Revolusi Puasa: dari Ritual Menuju Sosial

224 kali dibaca

Bulan Ramadan memiliki kesan tersendiri di hati umat muslim. Masjid dan surau menjadi ramai, gema Al-Qur’an terdengar di mana-mana, dan aktivitas lain yang sering dijumpai saat datangnya bulan Ramadan.

Sebab bulan ini merupakan bulan istimewa. Banyak dalil-dalil agama yang menerangkan keistimewaan bulan ini. Sebab itu, umat muslim enggan untuk menyia-nyiakan momentum ini sebagai ladang ibadah.

Advertisements

Sebagai salah satu pilar dalam Islam, puasa Ramadan wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang balig, berakal, dan mampu berpuasa. Kewajiban ini termaktub dalam surah Al-Baqarah 183 yakni

يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Puasa memiliki tujuan luhur, yaitu mencetak insan yang bertakwa. Sehingga puasa bukan sekadar melaksanakan ibadah, melainkan sarana melatih spiritual atau rohani guna mendapat predikat manusia yang paling mulia di sisi Allah.

Secara etimologi, puasa (صوم), menurut Abu Ubaidah, berarti (الامساك) menahan dari segala sesuatu baik makan, berbicara, dan berjalan. Adapun puasa dalam pengertian syariay sebagaimana yang didefiniskan oleh Ath-Thabari adalah menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh, yang dibarengi dengan niat dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Dan lebih sempurna jika menjauhi suatu hal yang diharamkan.

Meski begitu, muncul sebuah pertanyaan, mengapa masjid di bulan Ramadan selalu ramai jemaahnya dengan semarak agenda di dalamnya, namun perilaku tercela lainnya tak kalah marak? Apakah puasa Ramadan hanya sebuah festivalisasi dan formalitas belaka?

Masih sering dijumpai perampasan hak orang lain, membiarkan orang miskin dan anak yatim telantar, menghina orang lain, memfitnah, adu domba, dan sebagainya. Meskipun secara formal yang demikian tidak membatalkan puasa, namun secara substansial, perilaku tercela itu telah mencedarai nilai dan tujuan puasa. Bahkan hal ini sudah diprediksi oleh Nabi. Beliau bersabda:

كم من صائم ليس له من صيامه إلا الجوع والعطش

“Berapa banyak orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apapun dari puasa kecuali hanya lapar dan dahaga”.

Dari fenomena tersebut, sudah seharusnya perlu sebuah redifinisi tentang puasa yang lebih tranformatif. Puasa bukan hanya ritual keagamaan tahunan yang domainnya adalah hubungan hamba dengan Tuhan. Tetapi, dalam dimensi sosial, puasa mengajarkan manusia untuk lebih merasakan atau lebih peka terhadap kaum mustad’afin yang selama ini termarjinalkan oleh struktur kapitalisme yang menindas.

Mengutip ungkapan Syech Ali Ahmad Al-Jurjawi dalam karyanya Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, bahwa salah satu hikmah puasa adalah mengingatkan manusia pada kondisi yang dirasakan oleh orang miskin agar kemudian turut memberikan simpati dan kasih sayang kepada mereka. Ini merupakan pelajaran yang sangat dalam dari puasa.

Hal senada juga diungkapkan oleh Hassan Hanafi, cendikiawan muslim progresif dari Mesir, dalam al-Din wa Tsawrah. Menurutnya, puasa melatih kepekaan atas nasib sesama yang merasakan kelaparan dan dahaga.

Oleh karena itu, puasa mengajarkan arti solidaritas sebagai sesama manusia atau secara lebih sempit sebagai sesama muslim. Nilai solidaritas ini adalah social capital awal dari kokohnya suatu masyarakat. Sehingga tumbuh sebuah stabilitas dan kesinambungan antar masyarakat.

Islam adalah agama keadilan, kemaslahatan, dan condong pada gerakan pembebasan kaum mustad’afin dan madhlumin, yakni orang-orang fakir, miskin, orang-orang yang terpinggirkan dan tergusur oleh ulah sistem kebijakan yang tidak berkeadilan.

Sehingga puasa tidak kemudian dipahami kembali sebagai teologi transedental belaka. Puasa harus diimplementasikan sebagai spirit perubahan diri dan modal perubahan sosial yang pada akhirnya mempunyai muatan maqashid syariah.

Islam bukan hanya tentang ajaran langit yang jauh dari jangkauan pemeluknya. Islam sesungguhnya harus mempu mentransformasikan realitas ke dalam sebuah teks yang bersumber dari sosio kultural masyarakat.

Pesan puasa yang lebih mengarah pada gerakan progresif dan tranformatif ini juga mendapat legitimasi dari Nabi. Beliau bersabda;

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِمْ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

Barang siapa memberi makan orang berpuasa maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala sedikit pun dari orang yang berpuasa itu.

Akhirnya, mari bersama-sama memanfaatkan kesempatan di bulan Ramadan sebagai momentum perbaikan kualitas diri serta kualitas sosial kolektif. Ini merupakan ajaran luhur yang hendak diberikan kepada hambanya yang beriman.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan