Reinterpretasi Kurban dalam Perspektif Sosiokultural

1,015 kali dibaca

Momentum Idul Adha mengajak kita mengeja makna berkurban. Baik itu makna memenuhi panggilan syariat maupun memenuhi tanggung jawab besar di tengah masyarakat. Kurban harus menjadi momentum unjuk gigi dalam pengelolaan ekonomi Islam. Bukan hanya membedakan antara si miskin dengan si kaya, melainkan mengikat keduanya dalam jaringan ekonomi Islam berkemajuan.

Beberapa hari sebelumnya, pun kita miris melihat rincian kasus kekerasan, radikalisme, dan pelanggaran HAM. Kemudian menyusul kasus suap dan korupsi yang membuat rugi negeri. Hal tersebut didukung oleh pengawasan keadilan yang masih dirasa kurang. Mereka yang bertindak sebagai pelaku kejahatan, nampaknya belum mempunyai rasa “berkurban”. Sebuah rasa yang mengantarkan empati, dari hati menuju kemakmuran negara.

Advertisements

Banyak di antara kita yang masih menyimpan sifat egoistis dengan memenangkan kepentingan pribadi. Berpesta pora di atas penderitaan saudara. Sudah tidak ada lagi batasan antara peraturan dan hukuman, yang ada hanyalah kekayaan dan keuntungan. Sebisa mungkin mengambil celah untuk memupuk kekayaan melalui lubang sekecil apapun.

Dengan melihat rentetan kasus yang mengerikan, rupanya esensi kurban masih berhenti pada tahap ritual semata. Ibadah kurban hanya dijadikan sebagai ajang bagi-bagi tanpa pemaknaan sejati. Atau dengan kata lain, kurban yang dilaksanakan masih jauh dari parameter kesejahteraan yang digalang dari empati setiap insan. Kita melaksanakan kurban tanpa mengetahui makna terselubung yang ada di dalamnya.

Pemaknaan seperti itu akan menggeser tujuan dari kurban itu sendiri. Kurban yang dahulu ditujukan sebagai semangat persaudaraan dan keikhlasan, berubah sebagai titah sebagai perayaan semata. Padahal dalam pemaknaan dalil kurban, ibadah tersebut digambarkan sebagai panggung unjuk persaudaraan yang dibangun umat Islam. Bagaimana umat yang memiliki latar belakang kaya raya mau membagikan harta yang paling berharga untuk saudaranya yang papa.

Menilik sejarah, pun kita melihat Ibrahim yang secara suka rela membagikan banyak hartanya kepada fakir miskin. Tidak peduli seberapa besar harta yang dikeluarkan, asalkan mempunyai esensi persaudaraan, dengan senang hati Ibrahim mengeluarkan hartanya. Bahkan, dalam suatu kisah, Nabi Ibrahim pernah mengurbankan 1000 kambing, 300 lembu, dan 100 unta. Sangat jelas jika kurban menjadi ibadah sosial yang mengangkat derajat manusia melalui semangat berbagi. Mereka membeli hewan ternak yang dianggap mewah pada zaman itu. Kemudian membagikannya, yang menjadi bukti emansipasi kaum duafa.

Akan tetapi, standar kekayaan di zaman sekarang sudah berubah dari masa Nabi Ibrahim dulu. Masa Nabi Ibrahim yang bercorak pastoralis, akan menyebut binatang ternak sebagai barang mutu tinggi. Dan pembagiaan barang tersebut bisa dianggap sikap kedermawanan yang luar biasa. Maka perintah kurban yang dilayangkan pada Nabi Ibrahim berupa hewan ternak.

Di masa Nabi Muhammad, tradisi kurban masih dipegang erat. Tradisi tersebut masih mengakar dalam pembagian daging pada seluruh umat. Harapannya solidaritas bisa tercipta, tali kemanusiaan bisa terjalin sempurna, dan akhirnya mewujud pada laku hidup yang sejahtera. Nabi Muhammad membangun semangat persaudaraan yang kental dengan melakukan ritual berkurban.

Akan tetapi, dalam pengejawantahan konteks bangsa Indonesia, daging sudah menjadi kebutuhan dan tidak menjadi asing lagi hampir di semua kalangan. Bahkan ada di antara mereka yang tidak bisa mengkonsumsi daging karena suatu alasan. Dan dalam konteks daging sendiri, hanya dianggap sebagai kebutuhan sekunder. Sehingga kehadirannya tidak begitu dianggap penting oleh masyarakat.

Oleh karenanya, reinterpretasi makna kurban harus disesuaikan. Hal ini dikarenakan adanya kondisi yang berbeda antara zaman Nabi Ibrahim dengan masa Nabi Muhammad. Sudah terjadi pergeseran nilai pandang atas kemewahan harta. Dengan kata lain, kurban harus ditransformasikan makna internal dan orisinilnya ke dalam makna yang lebih relevan dengan masyarakat. Daging yang dibagikan bisa diganti dengan barang lain yang lebih bermanfaat bagi umat.

Dalam bangsa Indonesia sendiri, kurban bisa dijadikan pendorong pembangun ekonomi kerakyatan yang mempunyai nilai lebih pada kehidupan rakyat. Misalnya, dengan membentuk koperasi dengan bunga rendah atau tanpa bunga dari dana kurban. Kemudian memberikan bantuan fasilitas bagi mereka yang terdampak bencana. Ataupun membuka sebuah usaha baru, yang ikut membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat.

Rakyat pun sudah fasih dengan kata pengangguran yang ada dalam lingkup sosial. Banyak di antara mereka yang sampai saat ini belum mendapatkan pekerjaan, ataupun mengalami dampak pemecataan akibat Covis-19 yang mengancam dunia. Distribusi dan sirkulasi ekonomi sedang sulit. Banyak usaha sedang terpuruk dalam jurang kerugiaan.

Di lain sisi, juga banyak saudara kita yang sedang dalam kondisi kesusahan. Hidup serba kekurangan ditambah lagi adanya bencana alam yang mengancam. Kondisi demikian, memaksa rakyat sekali lagi untuk bekerja keras meski kondisi serba sulit. Mereka terus dipaksa dalam gelora keterpurukan, yang mengharuskan tercukupinya pangan.

Maka di sinilah fungsi Islam sebagai penyelamat kehidupan. Islam melalui kurban bisa menjadi karya alternatif sebagai dana segar untuk mencukupi kebutuhan mereka. Melalui dana kurban, mereka yang kehilangan pekerjaan, bisa mendapat modal untuk melakukan usaha. Kemudian mereka yang terdampak keterdesakan ekonomi, bisa mendapatkan manfaat pangan dari kurban.

Kurban semacam ini bisa bermanfaat panjang daripada hanya sekadar pembagian daging, yang kurang lebih bertahan selama 1 atau 2 hari saja. Dengan cara seperti itulah akan teripta keikhlasan yang menciptakan keharmonisan bagi masyarakat. Si kaya bisa memiliki empati lebih kepada si miskin karena terlatih memberi. Begitu juga si miskin, akan memiliki rasa percaya jika mereka terlindungi oleh saudaranya. Rasa saling percaya inilah yang menciptakan rasa persaudaraan semakin kuat.

Pembukaan penerjemahan inilah yang membuka cakrawala berpikir setiap umat. Kurban tidak hanya dimaknai sebagai seremonial pembagian daging semata, namun lebih dari itu, kurban harus dimaknai sebagai ambisi untuk berbagi dan berkontribusi bagi masyarakat. Ketika semua makna telah tercapai, maka tinggalah sebuah dampak besar yang merubah seluruh tatanan dalam masyarakat. Kurban bisa menjadi solusi dalam pembangunan ekonomi yang kini menjadi kendala bangsa Indonesia.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan