Revitalisasi Bahasa Daerah dengan Karya

1,449 kali dibaca

“Itu bahasa Korea, masak nggak tau. Artinya jinca itu sungguh-sungguh atau serius,” ujar seseorang pada temannya. Tanpa sengaja saya menangkap percakapan kawula muda di sebuah restoran elite pinggir kota. Di mana obrolan seru mereka ala drakor-drakor gitu loh.

Mendengarnya saya tertawa. Lucu sekali keseruan mereka mengundang tolehan banyak orang.  Betapa vibes Korea tanpa sadar melekat, gaya tutur katanya pun diikuti. Di sisi lain saya mengaitkannya dengan fenomena bahasa daerah yang begitu memprihatinkan.

Advertisements

Sekarang coba tengok ke jagat maya. Hampir semua lini media massa membuka kelas belajar bahasa asing, misalnya Inggris, Korea, Jepang, atau Prancis. Sedangkan, akun belajar bahasa daerah persentasenya lebih kecil tiga kali lipat. Beberapa kali saya juga menangkap gerombolan anak muda di tempat umum berbincang dengan bahasa Korea. Ya, sedikit-sedikit mengerti. Ironisnya lagi, di kampung, saya mendapati anak SMA yang tak tahu artinya gangsal (lima). Cuma geleng-geleng kepala saya mendengarnya. Saya tak berniat melarang belajar bahasa asing loh ya. Lah wong saya sendiri kuliah di jurusan sastra Inggris.

Zaman now seolah menguasai bahasa asing adalah tiket sukses. Kawula muda berlomba meningkatkan soft skill bahasa asing. Tak hanya tergiur lewat karya-karya asing tersebut, tapi juga iming-iming poster beasiswa keluar negeri hanya dengan menguasai suatu bahasa. Memang menarik sih, kalau poster jalan-jalan ke pulau Jawa gratis dengan menguasai bahasa daerah belum pernah ya.

Inilah salah satu penyebab kritisnya bahasa daerah kita. Hampir 700 bahasa di Nusantara adalah wujud kekayaan budaya dan kearifan lokal. Sayangnya lebih dari 100 bahasa telah mengalami kepunahan. Derasnya arus globalisasi menurunkan minat anak muda pada bahasa lokal, maka saatnya kita peduli untuk revitalisasi bahasa melalui karya.

Karya merupakan metode yang efektif untuk menghidupkan kembali minat belajar bahasa. Ada apa dengan karya? Bukankah lingkungan lebih efektif untuk revitalisasi bahasa.

Jadi begini, sekarang ini teknologi berkembang canggih dan serba cepat. BBC News bersabda bahwa rata-rata per hari orang menghabiskan waktu hampir 60% di media sosial. Secara otomatis kehidupan kita sehari-hari disetir oleh konten-konten hangat di jagat maya. Dan tak dapat dimungkiri mau tak mau berkarya di media sosial adalah suatu keharusan dalam melestarikan budaya lokal. Misalnya lewat musik.

Musik merupakan alternatif belajar yang sangat menyenangkan. Didi Kempot lewat lagu-lagunya sukses bikin ambyar kawula muda. Stasiun Balapan, Suket Teki, Pamer Bojo, adalah contoh lagu galau yang sarat pesan. Dengan bahasa Jawa ngoko refleksi lagu patah hati itu memikat kaum muda untuk lebih mencintai bahasa daerah. Tak sedikit yang bersenandung lagu Om Didi tesebut hingga muncullah hastag-hastag lirik lagunya di kanal media sosial.

Tak jauh berbeda dengan film. Ia punya potensi besar dalam revitalisasi bahasa daerah. Misalnya film pendek Tilik. Film ini sukses menyedot perhatian publik, sempat trending di media sosial Twitter. Obrolan ibu-ibu dalam film tersebut tanpa sadar diikuti dan dibuat lelucon. Betapa bahasa daerah yang diaplikasikan lewat karya lebih menarik ketimbang sekadar dituturkan langsung. Semakin banyak karya berbahasa daerah yang berkualitas akan melejitkan lagi minat kawula muda untuk melestarikan budaya Nusantara.

Tak hanya berkarya lewat film atau musik. Beberapa aplikasi seperti Tik-tok, instagram, atau Twitter jadi ladang basah untuk berkarya. Seperti Jawacana (media berbahasa daerah), selain menyebarkan majalah gratis mereka juga merilis akun Tik-tok berisi kisah-kisah pewayangan berbahasa ngoko gaul.

Di samping itu program-program penting perlu diluncurkan oleh Badan Bahasa. Seperti memberikan apresiasi atau penghargaan pada komunitas atau individu yang hingga kini tak henti merawat bahasa daerah melalui karya. Lalu, dukungan tersebut meluas dengan pembentukan komunitas bahasa daerah di tingkat RT atau RW.

Merawat bahasa daerah memang bukan perkara mudah. Tak harus menunggu jadi seniman untuk menghidupkan kembali budaya Nusantara. Mari, memulainya dengan menggunakan bahasa daerah dalam obrolan sehari-hari. Kita bisa membuat caption di status Whatsapp atau Instagram atau bagi-bagi kosakata gratis di media sosial. Tak masalah jika ingin menguasai bahasa asing. Tapi, jangan lupakan bahasa daerah sebagai akar bangsa kita.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan