Ramadan Anak-anak Langgaran

1,230 kali dibaca

Ini kisah tentang anak-anak langgaran tempo dulu dalam menjalani bulan suci Ramadan. Bersetting sekira akhir 1970-an. Tentu saja ini kisah tentang anak-anak langgaran di desa saya, ujung paling timur Pulau Jawa.

Disebut anak-anak langgaran, sebab mereka lebih banyak menghabiskan waktu di langgar atau musala dan masjid. Terlebih selama bulan Ramadan. Saat itu, selama Ramadan, sekolah memang libur sebulan penuh. Jadi, anak-anak yang bersekolah di Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah ini tak lagi direpotkan oleh urusan sekolah.

Advertisements

Langgar atau masjid telah menjadi “rumah kedua” bagi mereka. Di sanalah mereka tidur, bukan di kamar-kamar hangat berkasur empuk yang disediakan oleh para orang tua mereka.

Kisah mereka bisa kita mulai dari “keseriusan” persiapan mereka menyambut Ramadan. Seperti pasukan mempersiapkan peralatan tempur, begitulah mereka mempersiapkan segala peralatan tetabuhan untuk ronda. Nantinya, setiap malam selama Ramadan, mereka beronda, berkeliling desa dengan membunyikan bermacam tetabuhan untuk membangunkan orang-orang saat waktu sahur tiba.

Untuk zamannya, segala peralatan tetabuhan yang mereka bikin tergolong mewah. Mungkin ada kendang yang dibuat dari batang bambu agak besar. Atau kentungan yang juga terbuat dari batang bambu dengan ukuran agak kecil. Juga seruling. Yang lain? Banyak. Ada kecrekan yang dibuat dari seng bekas tutupnya botol minuman atau baterai. Ada juga tetabuhan dari bekas timba atau ember atau panci!

Saat segala peralatan tetabuhan itu selesai dibuat, berarti mereka telah siap menyambut Ramadan. Di setiap langgar atau masjid, biasanya ada belasan anak yang tergabung dalam “geng ronda” ini. Sehabis maghrib, mereka mulai berdatangan ke langgar-langgar, biasanya dengan menenteng rantang berisi bekal untuk sahur.

Seperti orang-orang pada umumnya, anak-anak langgaran ini, dengan beragam tingkahnya, mengikuti salat tarawih sampai selesai. Setelah itu, mereka juga mengikuti tadarusan bersama orang-orang dewasa. Tadarusan menjadi salah satu momen menggembirakan bagi mereka. Sebab, selama tadarusan itulah biasanya berdatangan beragam takjil —penganan yang kadang jarang ditemui di rumah sendiri.

Biasanya tadarusan di langgar-langgar berakhir pukul 12.00. Saatnya mereka berangkat tidur. Beberapa mereka kadang ada yang lebih dulu tertidur. Mereka tidur bergeletakan di lantai musala, seringkali tanpa selembar pun alas tikar atau bantal. Biasanya sekitar pukul 02.00, mereka bangun. Entah siapa yang terjaga lebih dulu dan membangunkan yang lainnya. Setelah berebut cuci muka di jeding, mereka mengambil tetabuhan masing-masing dan siap beronda.

“Buk gedebuk-gedebuk, jreng-jreng… Tek-tok-tek-dung. Tek-tok-tek-dung. Sahurrr! Sahurrrr! Sahurrrr!” dan ronda pun dimulai.

Sambil terus berteriak-teriak “Sahur-sahur-sahur!” dan memukuli semua tetabuhan dengan irama seenaknya, mereka terus menyusuri jalan-jalan desa. Teriakan bersahutan di antara mereka dan bunyi tetabuhan yang berisik itu sudah pasti akan membangunkan orang-orang yang sedang terlelap. Di antara orang-orang tua mungkin ada yang terbangun sambil tersenyum dan membatin: “Itu ulah anakku.”

Sesekali, di perempatan jalan desa, mereka akan berpapasan atau bertemu dengan “geng ronda” dari langgar-langgar lain. Itu disebut tawur. Ketika itu terjadi, mereka akan adu keras membunyikan tetabuhannya. Teriakan mereka juga makin keras. Kadang-kadang, mereka berlama-lama di tempat tawur itu. Jika itu terjadi, beberapa orang biasanya ada yang keluar rumah untuk menyaksikan atraksi mereka. Suasana semakin ramai. Benar-benar seperti malam festival musik jalanan.

Ronda itu akan berlangsung sampai kira-kira satu jam atau kurang menjelang imsyak. Setiba kembali di langgar, mereka akan lekas menyantap bekal sahur masing-masing. Dengan lahap. Tapi ada kalanya, makanan mereka ada yang basi. Yang sedang sial seperti ini tentu berharap ada teman yang berbaik hati —dan selalu ada yang seperti itu.

Sehabis sahur, mereka akan berjaga sampai subuh, dan kembali tidur bergeletakan di lantai sehabis salat subuh. Selama siang hari, anak-anak langgaran ini hanya sebentar pulang ke rumah untuk mandi dan berganti pakaian, kemudian melanjutkan segala aktivitas atau bermain di sekitar langgar. Menjelang maghrib baru mereka pulang ke rumah lagi untuk berbuka. Setelah itu, sehabis maghrib, mereka akan berangkat lagi ke langgar dengan menenteng rantang berisi bekal sahur.

Begitulah Ramadan anak-anak langgaran tempo dulu. Entah kini.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan