Romantika Santri

3,128 kali dibaca

Sebagai seorang pencari ilmu, santri dituntut gigih dan semangat dalam belajar. Sebab, keberadaan santri di dalam pondok pesantren tidak lain memang untuk mempelajari ilmu agar memiliki bekal untuk kehidupan di dunia dan akhirat kelak.

Selama 24 jam sehari di dalam lingkungan pondok pesantren dan terus-menerus belajar, para santri pasti ada kalanya sampai pada titik jenuh atau mengalami kebosanan. Biasanya, untuk membuang kejenuhan atau kebosanan, para santri mencari hiburan dengan cara bercanda atau guyonan. Tertawa bersama agar kondisi psikis kembali segar.

Advertisements

Karena itu, sesungguhnya bersenda gurau di antara santri di dalam pesantren menjadi sesuatu yang penting. Baik untuk menghibur diri sendiri maupun orang lain agar tidak ada beban pikiran yang menurunkan semangat ataupun putus asa.

Ketika di kamar atau di masjid atau di kobong atau di sekolah, terkadang santri menemukan sebuah canda tawa untuk menghibur teman-temannya agar tidak bosan atau pikirannya suntuk. Sebab, kebosanan, kejenuhan, atau beban pikiran akan berpengaruh terhadap daya ingat atau daya hafal atau rasa percaya dirin dan semangat untuk belajar ilmu.

Senda guruai, candaan, atau guyonan juga penting bagi tak hanya bertujuan untuk menghibur diri atau diri orang lain, namun juga bisa menjadi media untuk mempererat ikatan pertemanan dan tali persaudaraan di kalangan santri.

Kiai, pengasuh pesantren, ustadz, atau guru biasanya juga memahami kondisi seperti ini. Agar para santrinya tidak jenuh atau bosan hingga semangatnya kendur, kiai atau guru sering menyelipkan candaan atau guyonan atau lelucon saat mengajar atau mengaji. Hal itu dilakukan para kiai agar para santri tidak bosan saat mengikuti kajian kitab atau mendengar penjelasan dari kiai, misalnya.

Biasanya, yang paling sering didera kejenuhan, kebosanan, dan beban pikiran adalah santri baru. Karena baru merasakan berada di lingkungan pondok pesantren, dan belum terbiasa jauh dari orangtua atau keluarga, santri baru sering dilanda kegalauan. Maka, tak heran yang sering terlihat menangis, misalnya, adalah santri-santri baru. Yang lebih sering terlihat sedih, diam, menyendiri juga santri baru. Yang lebih sering minta izin untuk menghubungi orangtua juga santri baru. Hal-hal itu terjadi lantaran santri baru memang belum terbiasa dengan suasana pondok.

Di situlah pentingnya peran seorang teman atau sesama santi yang lain. Jika ada santri yang mengalami kebosanan, kejenuhan, atau homesick, misalnya , maka kehadiran seorang teman, lebih-lebih santri senior atau kakaknya, sangatlah penting. Santri yang lain bisa menghiburnya dengan candaan, guyonan, atau memberi motivasi dan dukungan. Dengan demikian, agar yang mengalami kegalauan tidak putus ada dan kembali bersemangat untuk belajar.

Hal ini sekalipun merupakan hal yang kecil, terkadang sangat diperlukan bagi santri untuk menjaga imunitas pikiran dan hatinya agar tidak memiliki kesenjangan atau tidak memiliki suatu masalah. Sehingga, santri yang terhibur itu akan merasa lebih betah di dalam pondok pesantren. Ketika sudah merasa betah dan nyaman bermukim di pondok pesantren, maka santri itu akan makin bersemangat dalam belajar, mengaji ataupun menghafal pelajaran.

Seperti itu pula dulu pengalaman saya ketika menjadi santri. Saya pun pernah merasakan menjadi santri baru yang sangat sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan pondok pesantren ataupun dengan adanya peraturan-peraturan di pesantren.

Salah satu pengalaman yang selalu saya ingat, misalnya, mengantuk di saat belajar kitab usai salat subuh. Saat ngantuk mendera, sangat sudah untuk bisa fokus pada kitab yang sedang dikaji meskipun berusaha sedemikian rupa. Tapi, seiring berjalannya waktu, akhirnya terbiasa juga dengan suasana pondok pesantren, dan justru sangat menyenangkan. Makan bareng, mandi bareng, dan bahkan barang pibadi pun bisa jadi milik bersama, adalah pengalaman luar biasa yang tak terlupakan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan