Romantisasi Radikalisme dan Masalah Digitalisasi

1,119 kali dibaca

Sejak kasus Ahok di tahun 2016, kata ‘radikal’ beserta turunan dan padanannya mendapat tempat khusus dalam praktik wacana umat muslim Indonesia. Debat antarpenduduk muslim soal dua kata tadi biasanya mengenai fakta sosial keseharian dan makna linguistik menurut kamus.

Bila ditarik mundur beberapa tahun ke belakang, masalah naiknya konservatisme di Indonesia setidaknya bisa dibagi menjadi dua babak.

Advertisements

Pertama, babak pembenihan, yang terjadi pada dekade 1980-1990an melalui beragam kajian liqo dan sejenisnya di masjid-masjid kampus. Di lain pihak, tren rohani ini terasa menjawab tantangan hidup di tengah gairah pembangunan ekonomi Orde Baru, yang hilirnya berupa: bioskop, globalisasi, musik Barat, konsumerisme, pusat perbelanjaan, dan hal lain yang berkebalikan dengan kesuburan rohani.

Babak kedua kemudian terjadi pada tahun 2000-an, di mana pasca-reformasi memberikan angin segar bagi kebebasan berkumpul dan berdiskusi, termasuk bagi kelompok-kelompok Islam yang dulu terpinggirkan. Sejak saat itu, visi-visi Islam transnasional, modernis, dan aneka ragamnya punya kesempatan dan berhasil masuk pada posisi-posisi strategis di lembaga strategis.

Tidak lama setelah itu, media digital mulai mengambil alih hampir segala aspek kehidupan di Indonesia. Visi-visi transnasional, modernis, dan anekanya berhasil memanfaatkannya dengan baik, dan mengalahkan rival nasionalis mereka secara telak. Selanjutnya, 16 tahun kemudian, hasil dari babak itu dapat terlihat sebagaimana kondisi saat ini.

Sejak saat itu, agenda kontra radikalisme, riset-riset, dan tulisan-tulisan soal radikalisme menjadi gairah utama kalangan Islam nasionalis. Masing-masing agenda punya peran khusus: riset memberikan justifikasi realita dan pertimbangan soal apa yang perlu dilakukan; tulisan-tulisan berperan sebagai kenikmatan individual dalam mengabdi pada ideologi; kontra radikalisme menjadi laku kolaboratif dalam menyelenggarakan kegiatan.

Inisiasi agenda kontra radikalisme pun bersemarak. Ada yang mengambil jalur mikroselebriti. Ada yang mengambil jalur layanan platform media tulis. Ada yang mengambil jalur konten kreatif. Ada juga yang mengambil jalur konfrontasi terbuka di media sosial. Semuanya diarahkan semata untuk mengalahkan rival mereka yang lebih dulu menguasai dunia digital.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan