Reorientasi Islam (1)

949 kali dibaca

Sejarah Islam modern pada abad kedua puluh mencerminkan realitas-realitas politik Muslim, sebuah rekaman tentang masyarakat-masyarakat Muslim yang berjuang untuk menegaskan independensi mereka dan mendefinisikan diri mereka di dunia modern. Meski agama masih menjadi kekuatan penting dalam kehidupan agama dan budaya banyak Muslim, peran publik dan politiknya semakin terbatasi. Hampir semua negara modern menempuh jalan yang lebih sekular, yang, meski sensitif dengan perasaan-perasaan keagamaan, cenderung membatasi peran-publik agama.

Di samping perubahan-perubahan institusional dan intelektual serta reformasi-reformasi dalam kehidupan publik, akidah dan praktik Islam kebanyakan Muslim masih relatif belum tersentuh oleh perubahan modern. Signifikansi dan berurat-berakarnya penganutan tradisi pada masyarakat Muslim dan tidak adanya kepemimpinan yang efektif, barangkali dapat dilihat dalam jedanya upaya-upaya sistematis untuk melakukan reinterpretasi dan reformasi.

Advertisements

Banyak negeri Muslim menyadari bahwa lebih mudah bagi mereka untuk melanjutkan dua jalur paralel agama dan sekularitas, seperti dalam hukum dan pendidikan. Para pemimpin sekular merasa puas untuk memandatkan atau mengabsahkan perubahan dari atas dan, bila perlu, sesekali menggunakan Islam.

Rekonstruksi sistematis yang diupayakan oleh para modernis awal semisal Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal tidak pernah terjadi. Mayoritas pemimpin agama memilih untuk menunda saat sampai suatu saat pemulihan Islam mungkin terjadi. Banyak yang bekerja sama dengan pemerintah yang semakin bertambah dalam mengambil alih pengelolaan pendidikan agama, hukum, dan wakaf. Sebagian lainnya puas dengan mendakwahkan Islam moralis tanpa kegiatan sosial.

Pada dekade 1930-an dan 1940-an, jemaah-jemaah Islam dari Ikwanul Muslimin dan Jamaati-Islami, berusaha mengisi kekosongan itu dengan organisasi-organisasi yang menegaskan kembali relevansi Islam bagi seluruh aspek kehidupan, mendiagnosa penyakit masyarakat Muslim, dan menawarkan kegiatan keislaman yang bertujuan untuk menuntaskan masalah-masalah identitas keagamaan dan keadilan sosial.

Sejak akhir dekade 1960-an, revivalisme Islam secara progresif mulai mendominasi wacana keagamaan dan politik di banyak bagian dunia Muslim. Baik kemapanan agama maupun politik menyadari perlunya untuk merespons lewat pilihan-bersama, kerja sama, represi, atau penolakan. Sebagian revivalis bekerja sama dengan pemerintah, sebagian lainnya menjadi lebih terang-terangan dalam ajaran dan tindakan mereka.

Sebagaimana tindakan kekerasan oleh minoritas yang radikal tidak akan mengaburkan kegiatan-kegiatan mayoritas yang moderat, demikian halnya dengan luasnya dimensi personal revivalisme Islam tidak akan menutupi dimensi-dimensi politiknya.

Bagi banyak Muslim, kembali kepada Islam, berarti kesadaran dan ketaatan yang lebih besar kepada iman mereka: mengkaji Al-Qur’an, salat, puasa, cara berpakaian, Sufisme, menaati Syariat. Bagi sebagian dari mereka ini, pengungkapan Islam yang lebih tegas dalam kehidupan pribadi dan umat secara tidak langsung berarti pengakuan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan yang tegas antara yang sakral dengan yang profan, yang ruhani dengan yang jasmani.

Mereka percaya bahwa pemulihan Islam kepada tempat haknya dalam kehidupan Muslim memerlukan dijembataninya jurang antara agama dan negara lewat penerapan hukum Islam, dan bahwa reorientasi Islam (Islamisasi) negara dan lembaga-lembaganya memerlukan organisasi dan tindakan politik untuk membujuk, menekan, dan memaksa penguasa politik dan agama untuk patuh. Dengan cara yang berbeda-beda, kaum Muslim terus bergulat dengan tugas untuk mendefinisikan kembali kerangka makna yang lebih jelas yang dengannya mereka dapat memahami, menafsirkan, dan merespons pengalaman modern.

Sebenarnya, suatu revolusi Islam terjadi di banyak belahan dunia Muslim. Namun, revolusi yang paling penting dan besar justru bukan revolusi dengan pemboman dan penculikan, melainkan dengan klinik dan rumah sakit. Revolusi ini didominasi oleh para aktivis sosial dan para dai, bukan oleh para prajurit. Perangnya seringkali menggunakan pena, dan bukan dengan pedang. Radikalisme dan terorisme, meski menjadi berita utama di media, sangatlah kecil meski beberapa kali menjadi bagian mematikan dari fenomena yang lebih ditandai dengan revolusi religi-sosial, berbasis luas yang mempengaruhi hampir semua masyarakat Muslim.

Seperti para sepupu Ibrahimi mereka, Yahudi dan Kristiani, banyak Muslim saat ini yang sangat prihatin dengan arus sekular dan pandangan masyarakat mereka serta dampaknya terhadap iman dan nilai-nilai. Demikian pula, penerapan tradisi berusia berabab-abad pada kehidupan modern memberi tantangan baru dan menghasilkan bermacam-macam respons atau mazhab-mazhab pemikiran.

Restorasi Syariat, hubungan yang sangat penting antara iman dan tindakan menjadi agenda bersama seluruh Muslim yang ingin menandingi bahaya sekularisasi, menjaga rasa keimanan dan identitas yang kuat, modernisasi tanpa Westernisasi, dan membantu perkembangan ekonomi yang menghindari ekses-ekses materialisme dengan selalu memperhatikan syarat-syarat keadilan sosial. Interpretasi-interpretasi Islam yang berbeda dan bersaing tidak cuma menghasilkan keragaman yang kaya, tetapi juga konflik-konflik yang memecah belah komunitas Muslim.

Seperti ditunjukkan oleh sejarah Islam, iman kepada satu Tuhan, satu wahyu, dan satu Nabi terakhir telah menjadi fondasi bagi agama monoteis yang kuat, bersemangat. Namun demikian, monoteis tidak berarti monolitik. Kesatuan Islam, sejak awal pembentukannya sampai dengan perkembangan-perkembangan kontemporer, menggabungkan keragaman interpretasi dan ekspresi iman. Demikian pula saat ini, di tahap yang paling akhir dalam menempuh jalan lurus Islam, seperti penduduk dunia ini membuktikan dinamisme Islam dan keteguhan Muslim untuk mengikuti ” jalan yang lurus, jalan Allah, Zat yang memiliki semua yang ada di langit dan di bumi.” (QS 42: 53).

Ketegangan antara Islam tradisionalis dan Islam reformis, serta sikap mereka yang berbeda tentang perubahan, benar-benar tergambar dalam proses Islamisasi. Meski kaum tradisionalis dan reformis sama-sama berbicara tentang Islamisasi, hierarki dan pemanfaatannya benar-benar berbeda. Bagi kaum tradisionalis, Islamisasi intinya, adalah penerapan kembali lembaga-lembaga dan praktik-praktik zaman dahulu dengan perubahan substantif yang minimal, misalnya, melembagakan kembali hukum dan sanksi Islam tradisional, pengenaan cadar kaum perempuan, pemisahan fasilitas untuk pria dari wanita, dan status dzimmi bagi non-Muslim. Mereka lebih harfiah dalam pendekatannya dan lebih terfokus kepada “sisi luar” hukum.

Tidak berarti bahwa mereka menentang sains dan teknologi. Justru orang dapat mengatakan bahwa bagian yang signifikan dari mereka yang bergabung dalam gerakah-gerakan keagamaan, yang moderat maupun radikal, adalah lulusan fakultas-fakultas sains, teknik, dan kedokteran. Para reformis memandang proses Islamisasi dalam bentuk yang jauh lebih dinamis dan kreatif, didasarkan pada pemahaman yang lebih historis tentang dinamika perkembangan Islam.

Mereka menganggap diri mereka sedang melaksanakan proses interpretasi, dan asimilasi yang menjadi karakter pembentukan dan perkembangan hukum dan tradisi Islam.

Islamisasi adalah proses dua sisi, mengambil hukum dan praktik dari sumber-sumber Islam serta mengadopsi dan menyesuaikan ide-ide dan lembaga-lembaga dari sumber-sumber asing selama tidak bertentangan dengan Islam. Sebagaimana halnya hukum Islam dan pemerintah Muslim tidak cuma didasarkan pada pedoman Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi juga meminjam dan memasukkan secara bebas dari praktik-praktik yang sudah ada di Arabia, Bizantium, dan Persia, maka kaum reformis merasa bebas menafsirkan, mengadopsi, dan memodifikasi selama nilai mereka sesuai dan berada dalam batas-batas yang ditetapkan oleh wahyu Tuhan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan