Refleksi Pemikiran Gus Dur terhadap Terorisme pada Masanya

1,247 kali dibaca

Masalah terorisme di Indonesia seakan tidak ada habisnya. Belum lama ini, tepatnya tanggal 16 November 2021 seorang Pengurus Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ahmad Zain An-Najah ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri . Ahmad Zain An-Najah diketahui sebagai anggota Komisi Fatwa MUI Pusat. Pada hari yang sama, Densus 88 Antiteror juga menangkap dua orang lain. Keduanya, yaitu Ahmad Farid Okbah, seorang Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia dan Anung Al-Hamat. Menurut konfirmasi dari Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Ahmad Ramadhan, ketiganya ditangkap karena terduga masuk dalam jaringan teroris

Berita tersebut memunculkan beragam reaksi. Ada yang menyerahkan sepenuhnya ke lembaga berwenang untuk proses penyelesaiannya. Ada pula yang cukup ekstrem mengehendaki pembubaran MUI. Bagi pengguna twitter tentunya tidak asing dengan tensi tinggi ini hingga menjadi trending.

Advertisements

Untuk MUI sendiri telah mengambil sikap dengan menonaktifkan Ahmad Zain An-Najah sampai ada keputusan hukum dan MUI bertutur bahwa kasus tersebuat merupakan urusan individual dan tidak ada sangkut pautnya dengan MUI. Jika pada nantinya terbukti benar, cukup mencenangkan karena jaringan teroris sudah merasuki lembaga strategis nasional. Jika kita beropini secara bebas, bukan tidak mungkin jaringan teroris akan atau telah masuk ke lembaga lainnya.

Sejarah telah mencatat bahwa tidak sedikit kasus terorisme yang telah terjadi di Indonesia. Ada bom Bali di tahun 2002 yang sampai menewaskan 200 korban jiwa, sampai terakhir bom bunuh diri yang terjadi di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan pada 28 Maret 2021. Semua lapisan masyarakat berkemungkinan menjadi korban dari teroris. Oleh karena itu hemat penulis setiap individu memiliki kewajiban bersama dalam upaya menekan jaringan teroris ini. Menurut hemat penulis, upaya tersebut harus diawali terlebih dahulu mengenai pemahaman dasar mengenai terorisme. Pemahaman tersebuat bisa kita akses atau temukan dalam landasan yuridis maupun teori-teori yang telah diformulasikan oleh para intelektual.

Salah satu tokoh intelektual yang turut menyumbangkan pemikirannya mengenai terorisme adalah Abdurrahman Wahid atau sering disapa Gus Dur. Proses perjalanan pendidikannya yang dimulai dari pesantren, kemudian belajar di Timur Tengah, dan beberapa tahun di Eropa, ini menghasilkan insight yang unik dalam memberikan pandangan seputar terorisme. Pemikiran Gus Dur mengenai terorisme ini lebih berorientasi kepada rasionalitas dan reinterpretasi terhadap dalil dalam syariat Islam.

Dalam sebuah tulisannya, Gus Dur mengungkapkan bahwa bagaimana cara mengatasi terorisme adalah bukan suatu hal yang mudah. Perlu adanya bermacam jawaban untuk mendapat formulasi yang memungkinkan untuk jangka panjang. Dengan kecintaannya pada buah pikir Mahatma Gandhi yang notebene menolak kekerasan, Gus Dur mengutamakan perlawanan damai dan menolak cara-cara represif dalam masalah ini. Salah satu teori yang pernah disampaikan Gus Dur adalah pendekatan historis. Pendekatan historis ini dapat berupa pendekatan kultural dan pendekatan institusional.

Pertama, pendekatan kultural (budaya) yang lebih bersifat jangka panjang. Untuk mempermudah memehamai teori ini, taruhlah organisasi masyarakat yang ada seperti Muhammadiyah dan NU yang keduanya dibentuk pada abad ke-20 Masehi. Akar-akar keduanya kembali pada masa lampau yang panjang, yaitu proses masuknya Islam ke Indonesia hingga sekarang. Walaupun keduanya memiliki perbedaan yang kontras, karena proses kelahiran dan respons terhadap masalah yang berbeda pula satu sama lain. Muhammadiyah yang didirikan pada 1912 dibentuk sebagai respons masyarakat muslim Indonesia yang menganggap perlu adanya pemurnian agama untuk dapat menjawab tantangan dari dalam maupun luar. Sementara, NU yang lahir pada 1926 berawal dari kegalauan ulama tradisional terhadap modernisasi terhadap berbagai hal yang menjadi buah pikir ulama tradisional selama ini.

Kesemuanya menunjukkan reaksi muslimin atas tantangan yang ada. Meskipun berbeda, tetapi keduanya sama-sama menunjukkan adanya reaksi kultural terhadap perkembangan yang ada. Reaksi kultural tersebut selalu bersikap untuk berubah demi perubahan sosial yang tidak memakai kekerasan. Pada intinya, gejala sosial yang ada diselesaikan dengan paradigma Islam, namun tetap mengedepankan perdamainan dan keamanan.

Kedua, pendekatan institusional atau kelembagaan yang sebenarnya dilakukan kelompok yang oleh Gus Dur disebut sebagai kelompok atau orang-orang yang kurang mengerti ajaran Islam. Mereka melihat adanya ancaman di mana-mana. Mereka melihat hal tersebut membahayakan terhadap lembaga yang bernama agama Islam. Akhirnya mereka membela Islam dengan caranya sendiri, termasuk dengan kekerasan. Dari paradigma inilah muncul teroris-teroris.

Dengan teori tersebut, tampak bahwa Gus Dur ingin mengajak untuk melihat kenyataan dengan lebih rasional, daripada dengan jalan emosional. Perlu adanya pemberian keterangan rasional yang dapat dijadikan pegangan dalam mengatasi permasalahan yang terjadi. Pendekatan dialogis dengan paham-paham lain harus dijalankan untuk memperoleh satu pegangan yang jelas dalam menyelesaikan permasalahan yang kompleks.

Dalam tulisannya, Gus Dur seakan bercerita bahwa terorisme memang cukup merajalela di Indonesia. Pada tahun 2002, peledakan tiga buah bom berkekuatan sangat tinggi di Bali. Kejadian ini memakan banyak korban dengan jumlah korban jiwa sekitar 200 yang 80 di antaranya merupakan kewarganegaraan Australia. Gus Dur dalam tulisannya menuturkan, pada saat itu belum ada tindakan yang jelas dari pemerintah untuk memberantas dan mengikis habis terorisme. Yang terjadi adalah sebaliknya, para teroris semakin merajalela dan mendorong masyarakat untuk menganggap hal tersebut merupakan perbuatan luar negeri yang tidak dapat diatasi. Ditambah lagi pertentangan-pertentangan yang terjadi di lingkaran elite politik. Ada usul supaya kegiatan-kegiatan intelejen dikoordinasi oleh sebuah badan baru. Saat itu, hal ini dipandang Gus Dur sebagai ketidak siapan pemerintah dalam menghadapi kejadian yang ada.

Lewat cerita tersebut, Gus Dur seakan ingin memberi tahu kepada masyarakat yang tidak tahu akan keadaan yang sebenarnya. Dan Gus Dur juga tentunya berpikir bahwa dengan ia menulis hal tersebut, akan dibaca untuk kemudian diketahui generasi ke generasi mengenai gejala terorisme dan penanganannya di masa tersebuat. Selain itu, Gus Dur juga seakan memberikan kritik kepada pemerintah untuk segera mengambil tindakan tegas guna menyelesaikan tindakan teroris berikut dengan tindakan-tindakan preventifnya. Mengingat kejadian tersebuat memakan banyak korban jiwa dan berdampak besar terhadap pariwisata dan perekonomian.

Sisi lain mengenai terorisme yang pernah diungkapkan Gus Dur, yaitu bahwa tindakan teroris itu diakibatkan oleh kedangkalan pemahaman mengenai agama. Pernah suatu ketika Gus Dur bertemu dengan Yusril Ihza Mahendra. Dalam pertemuan tersebut Yusril mengungkapkan kekecewaannya kepada Gus Dur karena bergaul sangat erat dengan Yahudi dan Nasrani. Yusril berargumen bahwa dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa salah satu tanda muslim yang baik adalah “bersikap keras terhadap orang kafir dan bersikap lembut terhadap sesama muslim.” Menanggapi hal itu, Gus Dur memberikan jawaban telak dengan memerintahkan Yusril untuk menelaah kembali ajaran Islam dengan mondok di pesantren. Gus Dur juga menjelaskan bahwa yang dimaksud kafir si situ adalah orang musyrik yang ada di Mekkah.

Cerita tersebut tidak bermaksud menilai bahwa Yusril masuk dalam jaringan teroris, tetapi mengambil nilai substansialnya, yaitu masih ada pendangkalan pemahaman seperti itu. Menurut Gus Dur, tindakan teroris dan kerusuhan-kerusuhan yang ada akibat para pelaku tidak mengerti, bahwa Islam tidak membenarkan tindak kekerasan dan diskriminatif. Satu-satunya tindakan yang membenarkan kekrasan secara individual adalah, jika kaum muslimin diusir dari rumahnya sendiri (idza ukhrujuu min diyaarihim).

Tindakan teroris sampai sekarang masih masih eksis dijalankan oleh sebagian kaum muslimin. Ini diakibatkan rendahnya mutu sumber daya manusia para pelaku tindak pidana terorisme. Mutu yang rendah ini dapat dikembalikan kepada aktivitas imperialisme dan kolonialisme yang telah cukup lama menguasai kaum muslimin. Ditambah lagi orientasi pemimpin kaum muslimin yang sekarang menjadi elite politik nasional. Mereka lebih dominan mementingkan kelompoknya sendiri dan membangun masyarakat Islam yang elitis.

Solusi yang ditawarkan oleh Gud Dur untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan mengadakan penafsiran baru (reinterpretasi). Melalui mekanisme inilah kaum muslimin bisa melakukan koreksi atas kesalahan yang diperbuat sebelumnya, maupun memberikan respons yang memadai atas tantangan yang dihadapi. Jelas dengan demikian Islam adalah agama kedamaian bukannya agama kekerasan. Proses berkembangnya Islam di Indonesia adalah bukti nyata akan hal itu.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aksi terorisme disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya yaitu dangkalnya pemahaman terhadap pengetahuan agam Islam sehingga dalam melakukan tindakan dengan segala cara, termasuk kekerasan. Penanggulangan aksi terorisme ini perlu adanya sinergi super baik dari pemerintahan maupun warga sipil. Tindakan preventif petugas keamanan wajib diadakan secara terus menerus untuk mendeteksi kemungkinan adanya tindakan teroris. Warga sipil terutama kaum muslimin juga harus membekali ilmu agama dengan cukup supaya tidak salah dan kaku dalam meinterpretasikan ayat-ayat Qur’an.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan