Reorientasi Islam (3/Habis)

824 kali dibaca

Mereka memandang tradisi tidak sebagai sumber inspirasi dan arahan, tetapi justru sebagai peta harfiah untuk diikuti setiap perinciannya. Cetak biru sempuma untuk masyarakat Muslim ini, yang tertuang dalam kitab-kitab fikih, tidak dilihat sebagai sebuah respons terhadap suatu periode sosio-historis tertentu sebuah produk bersyarat yang disiapkan oleh para fukaha dalam sinaran dan nilai-nilai Islam.

Maka, kaum konservatif gagal membedakan antara kaidah-kaidah yang abadi, yang diwahyukan, dengan hukum-hukum dan lembaga-lembaga yang dikondisikan oleh sejarah yang merupakan produk dari penalaran. manusiawi para fukaha awal dan dari asimilasi pengaruh dan praktik-praktik asing.

Advertisements

Apalagi, dipegangnya tradisi dapat ditemukan dalam bentuk yang lebih tersembunyi di kalangan mereka yang pada prinsipnya mendukung ijtihad dan perubahan, tetapi ketika tertekan oleh perubahan-perubahan tertentu, sering menunjukkan mentalitas taklid, suatu kecenderungan untuk secara tak sengaja mengikuti praktik, lalu entah itu keluar dari keyakinan intelektual ataupun sekadar pragmatisme yang tunduk kepada budaya tradisionalis yang dominan.

Namun, kita harus menghindari pembedaan yang terlalu disederhanakan antara tradisionalis yang keras kepala dengan modernis yang serba-reformasi. Kecenderungan orang-orang yang lebih terikat pada tradisi untuk memandang pemahaman mereka tentang Islam sebagai pemahaman yang definitif tidak membuka perubahan yang sebenarnya.

Proses penjagaan dan penyajian suatu tradisi memerlukan penafsiran atas tradisi, dan penilaian menyangkut penerapannya pada masalah dan situasi tertentu. Pengkajian, penyebaran, dan penafsiran Islam oleh masing-masing ahli dan guru agama, maupun penerapannya, terjadi dalam konteks-konteks historis dan sosial yang berubah. Perbedaan sebenarnya yang ditemukan pada mazhab-mazhab dan kitab-kitab fikih mencerminkan pengaruh nalar, konteks budaya yang berbeda, dan perubahan-perubahan alam sejarah umat Islam.

Maka sekarang, kepercayaan, praktik-praktik, dan lembaga-lembaga tradisional ditangkap dengan makna yang baru, pun oleh mereka yang menganggap diri mereka sebagai mukmin yang paling ortodoks.

Tafsir Ayatullah Khomeini tentang pemerintahan Islam sebagai pemerintahan dikritik oleh kaum tradisionalis maupun modernis, oleh kalangan umum maupun ulama, yang tidak sependapat dengan kesimpulan-kesimpulannya. Penggambaran Iran tentang dirinya sebagai “Republik,” menonjol pada konstitusinya, dan banyak dari lembaganya (misalnya parlemen dan kementrian), jelas merupakan adaptasi dari lembaga-lembaga modern (Barat).

Penerapan hukum Islam oleh Zia ulHaq, meski kadang ditolak oleh para kritikusnya sebagai fundamentalis, seringkali sangat inovatif. Peradilan Syariah Federal di Pakistan bukan peradilan hukum Islam tradisional, tetapi suatu sistem peradilan banding yang tidak dikenal pada zaman dahulu.

Tatkala sebagian organisasi aktivis Islam berharap dapat memulihkan kekhalifahan, mayoritas gerakan Islam memilih interpretasi yang lebih modern atas konsep dan lembaga tradisional. Penerapan sejarah dan nilai-nilai Islam pada kondisi-kondisi modern telah menghasilkan interpretasi-interpretasi yang segar.

Atas nama Islam, konstitusionalisme, demokrasi, dan bentuk-bentuk pemerintahan parlementer diadopsi dan dibuat Islami. Parlemen atau majelis nasional Republik Islam Iran dan Pakistan maupun negara-negara yang kurang berorientasi agama disebut sebagai majlis syura (majlis permusyawaratan), suatu penafsiran modern tentang dewan yang memiliki tugas terhormat untuk memilih khalifah.

Kaidah hukum ijma (konsensus umat), yang sebenarnya adalah kesepakatan sesaat para ulama tentang masalah-masalah hukum, seringkali dialihkan menjadi atau disamakan dengan kegiatan parlemen modern. Sekelompok Muslim, dengan menggali dari tradisi yang kaya dan berlimpah, merakit kembali sebuah ideologi Islam untuk menjiwai urusan politik, ekonomi, hukum, pendidikan, dan sosial. Ajaran-ajaran Islam masa lalu ditafsirkan ulang dan diterapkan pada perbankan modern untuk menghasilkan bank Islam, yang sekarang ada di banyak negara Muslim.

Reformasi kurikulum, kadang disebut sebagai islamisasi pendidikan, mempertahankan disiplin modern tetapi mencoba menggantikan nilai-nilai Barat yang dianggap tidak lslami dengan nilai-nilai Islam. Aktivitas-aktivitas tersebut menghasilkan bermacam-macam interpretasi dan kesimpulan. Namun demikian, entah mereka itu tradisionalis ataupun modernis, moderat ataupun radikal. Sekian kadar perubahan terjadi bersamaan dengan proses tersebut. Sebagai akibatnya, orang-orang yang paling konservatif, neotradisionalis dan reformis, terlibat dalam proses perkembangan dan perubahan dengan kadar yang beragam.

Revivalisme Islam kontemporer adalah fenomena yang rumit dan jamak sisi yang menunjukkan kekuatan, keragaman, dan kekuatan bertahannya selama hampir dua dekade. Ada kekecewaan di kalangan banyak Muslim dengan penyalahgunaan atau manipulasi agama oleh sebagian pemerintah dan organisasi-organisasi radikal. Pada saat yang sama, revivalisme terus tumbuh sebagai gerakan sosio-religi (dakwah) berbasis luas, yang berperan nyata di setiap negeri Muslim dan secara intemasional.

Secara tradisional, dakwah berarti ajakan kepada Islam, kampanye iman kepada non-pemeluk. Sekarang, jemaah-jemaah dakwah merupakan gerakan sosio-religi yang berkembang luas dan beragam yang terdiri atas banyak organisasi yang memiliki sasaran tidak hanya non-Muslim, tetapi juga kalangan Muslim sendiri untuk kembali kepada Islam, untuk secara sadar diri lebih menyesuaikan identitas keislaman mereka dan lebih taat dalam menunaikan agama mereka.

Dengan memfokuskan pada pribadi dan komunitas di tingkat akar-rumput, gerakan-gerakan ini menekankan pada transformasi masyarakat lewat pendidikan agama, serta reformasi moral dan sosial. Jadi, di samping menyebarkan agama, organisasi-organisasi dakwah terlibat dalam pendidikan (sekolahan, penitipan anak, sanggar-sanggar remaja), penerbitan dan penyiaran agama, program-program ekonomi (bank-bank Islam, rumah-rumah investasi, perusahaan-perusahaan asuransi), dan layanan-layanan sosial (rumah sakit, klinik, lembaga bantuan hukum).

Meskipun program-program mereka ditujukan kepada kaum muda maupun tua, gerakan pemuda merupakan daya dorong organisasi-organisasi dakwah. Organisasi-organisasi mahasiswa terdapat di negeri-negeri Muslim. Dengan aktif di sekolah-sekolah dan universitas-universitas, mereka didedikasikan untuk menghasilkan generasi pemimpin baru di pemerintahan, birokrasi, profesi-berorientasi modern tetapi Islam, tidak sekular.

Dalam hal ini, mereka berkarya untuk perubahan sosial dari dalam sistem negara. Pada saat yang sama, aktivisme politik dan sosial Islam telah menjadi kekuatan yang terlembagakan dalam arus utama masyarakat. Para kandidat Islam memegang jabatan-jabatan di tingkat kabinet dan terpilih sebagai anggota parlemen,walikota, dan pejabat pemerintahan di negeri-negeri semisal Tunisia, Aljazair, Mesir, Sudan, Libanon, Turki, Pakistan, Yaman, Kuwait, Malaysia, dan bahkan Israel. Turki yang sekular sudah pernah memiliki perdana menteri Islamis untuk pertama kalinya (1996-1997), mantan perdana menteri Malaysia adalah pendiri gerakan Islam terkemuka di Malaysia, dan memiliki presiden yang seringkali disebut sebagai seorang Islamis.

Islam juga terbukti menjadi kekuatan sosial yang potensial dalam masyarakat sipil. Lembaga-lembaga yang diilhami Islam berkembang biak. Para Islamis memenangkan pemilihan ketua asosiasi profesi mulai dari organisasi mahasiswa, sampai dengan organisasi dokter, pengacara, dan insinyur.

Saat ini suatu elite baru telah lahir, di samping masih adanya kelompok-kelompok keagamaan yang lebih konservatif dan modern sekular, di tengah-tengah masyarakat Muslim. Mereka ini berpendidikan modern namun berorientasi Islam, memiliki komitmen untuk melakukan perubahan negara dan masyarakat lewat cara-cara non-kekerasan dan dari akar rumput.

Pertumbuhan, perkembangbiakan, dan meningkatnya kecanggihan gerakan dakwah akan terus membantu perkembangan revivalisme agama yang fokus utamanya untuk menghasilkan Muslim yang lebih baik dan masyarakat yang lebih baik. Namun demikian, organisasi-organisasi Islam, seperti ditunjukkan oleh sejarah, dapat berubah dengan mudah dari gerakan sosial menjadi gerakan politik, untuk perbaikan sosial dan moral menjadi aktivis politik militan dan revolusioner, ketika keadaannya menuntut demikian. Wallahu A’lam…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan