, munculnya berbagai macam romantisasi yang sama sekali tidak signifikan bagi kelanjutan dan nasib umat manusia di era digital. Misalnya, romantisasi kejombloan, romantisasi kemiskinan, fatalisme keterpinggiran ekonomi, romantisasi asmara/fertilitas yang tak tergapai, dan lain sejenisnya.

Romantisme-romantisme itu ada karena sebelumnya terisolasi oleh aturan maupun gaya hidup pesantren di era pra-digital, dan kemudian mendapat pembebasan ketika, katakanlah, Tik-Tok, Instagram, dan sejenisnya menawarkan logika penyajian informasi yang bisa diterima oleh banyak orang. Trivializing, atau ‘perecehan’, menjadi budaya baru yang semakin dominan.

Gambaran dari masalah struktural dan masalah kultural menyiratkan bahwa ada dimensi lain dari digitalisasi yang luput mendapat perhatian dari kalangan santri. Bila digitalisasi adalah masa depan sekaligus tulang punggung bagi kehidupan manusia, upaya telaah dan perhatian yang lebih universal perihal digitalisasi seharusnya menjadi salah satu prioritas, di samping peningkatan kecakapan.

Hal ini penting, karena konsekuensi dari bergulirnya masalah struktural dan masalah kultural adalah menyangkut ‘bentuk’ suatu masyarakat di masa depan. Bila imajinasi itu termakan oleh romantisme radikalisme, maka biarlah bentuk masyarakat itu ditentukan oleh kehendak elite teknologi dan serangkaian bias sosial yang terpantul dari algoritmanya. Tentu terbayang, akan seperti apa bentuknya?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan