Rokat Pangkalan dari Perspektif Sosiologis Ali Syariati

1,023 kali dibaca

Tradisi adalah sebuah ekspresi dan emosi sosial masyarakat yang diakui secara kolektif berdasarkan sistem norma yang disepakati bersama. Dalam proses pertumbuhannya, tradisi diwariskan dari generasi ke generasi dan kemudian lestari.

Indonesia sebagai negara majemuk memiliki banyak tradisi dari berbagai daerah dan suku bangsa, termasuk di Sumenep, Madura, terkhusus Pulau Giliyang. Masyarakat Giliyang tergolong ke dalam masyarakat yang masih tradisional. Mereka sangat menaati aturan dan norma yang disepakati yang terangkum dalam sebuah tradisi.

Advertisements

Salah-satu tradisi masyarakat Giliyang yang masih eksis adalah rokat pangkalan. Rokat pangkalan termasuk sebagai salah satu jenis rokat yang ada dan dilestarikan oleh masyarakat Madura pesisir. Rokat pangkalan berasal dari kata rokat dan pangkalan. Secara leksikal, rokat merupakan bentuk serapan dari kata raqatha-yarquthu-raqthan (رقط يرقط رقطا) yang artinya: berbintik (hitam_putih), bernoda, bercak.

Sebagian orang menyebut rokat berasal dari kata barakah, yang pengucapannya diambil kata ujungnya (baca: rakah, kemudian menjadi rokat). Rokat, baik dengan akar kata yang pertama maupun kedua sama-sama menunjuk pada aktivitas penyucian (dari noda), pengharapan keberkahan, kesejahteraan, dan kemakmuran dalam hidup. Sedangkan, pangkalan berarti tempat kapal atau perahu berlabuh (pelabuhan).

Dengan demikian, rokat pangkalan itu sebuah terminologi untuk menyebut serangkaian acara yang dibuat untuk memohon keselamatan, keberkahan, kesejahteraan, dan kemakmuran, serta kelancaran dalam aktivitas yang mereka lakukan selama di laut sekaligus sebagai bentuk ekspresi syukur kepada Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kekayaan laut (ikan dan semacamnya) untuk mereka.

Masyarakat Sumenep-Giliyang, selain menyebut rokat pangkalan, ada juga manamainya petik laut atau rokat tase. Kendatipun bernama rokat pangkalan yang identik dengan pesisir/laut, tetapi tradisi ini juga mencakup rangkaian acara yang dibuat untuk memohon keselamatan, keberkahan, kesejahteraan, dan kemakmuran dalam hidup. Tidak hanya tentang dunia laut dan isinya, lebih dari itu pada praktiknya rokat pangkalan juga mencakup selamatan diri, keluarga, masyarakat, dan tempat yang ditinggali juga kesejahteraan dalam pertanian, peternakan, dan lain sebagainya.

Tradisi rokat pangkalan sudah ada sejak dahulu tetapi bentuknya sangat sederhana. Orang-orang dari suku Mandar, sebagai bagian dari nenek moyang orang Giliyang, sejak kali pertama sampai di Giliyang, mereka akan memberikan makanan (semacam sesajen) yang mana perbuatan tersebut dikayakini dapat mendatangkan keberkahan. Mereka menyebut tradisi ini dengan sutawil (aktivitas yang dapat mendatangkan bekerkahan dan keselamatan). Lama-kelamaan setelah akar religiusitas keislaman semakin menguat, para penduduk mengisi kegiatan rokat pangkalan dengan zikiran, doa bersama serta membaca ayat suci Al-Qur’an. Aktor-aktor penting di Giliyang dipelopori oleh orang-orang dari suku Mandar, Buton, dan Madura sendiri. Tokoh-tokohnya yang dikenal dan dikenang yaitu Andang Taruna (Buku’ Bucel), Dato’ Sirje (Katapang_Malengen).

Ada beberapa faktor mengapa rokat pangkalan begitu sakral bagi masyarakat Giliyang. Pertama, faktor internal, yaitu faktor yang lahir dari pribadi dan keyakinan masyarakat Giliyang sendiri. Bahwa, rokat pangkalan mereka yakini sebagai jalan untuk mendatangkan keberkatan, keselamatan, dan kesejahteraan bagi masyarakat Giliyang.

Kedua, rokat pangkalan merupakan bentuk wujud syukur masyarakat Giliyang kepada Allah yang telah melimpahkan anugerah, dan rokat pangkalan termasuk bagian dari pelbagai jenis rokat yang ada dan dilestarikan oleh masyarakat Madhura pesisir. Karena itu, masyarakat akan sangat antusia dalam mengikuti ritual-ritual tersebut.

Prosesi ritual rokat pangkalan secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut. Pertama, para sesepuh setempat mulanya bermusyarah guna menentukan tanggal berapa ritual rokat itu dilaksanakan. Setelah harinya disepakati, lalu diumumkan ke penduduk setempat. Kedua, ritual rokat dilaksanakan selama 7 hari 7 malam. Di malam pertama, dibuka langsung oleh tetua di Dusun Katapang (sekarang Dato’ Suwahma) dengan memanjatkan doa, bertawassul kepada para Nabi, Sahabat, Auliya, serta para leluhur di tempat tersebut (Dato’ Sirje). Ketiga, setelah itu baca bait-bait zikir bersama-sama warisan Dato’ Sirje yang dipandu oleh satu orang.
Berikut ini bait zikirnya;

*Yong Diboyong*
Apora’a Kaule Atobet
Atobat Ka Kuste Allah
Allaila Ilaha Illallah

*Yong Diniyong*
Abinaka Nabiyullah Waliyullah
*Lailaha (*Illallah*)
Panobatan Ngathek Dunnya
Saning Allah Allahumma
Arep Kodep Nyajje’e Kenceng Orep, Orep Ingsun Saning Allah
Ya Allah Rasulullah

Zikiran tersebut dibaca selama tujuh hari tujuh malam, dimulai setelah selesai salat Isya hingga pukul 10/11 malam bertempat di Pangkalan Dusun Katapang dan. Di malam terakhir, malah ketujuh, zikiran dibaca keliling Pulau Giliyang.

Selanjutnya,ritual pembuatan perahu. Perahu dibuat untuk nanti dilepas di tengah laut bersama dengan isinya. Perahu ini biasanya setelah dibuat, ditempatkan di depan rumah Dato’ Ayyun (sekarang rumah cicitnya (I’il) sebelum kemudian dibawa ke Pangkalan Katapang, kemudian ke makam Dato’ Sirje, dan terakhir di Pangkalan Malengen untuk dilepas ke laut.

Pada tahap ini, masyarakat setempat biasanya membuat acara selamatan di tiga tempat. Pertama di Pangkalan Katapang, sebagai titik awal. Kedua di makam Dato’ Sirje sebagai titik tengah. Dan ketiga di Pangkalan Dusun Malengen sebagai titik terakhir. Dan di pangkalan ini perahu akan dilepas oleh orang yang telah ditunjuk secara turun temurun (sekarang Bapak Rusmawi).

Adapun, perahu tadi mulanya ditempatkan depan rumah Dato’Ayyun (sekarang rumah cicitnya /I’il). Kemudian pagi di hari ke-7 (pas acara berlangsung), dibawa ke Pangkalan Katapang. Di tempat ini bait zikiran (pojien) dibaca. Setelah selesai, perahu kecil akan dibawa ka Makam Dato’ Sirje, di tempat ini zikiran dibaca lagi, kemudian yang terakhir di Pangkalan Malengen, sebelum dilepas ke laut, masyarakat terlebih dahulu membaca zikir tersebut secara bersama-sama.

Adapun, relevansinya dengan teori sosiologi Islam Ali Syariati, dalam teorinya ia mengatakan bahwa Islam tidak hanya sebagai anutan atau ajaran, tetapi sebagai ideologi. Tauhid adalah pandangan hidup yang dapat memberikan jawaban atas segala permasalahan yang terjadi dalam hidup. Tauhid sebagai simbol kebebasan manusia. Ia adalah pandangan mistis filosofis yang memandang jagad raya sebagai organisme harmoni tanpa dikotomi. Tauhid yang utuh adalah masyarakat tanpa penindasan dan tanpa kelas karena kelas. Di dunia ini hanya ada dua, yaitu kelas makhluk dengan yang khalik. Sekali lagi Islam adalah perasaan, mazhab pemikiran, dan sistem keyakinan yang dimiliki seseorang dan mencerahkan.

Maka atas dasar sifat manusia yang selalu ingin yang terbaik dan selalu bergerak menuju kesempurnaan, lahirlah tradisi rokat pangkalan tadi. Rasa syukur mereka terbingkai dalam satu tradisi. Islam akhirnya tidak hanya ada di hati mereka, tetapi teraplikasikan ke dalam sebuah bentuk yang nyata, yaitu interaksi sosial. Islam membingkai kebudayaan, kebersamaan, dan keyakinan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Islam tidak hanya untuk dirimu, tetapi untuk lingkunganmu, untuk saudara-saudaramu, dan semua orang yang ada di sekitarmu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan