Rasisme dan Tuhan pun Mahabijak

2,004 kali dibaca

“Wahai manusia, sesungguhnya Aku menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S Al-Hujurat:13)

Tuhan Maha Rasis? Percik Pemikiran Duniasantri adalah buku kumpulan artikel dari duniasantri.co. Judul buku ini diambil dari salah satu judul artikel yang termuat di dalamnya. Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya. (Wikipedia)

Advertisements

Mahar Iskandar melalui artikel “Tuhan Maha Rasis?” ingin meluruskan bahwa rasis itu tidak ada dalam dogma agama mana pun. Ungkapan retorik dalam judul tersebut sebagai penegas dan keseriusan bahwa Allah sama sekali tidak memandang rendah terhadap perbedaan ras dan golongan.

Dari QS Al-Hujarat: 13 tersebut sudah sangat jelas bahwa Allah menciptakan manusia dalam berbagai etnik agar terjadi komunikasi yang baik di antara mereka (lita’aarofu; saling mengenal bukan saling mencekal). Sama halnya dengan ungkapan al-Quran “Afala ta’qilun? (apakah kamu tidak berakal?); Afala tatafakkarun? (apakah kamu tidak berpikir?); Hal yastawilladzina ya’lamuna walladzina la ya’lamun? (apakah sama orang yang mengerti dan tidak mengerti?); dan fabiayyi alaairobbikuma tikadzdziban? (maka nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan?).

Sebagai artikel “terpilih” menjadi judul buku, Mahar Iskandar ingin membuktikan bahwa rasisme termasuk perbuatan munkar (menyalahi syariat). “Rasisme sendiri sebenarnya tidak akan pernah ada jika seluruh umat manusia bersikap sesuai uswah yang diajarkan Rasulullah dan mengimplementasikan pedoman hidup berlandaskan pada firman Allah dalam menjalani suratan kehidupan sehari-hari.” (hal. 348). Di dalam Islam tidak ada yang namanya rasis. Tetapi kesetaraan seluruh manusia sebagai representasi Tuhan menjadi khalifah di muka bumi merupakan sebuah keniscayaan.

Bisri Effendy dalam pengantar di buku ini menjelaskan bahwa rasisme bukan semata masalah George Floyd (tragedi kematian orang kulit hitam oleh orang kulit putih di AS), tetapi telah menjadi problem kemanusiaan dan politik kenegaraan yang tak berujung dan tak pernah selesai. “Rasis yang semula dipahami sebagai pandangan, sikap, dan perlakuan (dari stereotype, stigma, pelecehan, subordinasi, represi, hingga tindak kekerasan) terhadap kelompok berbeda secara biologis (race, warna kulit) di dalam kehidupan plural kemudian melebar ke hubungan sosial serupa antar berbeda etnis, agama, dan golongan.” (hal. vi).

Masih menurut Bisri Effendy, sebenarnya dalam syariat Islam masalah sosial ini (rasis) telah selesai. Rasulullah dengan tegas mengatakan,“La fadlla li’arobiyyin wala a’jamiyyin. Inna akromakum ‘indallahi atqakum (Tidak ada kelebihan bagi Arab dan non-Arab, sesungguhnya yang paling mulia bagi kamu adalah yang paling bertakwa).” Hadits ini jelas menegaskan bahwa manusia dengan segala etnisnya dipandang sama di hadapan hukum Allah.

Rasialisme adalah suatu penekanan pada ras atau pertimbangan rasial. Kadang istilah ini merujuk pada suatu kepercayaan adanya dan pentingnya kategori rasial. Dalam ideologi separatis rasial, istilah ini digunakan untuk menekankan perbedaan sosial dan budaya antar ras. Jadi rasisme dipandang sebagai kesepadanan dengan rasialisme sehingga pemaknaan ini dianggap sama. Meski demikian, ada juga penjelasan bahwa rasialisme adalah bentuk ideoligi kesetaraan antar ras. Tidak ada perbedaan antara ras yang satu dengan ras lainnya.

Umumnya, rasisme disanding-hubungkan dengan vandalisme. Meskipun secara umum vandalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya)” atau “perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas”. Bentuk kekerasan yang ditujukan pada ras tertentu, golongan tertentu, dan kepercayaan tertentu. Maka rasisme seringkali melahirkan tindakan brutal (radikal, kekerasan) terhadap golongan tertentu sehingga menjadi problematika sosial.

Kekerasan yang disebabkan karena rasis seharusnya tidak boleh terjadi. Namun dalam realitasnya, disengaja atau tidak, tindakan sparatis ini menjadi masalah sosial. Dari sejak zaman awal hingga saat ini kekerasan berdasar rasis selalu terjadi dan terus terulang. Tentu diperlukan kesadaran individu (personal) bahwa tindakan rasis menjadi bentuk penindasan yang harus disingkirkan dari egoisme diri.

Ego adalah karakter keakuan hingga meniadakan eksistensi orang lain. Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. “Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat.” Istilah lainnya adalah “egois” (wikipedia). Secara kasat mata dapat kita pahami bahwa egoisme merupakan sifat dan sikap yang berkonotasi negatif. Bagaimana pun, seorang manusia memerlukan (bantuan) manusia lainnya.

“Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan telah menceritakan kepada kami Abu Dawud telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qatadah telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik dari Usaid bin Hudlair, seorang Anshar berkata: Wahai Rasulullah, anda menugaskan fi fulan tapi anda tidak menugaskanku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: ” kalian akan melihat sifat mementingkan diri (egoism), bersabarlah kalian hingga kalian menemuiku di telaga. (Berkata Abu Isa: Hadits ini hasan shahih.”)

Tuhan Maha Rasis? adalah kumpulan berbagai artikel yang ditulis oleh para santri (atau pemerhati kepesantrenan). Pun demikian, topik yang diangkat juga beragam dari dunia kesantrian, sosok kiai (pengasuh lembaga pesantren), kepesantrenan, hingga berbagai opini yang tidak jauh dari dunia kesantrian. Ternyata, dari bilik pesantren yang sederhana, bersahaja, dengan fasilitas yang terbatas, percikan pikiran-pikiran itu melangit sekaligus membumi. Menjadi referensi beragam dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan tata kaidah pustaka yang baku dan legal.

Buku Tuhan Maha Rasis? yang diterbitkan oleh Yayasan Jejaring Duniasantri memiliki jumlah halaman xvi + 351, dengan ukuran 13 cm x 20,5 cm. Buku dengan bentuk proporsional ini sangat direkomendasikan untuk dibaca dan ditelaah. Mengasah kemampuan berpikir, sekaligus kritis terhadap banyak persoalan dan tetap menanamkan etika dan sikap humble sebagai seorang santri.

Membaca buku ini seakan dibawa pada dunia pesantren. Membincang tentang kurikulum pesantren, akrivitas keseharian santri, dan berbagai sosok pengasuh yang pantas untuk diteladani. Banyak sekali serpihan pemikiran yang menjadi diskusi agar kebenaran menjadi semakin jelas. Menulis suatu topik dalam khazanah keilmuan akan menjadi prasasti dalam sejarah kehidupan. Sehingga, puncaknya kita akan mengayuh peradaban ke jalan yang semakin bersinar.

Seperti yang ditulis oleh Mukhlisin —penulis paling produktif di buku ini— tentang barokah (dalam KBBI: berkah) Pak Kiai di sebuah pesantren. Barokah, yang dalam bahasa agama dikatakan “ziyadatul khoir minallah (bertambahnya kebaikan dari Allah swt) adalah simbol keyakinan terhadap suatu kebaikan yang bisa datang dari siapa saja dan dari mana saja. Sedangkan ikhtiar merupakan washilah (perantara) yang wajib diupayakan oleh setiap pencari barokah. Kalau dalam bahasa Pak Kiai, dalam tulisan Mukhlisin ini, adanya mujahadhah, riyadhah, dan istiqamah; rajin, disiplin, dan konsisten.

Bisri Mustafa dalam tulisannya menjelaskan tentang hikmah sebuah pengabdian. Karena ikhlas dalam melakukan perintah seorang kiai, akhirnya ia diberi kemampuan lebih oleh Allah. Semula sebagai santri yang bebal, tidak cepat dalam menerima pelajaran, dengan patuh dan ikhlas selalu setia dan sedia mengantar kiai berdakwah, akhirnya ia mendapat makrifat. Yaitu pemahaman dan pengetahuan yang sebelumnya belum pernah terpikirkan. Hingga pada puncaknya ia dapat menganti posisi kiai meski tetap dalam pantauan dan arahan sang kiai tersebut.

Dalam tulisan yang cukup panjang, bahkan dalam catatan artikel ini dijelaskan sebagai pemenang dalam ajang lomba kepenulisan, Khanifah mengangkat ulama perempuan dari Sumenep Madura. Nyai Siti Maryam, atau yang biasa dipanggil dengan Nyi Seppo adalah ulama perempuan Madura yang berjuang dalam menegakkan pengajaran di pesantren. Beliau (Nyai Siti Maryam) juga sebagai pejuang membela hak-hak perempuan. Nyi Seppo paling tidak suka dengan pernikahan dini. Maka sebisa mungkin Beliau berusaha menghindarkan santri-santrinya untuk menikah di usia belia. Nyai Siti juga pejuang kesetaraan gender. Hingga dengan usaha dan ikhtiar Beliau, di Desa Bilapora pernah terjadi sorang Kepala Desa dipegang oleh perempuan. Kenyataan ini sebagai bukti bahwa Nyi Seppo benar-benar berjuang untuk kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.

El Azmil As Sasaky dengan judul artikelnya “Almanshuriyah, Pilar Islam di Pulau Seribu Masjid” mengangkat Pulau Lombok sebagai pusat pengembangan Islam yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Pulau Lombok, yang terkenal dengan sebutan Pulau Seribu Masjid, menurut El Azmil sebagai ungkapan hiperbolis sekaligus nilai kebanggaan bagi masyarakat setempat bahwa di pulau ini perkembangan Islam begitu pesat. Seribu masjid sebagai ungkapan metafor-hiperbol karena di pulau tersebut masjid sebagai pusat pengembangan Islam.

Syeh Siti Jenar dengan ajarannya (?) Manunggaling kawulo-Gusti dijelas-jabarkan oleh Debbi Candra Dianto. Bahwa ajaran ini bukan sebuah “kekacauan” tauhid, akan tetapi untuk menyelami ke tingkatan makrifat diperlukan proses dan pemahaman yang lebih mendalam. Tersebab oleh hal demikian, maka kemudian Syeh Siti Jenar dianggap melanggar syariat dan dihukum mari (atau kalau dalam penjelasan Debbi, yang dibunuh adalah ajarannya, sedangkan Siti Jenar menghilang, hilang, atau dihilangkan). Akhirnya, kita harus sadar dan menyadari bahwa hakikat kebenaran itu hanya Allah yang Mahatahu. Termasuk, kebenaran ajaran Syeh Siti Jenar; kita harus waspada dan hati-hati dalam menerima dan menyampaikan ajaran yang sudah dianggap menyimpang oleh para ulama pada zamannya.

Dan masih banyak lagi artikel-artikel dalam buku yang cukup tebal ini. Tidak mungkin saya bahas satu per satu mengingat banyaknya artikel yang ada. Maka, langkah yang paling bijak dan sangat arif adalah memiliki buku ini kemudian dijadikan sebagai penambah wawasan dan khazanah keilmuan dalam kehidupan bermasyarakat. Dikaji, ditelaah, dan dijadikan bahan diskusi (wajaadilhum billati hiya ahsan).

Membincang tentang kepesantrenan dan kesantrian tidak akan pernah selesai. Akan selalu muncul inovasi kebaruan dari sekat-sekat pondok yang sederhana. Namun, kesederhanaan tidak menghilangkan kemampuan pola pikir yang dinamis. Berpikir jauh ke depan demi menyongsong era industri 4.0 yang telah hadir dengan segala kemegahan teknologi. Pesantren mampu bersaing dalam khazanah keilmuan dengan segala mujahadah yang menjadi karakter di jiwa para santri.

Demi membangun khazanah ilmu yang lebih mumpuni, buku Tuhan Maha Rasis? ini menjadi salah satu alternatif. Rekomendasi utama untuk bernostalgia dengan lembaga yang pernah membesarkan kita, juga sebagai ruang referensi imajinatif-reaktif kepada para pembaca secara umum. Maka nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan? Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan