“Ibu, aku ini anak siapa?”
“Kau anak ibu. Hanya anak ibu.”
Jawaban ibu selalu sama setiap aku bertanya tentang ayah. Aku tidak berani meneruskan pertanyaanku meski di kepala ada banyak pertanyaan.

Saat masih kecil, aku dan kakakku belum memahami bahwa orang tua itu terdiri dari ayah dan ibu. Sebab, sejak lahir hanya sosok ibu yang aku kenal.
Di sekolah, teman-temanku juga banyak yang bernasib sama. Sebagian ada yang meninggal saat mereka masih kecil. Selebihnya antara tiba-tiba pergi, atau tergoda dengan perempuan lain. Ibu yang tak pernah bercerita tentang keberadaan ayah adalah tanda luka terdalam. Tanda berusaha dipendam, entah apapun alasannya.
Aku mulai memahami bahwa semua anak pasti memiliki ayah sejak aku sekolah. Aku melihat sebagian teman-temanku berangkat dan pulang sekolah selalu diantar oleh seorang laki-laki. Aku bertanya kepada mereka, siapa laki-laki itu. Mereka menjawab itu adalah ayah mereka.
“Ayah itu siapa?” tanyaku dengan polos.
“Orang tua kita. Ibu yang melahirkan, ayah yang menafkahi. Semua anak pasti memiliki ayah dan ibu. Apa di rumahmu tidak ada ayah?”
Aku menggeleng. Karena, setahuku hanya ibu yang melahirkan dan menafkahi kami. Ternyata aku lahir juga tersebab seorang ayah. Aku bukan nabi Isa yang bisa lahir tanpa ayah, dan ibu bukan Siti Maryam yang bisa hamil tanpa suami.
“Ibu, aku ini anak siapa?”
“Kau anak ibu. Hanya anak ibu.”
Jawaban ibu masih sama. Aku mulai membayangkan bagaimana sosok ayahku. Mengapa di rumah kami tidak ada ayah. Andai saja ayahku di rumah, kami tidak akan memiliki masa kecil sangat berat.
Saat semua teman-temanku berangkat dan pulang di antar oleh orang tua mereka, aku dan kakakku harus berjalan kaki. Jangankan diantar sekolah oleh orang tua, bahkan ibu kami tidak pernah menyambut saat kami pulang sekolah.
Ibu berjuang mencari nafkah di negeri orang selama bertahun-tahun meninggalkan kami di sini. Dengan berat hati kami harus dititipkan dengan seseorang yang tak memiliki ikatan darah dengan kami. Saudara kami sebenarnya banyak, namun tidak satupun yang mau membantu. Aku harus berpisah dengan ibu bahkan sejak aku masih belum masuk bangku sekolah.
Seiring berjalannya waktu, bukan hanya rasa penasaranku yang terbendung, namun rasa benciku kepada ayah mulai muncul. Apalagi setiap kali teman-teman mengejek aku anak yatim. Setiap aku ditanya oleh mereka siapa nama ayahku, aku mulai menjawab dengan asal-asalan. Kadang Supra, kadang Supri, kadang Bambang, kadang Yanto. Biarkan saja mereka menganggap aku ngawur.
Aku pernah membicarakan perihal ini kepada kakak. Namun, kakak justru marah kepadaku karena berkali-kali membahas tentang ayah. Kami pun mulai berdebat. Aku juga marah kepadanya; mengapa dia tidak ikut berusaha mencari sosok ayah agar ibu tidak harus bekerja keras.
Aku juga mulai menyalahkan ibu yang selalu menutup-nutupi siapa ayah kami. Aku juga ingin memiliki ayah sama seperti teman-temanku. Yang menjadi sosok yang aku teladani, aku idolakan, bukan yang aku benci. Kalau memang sosok ayah kami telah hilang, maka hadirkanlah sosok ayah baru sama seperti temanku.
Pertanyaan itu masih saja bersarang di benakku sampai aku dewasa. Hingga pada suatu hari ada dua orang laki-laki datang ke rumah secara bergantian. Dua laki-laki itu dalam kondisi kesehatan yang tampak tidak baik-baik saja. Sejak kedatangan kedua laki-laki itu aku sering melihat ibu menangis. Apa yang mereka perbuat hingga membuat ibu menangis. Ibu sering diam, melamun di teras rumah.
“Bu, siapa dua laki-laki yang kemarin datang kemari sehingga membuat ibu harus berkali-kali menangis?”
“Besok kedua laki-laki itu datang lagi. Kalian harus ikut menyambutnya.”
Hanya itu jawaban ibu, tanpa menjelaskan siapa mereka. Esoknya kedua laki-laki itu datang. Kami juga ikut menyambut kedua laki-laki itu. Hanya keheningan yang kami rasakan dalam situasi yang tidak kami mengerti. Hanya ibu dan kedua laki-laki itu yang merasakan. Kedua laki-laki itu mulai mengusap air mata mereka. Lalu duduk mendekati kami berdua, dan berkata, “Tolong maafkan kami.”
Aku dan kakak kebingungan. Sebenarnya ada rahasia apa yang mereka sembunyikan dari kami. Namun tidak satupun dari mereka yang berani menjelaskan.
“Kalian berdua pulanglah, dan jangan pernah kesini lagi. Kalian tidak akan mampu menghadapi kedua anak ini. Aku akan berusaha meminta apa yang kalian inginkan dari mereka. Namun jangan meminta lebih dari itu!”
Pada akhirnya ibu sadar, serapat apapun dia menutupi fakta tentang ayah, suatu hari nanti kami harus tahu, dari benih siapa kami ini berasal.
“Kalian tahu mengapa wajah kalian sangat berbeda, bahkan juga tidak mirip dengan ibu?”
Memang benar wajah kami sangat berbeda. Bahkan kami juga tidak mirip dengan ibu. Sejak kecil tidak sedikit teman-temanku yang mengejek bahwa kami ini bukan adik dan kakak.
“Karena kalian mirip dengan ayah kalian. Seperti benang di belah dua. Kalian memiliki ayah yang berbeda. Dua laki-laki itu adalah ayah kalian. Kalian bisa bayangkan, bagaimana tersiksanya ibu setiap kali melihat wajah kalian sangat mirip dengan laki-laki yang dua kali mengkhianati ibu dengan cara yang sama. Ibu hampir putus asa memutuskan menelantarkan kalian saja, namun hati nurani ibu menolak keras. Bagaimanapun juga kalian anak-anakku. Harta yang paling berharga yang hanya boleh dimiliki oleh ibu. “
Kenyataan ini ternyata lebih menyakitkan dari yang kami bayangkan. Bukan hanya kami yang hidup tak berayah; ternyata kami adalah saudara tiri.
Dua kali ibu menikah, berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik, namun justru dua kali dia dikhianati dengan cara yang sama. Ayah kami tergoda dengan wanita lain. Menelantarkan kami begitu saja. Dan kini mereka mendapatkan karma, menerima balasannya. Mereka justru berebut untuk meminta maaf dan hak sebagai suami. Sungguh, tak tahu malu.
Namun luka ibu telanjur dalam. Ibu dengan tegas menolak permintaan mereka. Kini aku tahu mengapa ibu tidak mau menikah lagi. Kini aku tahu mengapa jawaban ibu tetap sama setiap kami bertanya siapa ayah kami.
“Kami harus apa, Bu?”
“Maafkanlah mereka meski itu sulit dan membutuhkan waktu lama. Ibu sudah memaafkan mereka. Hanya memaafkan, tidak lebih. Setiap orang pasti memiliki luka. Ada yang mudah menyembuhkan hingga habis. Ada yang mampu menyembuhkan, namun menyisakan secuil luka. Jika kalian memutuskan untuk mengubah secuil luka itu menjadi dendam, maka kalian akan hancur. Jika kalian mengubah secuil luka itu menjadi pengampunan, maka kalian akan mulia.”
Ibu membelai wajah kami yang menangis di pangkuannya. Amarah kami belum reda. Entah luka ini akan kami ubah menjadi dendam atau pengampunan. Ibu benar, kami memang anak-anak ibu. Hanya anak ibu.
Sumber ilustrasi: pinterest.