Re-thinking Feminism dan Muslim Indonesia

4,276 kali dibaca

Dalam konteks Indonesia, feminisme sebagai sebuah pemikiran atau filsafat dan juga gerakan sosial menjadi sebuah topik yang selalu dibicarakan dalam berbagai diskursus keilmuan. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dan dengan semakin banyak dikenalnya reformis perempuan muslim yang memperjuangkan kesetaraan gender, perdebatan pandangan mengenai “penerimaan” diskursus feminisme dalam konteks masyarakat Islam Indonesia masih terbelah di antara titik pro-kontra. Masih diperlukan advokasi dan penyadaran bahwa feminisme bukan soal anti atau penaklukan terhadap laki-laki, melainkan masalah keadilan asasi.

Dalam sejarahnya, feminisme lahir dari rahim ketidakadilan dan luka sosial. Feminisme lahir untuk melawan distribusi keadilan yang tidak setara, perspektif keadilan yang timpang, yang melahirkan relasi kuasa yang menempatkan mereka yang lemah menjadi korban. Namun, sebagai sebuah filsafat sekaligus gerakan sosial, feminisme tidaklah muncul karena ketakjuban. Ia muncul sebagai respons langsung terhadap pergerakan sosial dan masalah politik: sebuah panggilan untuk perubahan (Cole, 1993: 1). Ia lahir pada situasi historis tertentu yang ditandai dengan adanya ketidakadilan atau opresi; dan memiliki tujuan yang jelas dan spesifik, yaitu cita-cita keadilan.

Advertisements

Meskipun feminisme dianggap sebagai sebuah pemikiran yang modern dan kontemporer, sesungguhnya diskursus mengenai spirit keadilan dan kesetaraan ini dapat ditelusuri dari abad ke-18 di Barat, yang dalam esai dan tulisan-tulisan filosofis dikenal dengan sebutan proto-feminis. Kelahiran feminisme ini menandai awal mula pemikiran dan gerakan sosial yang mencita-citakan keadilan dengan tujuan untuk tidak semata mengkritisi ketidakadilan yang terjadi, tetapi juga melawannya agar perempuan tidak lagi menjadi korban dari tatanan masyarakat yang patriarkis.

Feminisme di Indonesia

Seperti di Barat, kelahiran feminisme di Indonesia juga didorong oleh ketidakadilan atau opresi terhadap perempuan. Dunia mengenal Raden Ajeng Kartini (1879-1904) sebagai pelopor pergerakan perempuan di Indonesia. Kita juga tidak asing dengan nama-nama lain seperti Dewi Sartika dan perempuan-perempuan tatar Sunda lainnya yang membangun sekolah-sekolah perempuan. Perempuan pada masa itu dikisahkan begitu susah memperoleh pendidikan, karena perempuan lebih diidentikkan dengan pekerjaan rumah tangga sehingga pendidikan bukan suatu hal yang diprioritaskan.

Selain di bidang pendidikan, kita juga mengenal nama-nama perempuan pejuang seperti Cut Nyak Dien dan Martha Christina Tiahahu yang turut terjun ke medan perang untuk membela tanah airnya dari penjajahan. Yang paling menakjubkan adalah nama Laksmana Keumlahayati, laksmana perempuan pertama di dunia dari Aceh pada abad ke XV, yang kisahnya diabadikan ke dalam lagu oleh musisi legendaris Iwan Fals.

Dalam konteks kekinian, kita mengenal Saparinah Sadli, Sjamsiah Ahmad, Kristi Poerwandari, Gadis Arivia, Marianne Katoppo dan sederet nama-nama lain yang konsisten dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Setelah Orde Baru tumbang, berbagai organisasi perempuan pun banyak yang mulai terlihat kiprahnya, seperti Women Research Institute, Jurnal Perempuan, Rahima, Kapal Perempuan, dan juga lembaga seperti Komnas Perempuan serta KPPPA dan berbagai nama lainnya.

Era tahun 1990an menjadi sebuah era yang penting terutama bagi perempuan muslim Indonesia karena pada tahun-tahun tersebut, banyak lahir forum-forum baru, organisasi-organisasi baru, dan buku-buku Islam baru yang memiliki pandangan yang lebih “membebaskan”. Buku-buku dengan tema kesetaraan gender seperti Women in Islam yang ditulis Fateema Mernissi dan Women in the Qur’an yang ditulis Amina Wadud, diterbitkan dalam Bahasa Indonesia pada tahun 1994 oleh Pustaka Bandung. Pada tahun yang sama, sebuah jurnal islam di Indonesia, yaitu Ulumul Qur’an menerbitkan edisi khusus yang berisi isu-isu hak asasi perempuan, feminisme, feminisme Islam, dan anti-feminisme (Qibtiyah, 2010: 151).

Kelahiran organisasi Islam yang mengusung pembaharuan di awal 1900-an seperti Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 dan Muhammadiyah pada tahun 1912 nampaknya semakin mendukung gerakan perempuan muslim dalam merepresentasikan suaranya mengenai pendidikan dan hak asasi perempuan. Ini bisa dilihat dari berbagai aktivitas yang dinaungi baik oleh NU maupun Muhammadiyah. Misalnya dalam bidang pendidikan, telah didirikannya TK Diponegoro, TK Aisyiyah, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan lain sebagainya. Kemudian dalam lingkungan NU sendiri, ada organisasi IPPNU, Fatayat, dan Muslimat NU yang sangat mengusung pemberdayaan perempuan.

Pemberdayaan perempuan, sebagai kunci perjuangan perempuan di Indonesia yang diwadahi organisasi-organisasi perempuan, sangat berkaitan dengan bagaimana cara dan strategi yang digunakan aktivis-akitivis perempuan dalam mendekonstruksi relasi gender yang umumnya ada di dalam masyarakat dan dalam merevisi hierarki gender yang sudah ada (Parvanova, 2012). Hal ini tidak mudah, sebab pemberdayaan perempuan seringkali terbentur resistensi masyarakat yang belum terbuka. Pemberdayaan perempuan, kadang kala bahkan dianggap sebagai sesuatu yang menyalahi kodrat perempuan Indonesia; yang seyogyanya tinggal di rumah, memasak, melayani suami, melahirkan, dan mengasuh anak, bukannya sekolah tinggi-tinggi, kemudian bekerja dan mencari nafkah.

Feminisme dan Muslim Indonesia

Berbicara feminisme dalam pandangan masyarakat Islam Indonesia sebenarnya sangat menarik. Sebab, istilah feminisme itu sendiri sudah dianggap problematis. Selain dianggap (antek) Barat, membicarakan feminisme juga seringkali dituduh omong kosong. Jarang sekali orang mau melihat feminisme sebagai perjuangan keadilan seperti: pembebasan dari kebodohan, dari diskriminasi, dari penindasan. Feminisme lebih dipandang sebagai anti-laki-laki, anti-keluarga, bukan perempuan baik-baik, bahkan lesbian.

Suryakusuma, Wieringa, dan Doorn Harder (dalam Qibtiyah, 2010: 154) menjelaskan bahwa kata “feminis” bahkan distigmatisasi sebagai label yang dikaitkan dengan “kiri” (komunis) atau “liberal” yang mendukung individualisme, keegoisan, dan perilaku yang amoral seperti hubungan seks di luar pernikahan. Feminis juga dianggap sebagai seseorang yang melawan kodrat, prinsip-prinsip Islam (aqidah), dan hukum Islam (syariah). Karena stigma negatif ini, banyak sekali aktivis perempuan yang menolak disebut feminis.

Kritik umat Islam Indonesia terhadap feminisme biasanya dilatari penilaian bahwa nilai-nilai feminisme dirasa sangat tidak sesuai dengan pandangan Islam, terutama jika menyangkut isu-isu pemakaian hijab, poligami, perempuan karier, hukum waris, dan sunat perempuan. Padahal, secara umum, sebenarnya feminisme justru menentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Secara umum, cara pandang masyarakat Islam Indonesia mengenai feminisme bisa dikelompokkan sebagai berikut: Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa Islam adalah suatu keimanan, sementara feminisme adalah suatu paham yang sekuler, sehingga keduanya tidak bisa disatukan. Istilah “Feminisme Islam” bahkan ditolak oleh kelompok pertama ini karena dianggap paradoks dalam dunia Islam. Kelompok ini juga berpendapat bahwa Muslim tidak membutuhkan nilai-nilai Barat untuk diaplikasikan dalam kehidupan umat Islam. Sebab, umat Islam sudah memiliki teks-teks agama sendiri yang lebih relevan dan tepat secara budaya dibandingkan dengan yang didapat dari Barat.

Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa Islam dan feminisme adalah sesuatu yang harmonis. Akademisi yang menyepakati istilah “Feminisme Islam” antara lain Laila Ahmed, Riffat Hassan, Fatima Mernisi, Siti Musdah Mulia, Siti Ruhaini Dzuhayatin, Ratna Megawangi, dan Kiai Husein Muhammad yang berpendapat bahwa feminisme cocok dengan agama Islam. Islam sendiri mendorong kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, meskipun di dalam praktiknya, prinsip ini kemudian diselewengkan untuk menjustifikasi subordinasi terhadap perempuan. Majid (1998) juga mengamini bahwa Islam dan feminisme bukanlah dua hal yang bertentangan. Ia bahkan mengkritik mereka yang membatasi istilah “Islami” (Qibtiyah, 2010). Kelompok ini juga umumnya mempertanyakan kembali atau mengkritisi interpretasi yang patriarkis mengenai teks-teks Islam seperti Al-Qur’an dan Hadist. Sebab, tidak mungkin Allah SWT yang mempunyai sifat Maha Adil kemudian memfirmankan sesuatu yang tidak adil bagi perempuan maupun laki-laki.

Karena itu, klaim bahwa feminisme lahir di Barat dan merupakan produk budaya Barat adalah kurang tepat. Feminisme lahir di setiap jengkal bumi ini: di mana ada ketidakadilan dan ada upaya perlawanan, di sanalah feminisme lahir. Feminisme sama sekali tidak mengajari perempuan untuk melawan laki-laki atau mengungguli laki-laki. Sebaliknya, feminisme berangkat dari penghargaan atas manusia (termasuk di dalamnya perempuan dan laki-laki) yang semuanya setara dan memiliki hak-hak dasar yang sama.

Allah SWT menciptakan manusia, baik perempuan maupun laki-laki, dengan setara. Sejak lahir, perempuan adalah manusia yang kemanusiaannya diberikan oleh Allah SWT bukan oleh laki-laki atau sesama manusia. Semua manusia, termasuk perempuan di dalamnya, mempunyai akses yang sama kepada Allah SWT.

Karena itu, terlepas dari banyaknya orang yang menentang ide-ide feminisme ini karena menganggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, feminis muslim di Indonesia, seperti Siti Musdah Mulia, Siti Ruhaini Dzuhayatin, Ratna Megawangi, dan Kiai Husein Muhammad terus mengadvokasi cita-cita feminisme yang sejalan dengan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin ini, sehingga baik perempuan maupun laki-laki menikmati kesetaraan dan keadilan. Sebab, pada akhirnya, bukanlah penaklukan terhadap laki-laki yang dicita-citakan oleh feminisme, namun keadilan yang di dalamnya mencakup hak-hak asasi perempuan, kesetaraan gender, dan keadilan sosial.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan