Rezeki yang Sesungguhnya

832 kali dibaca

“Na, kenapa kamu kasih uang itu ke nenek tadi, sih?” tanya Rina setelah seorang nenek yang berpakaian tak layak pakai menghampiri mereka.

“Kasihan, tahu. Kita beli kembang apinya nanti saja, ya, kalau uang jajanku lebih lagi. Lagian, kasihan nenek tadi belum makan seharian katanya,” sahutnya santai.

Advertisements

Mendengar jawaban dari sahabatnya itu, Rina bersungut-sungut. Bagaimana tidak? Rencana malam ini bermain kembang api bersama lenyap sudah. Tersisa pecahan-pecahan angan yang tercecer tak bisa dikembalikan lagi. Langkahnya semakin cepat di depan menjauhi Husna.

“Rina! Tunggu aku, dong!” teriak Husna seraya berusaha menyejajarkan langkah dengan Rina.

“Aku marah! Masak uang yang kita tabung selama ini buat beli kembang api bersama dengan ringannya kamu kasih ke orang lain.”

Rina berhenti dan menjelaskan isi hatinya kepada Husna. “Owalah gara-gara tadi itu, to, kamu merajuk. Tenang saja Rin, kan, kamu dengar sendiri kemarin Ustaz Zikri bilang kalau kita bersedekah itu rezeki kita tidak akan berkurang. Bahkan, akan bertambah dan bertambah.”

Husna dengan sumringah menjelaskan kembali apa yang didapat kemarin saat mengaji di masjid dengan sahabatnya. Dia sangat meyakini hal itu. Sebab, selain menjadi guru ngaji, Ustaz Zikri merupakan ustaz idola Husna. Setiap yang keluar dari mulut ustaz itu pasti Husna percaya dan diamalkannya.

Tanpa membuang kata lagi, Rina yang semakin geram saat itu kembali meninggalkan Husna. Dia tak mau emosinya semakin menjadi kepada sahabatnya itu. Suara pekikan Husna yang memanggil namanya tak dihiraukan. Setelah sampai rumah pun, Rina masuk tanpa mengucap salam dan menyapa ibunya yang berada di ruang tamu saat itu. Gadis kecil berusia delapan tahun itu segera masuk ke kamarnya.

“Halah bertambah apanya? Nyatanya malam ini enggak bisa main kembang api, berarti berkurang, dong.” Rina bermonolog dengan kondisi muka ditutup dengan bantal.

Dari perkara itu persahabatan mereka menjadi renggang. Rina semakin menjauh dari Husna. Hingga lulus dan melanjutkan ke sekolah yang berbeda.
***
“Assalamualaikum,” ucap Rina sesaat setelah sampai di depan rumah Husna yang dari dulu masih sederhana.

“Waalaikumussalam. Wah, orang kota pulang kampung ini. Masuk, Rin silakan.” Husna begitu bahagia dan memeluk Rina yang baru saja masuk ke rumahnya.

Masih seperti dulu aura Husna saat bertemu dengan sahabatnya itu penuh dengan senyuman dan semangat. Sudah cukup lama Rina yang sibuk di kota tak kembali ke desa. Setiap ada kesempatan pulang kampung Rina tak pernah mampir ke rumah Rina. Jadi, Husna sangat bersyukur dan bahagia kala Rina berkunjung ke rumahnya itu.

“Kamu apa kabar, Na?” tanya Rina setelah mengurai pelukannya.

“Aku baik alhamdulillah. Suami dan anak-anakku juga baik. Kamu bagaimana?” Husna balik tanya.

“Seperti yang kamu lihat sekarang. Aku baik juga.”

Tak lama kemudian ada tiga anak masuk setelah mengucap salam, lantas mereka menyapa dan mencium punggung tangan Rina dan Husna secara bergantian. Mereka bertiga izin untuk masuk ke kamar mereka masing-masing.

“Wah. sudah besar, ya, anak-anakmu, Na.” Rina terkagum dengan putra-putri Husna yang sangat sopan dan santun.

“Alhamdulillah. Yang sulung itu baru kemarin menyelesaikan hafalan Al-qurannya 30 juz. Yang kedua, baru mau 15 juz. Sedangkan, yang bungsu masih 2 juz hafalannya,” jelas Husna dengan antusias. Bukan bermaksud pamer, dia hanya berusaha menyiarkan Al-quran melalui anak-anaknya. Harapannya, bisa menjadi contoh orang lain untuk semangat menghafal Al-quran.

“Oh, ya, bagaimana dengan kerjaan dan suamimu di kota. Beliau enggak ikut pulang ke sini?” imbuh Husna.

Hati Rina terasa tertusuk oleh pertanyaan Husna. Ingin rasanya dia menjerit dan menangis, mengingat kejadian satu bulan terakhir yang menimpanya.

“Aku baru saja bercerai dengan suamiku, Na,” balas Rina dengan nada merendah dan menundukkan wajah.

“Ya Allah. Maafkan aku, Rin. Aku enggak tahu.”

Rina hanya menganggut-anggut pelan masih dengan mimik yang ditekuk. Sebenarnya dia sangat malu menceritakan kisahnya. Namun, cepat atau lambat berita perceraiannya dengan suami pasti akan tersebar di kampung halamannya. Mengingat sekarang dia menetap di sana bersama ibunya tanpa suami.

Belum sempat mereka berdua mengobrol panjang lebar, mendadak ada seseorang masuk ke rumah Husna setelah mengucap salam dengan napas tersengal-sengal.

“Ada apa, Bi?” tanya Husna kepada lelaki bertubuh tinggi itu.
“Tadi Abi lihat mamanya Mbak Rina tertabrak di jalan. Ada yang bilang Mbak Rina ada di rumah, jadi Abi langsung ngebut pulang tadi untuk ngasih kabar ke Mbak Rina.” Napas suami Husna masih belum normal.

“Ya Allah. Kalau begitu saya pamit dulu, ya, Na,” sahut Rina dengan segera seraya memandang Husna dan suaminya bergantian.

“Iya. Hati-hati, ya.” Husna mengantar kepergian sahabat kecilnya sampai depan pintu rumahnya.
***
Malam sudah meminang. Namun, Rina masih saja terpaku di samping gundukan dengan bunga yang masih segar di atasnya ditemani oleh Husna. Air matanya sudah habis mengantar mamanya ke peristirahatan terakhir. Bagaimana tidak? Mamanya meninggal begitu mendadak karena tertabrak oleh motor saat hendak menyeberang jalan. Selama ini hanya mamanya satu-satunya orang yang menjadi tempat keluh kesahnya.

“Yang sabar, ya, Rin. Kita berdoa supaya amal Mama diterima dan diampuni segala dosanya. Yok, kita pulang. Sudah mau Magrib ini,” ajak Husna dengan memapah pelan-pelan Rina.

Tanpa membalas Husna, Rina pasrah hanya mengikuti langkah Husna. Tatapannya kosong. Di tengah perjalanan Rina teringat akan perkataan Husna kala itu.

“Kamu benar, Na. Allah akan menambah rezeki bagi kita yang ikhlas bersedekah. Seperti dirimu, walaupun sederhana, tetap saja ada suami, dan anak-anak saleh yang menentramkan jiwa. Itu adalah rezeki terbesar untukmu.”

Fakta bahwa setiap hari Jumat Husna dan suaminya selalu menyedekahkan sebagian barang dagangannya—gorengan kepada tetangga-tetangga sudah tak diragukan lagi. Semua tetangga sudah mengakui kebaikan Husna dan suaminya.

“Beda dengan aku. Hartaku di kota yang selama ini aku banggakan lenyap disita oleh bank. Suamiku selingkuh dan aku sudah bertahun-tahun menikah juga belum dikarunia anak. Kini mamaku juga pergi selamanya. Aku baru sadar, rezeki yang sesungguhnya adalah ketenangan jiwa,” imbuh Rina.

“Sudahlah. Kamu harus kuat. Mari kita mulai kembali dari nol. Aku siap menjadi tempat keluh kesahmu dan berbagi. Semangat, ya.”

Masih seperti dulu aura positif Husna sukses menghadirkan kembali senyum Rina. Mereka berdua pun berpelukan erat.
***
Riau, 26 April 2022.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan