Radikalisme Versus Ateisme

961 kali dibaca

Mengejutkan, tapi tren ini sebenarnya sudah menguat sekitar satu dekade terakhir: di negara-negara Islam, jumlah penganut ateisme atau orang-orang ateis meningkat signifikan. Apa sebab?

Sejumlah penelitian, meskipun mungkin baru bersifat pendahuluan, mengungkap bahwa di negara-negara kawasan Timur Tengah atau negara-negara Islam seperti Arab Saudi, Mesir, Turki, Iran, Maroko, dan beberapa lainnya terjadi tren naik jumlah orang yang beralih dari teisme ke ateisme.

Advertisements

Pada 2014, Universitas Al-Azhar Kairo melakukan jajak pendapat. Hasilnya, sebanyak 10,7 juta orang dari 87 juta penduduk Mesir mengaku ateis. Data ini diperkuat laporan Pengadilan Mesir di tahun yang sama, yang mengungkap bahwa terdapat ribuan perempuan yang menggugat cerai suami mereka. Alasannya, suami mereka ternyata ateis. Di Mesir, ketika suami tidak beragama Islam, seorang perempuan Islam diperbolehkan menggugat cerai suaminya.

Tren yang sama juga terjadi di Arab Saudi. Berdasarkan hasil riset WIN-Gallup International (PDF) tahun 2012, diketahui sekitar 19 persen dari total penduduk Arab Saudi mengaku tidak terlibat dalam praktik keagamaan dan lima persen lainnya ateis. Artinya, sebanyak 1 juta warga Arab Saudi mengaku ateis, dan hampir 6 juta orang tidak taat beragama.

Sementara itu, di Turki, berdasarkan hasil survei dari lembaga riset sosial-politik Konda, dalam sepuluh tahun terakhir populasi ateis jumlahnya meningkat tiga kali lipat. Di Irak, jagat maya diramaikan akun-akun media social berbau ateisme, dan pengikutnya (followers) mencapai puluhan ribu. Juga di Iran. Di negeri para mullah ini, seperti pernah dilaporkan Statistical Center of Iran pada 2011, ada sekitar 0,3 persen dari total penduduk yang mengasosiasikan diri sebagai bukan pemeluk agama. Bahkan, mereka memiliki lembaga atau jaringan tersendiri, yang pengikutnya juga semakin banyak.

Ateisme juga melanda sejumlah negara Timur Tengah lainnya. Hasil survei yang dirilis Institut Dar Al-Ifta pada 2014, tren naik atiesme juga terjadi di Maroko, Tunisia, Yordania, Sudan, Suriah, Libya, dan Yaman. Tren ini diprediksi akan terus menguat pada tahun-tahun mendatang. Setidaknya, berdasarkan riset pertumbuhan agama-agama besar di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang dilakukan PEW Research Center, disebutkan bahwa jumlah ateis di Timur Tengah pada 2010 diperkirakan sekitar 2,1 juta orang, dan diproyeksikan pada 2050 akan meningkat menjadi sekitar 3,2 juta jiwa.

Sebab Ateisme

Pada abad yang telah lewat, terutama di negara-negara Barat atau negara-negara maju, ateisme berkembang karena agama dianggap tidak mampu menjawab tantangan zaman atau kalah bersaing dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada abad kini, ateisme yang berbiak di negara-negara muslim kawasan Timur Tengah dan sekitarnya rupanya disebabkan oleh hal yang berbeda.

Berdasarkan survei yang dilakukan beberapa lembaga riset dan media massa, beralihnya orang ke ateisme terutama dipicu oleh masifnya pemberitaan tentang perang, pembunuhan, kekerasan, kekejian, pemerkosaan, ujaran kebencian, hoax yang dilakukan untuk dan atas nama agama. Ini juga diungkap dalam sebuah artikel berjudul “The Arab Spring and the Coming Crisis of Faith” yang ditulis Tamer Fouad pada 2012.

Fakta ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya radikalisme telah menjadi “promosi” yang buruk bagi syiar Islam. Dan, ateisme menjadi semacam bentuk “protes” dari kaum muslim pada umumnya terhadap gelombang pasang radikalisme di kawasan Timur Tengah dan negara-negara Islam lainnya. Ketika, dengan atas nama agama, satu kelompok tertentu memonopoli kebenaran dan memaksakan kebenaran tunggal dengan jalan kekerasan, maka diam-diam banyak orang berpaling ke arah lain: ateisme. Dan itulah yang terjadi di sana setelah adanya gelombang radikalisme agama.

Meskipun, pada mulanya ateisme diartikan sebagai paham yang tidak mempercayai adanya Tuhan, dalam fenomena yang muncul di kawasan Timur Tengah atau negara-negara Islam dimaknai secara beragam. Ada yang benar-benar tidak mempercayai adanya Tuhan. Namun, ada juga yang melakukannya dengan cara melepaskan agama (Islam) yang dipeluknya dan memilih tidak beragama —meskipun mungkin tetap percaya akan adanya Tuhan. Ada juga yang mengartikannya dengan “masa bodoh” dengan masalah-masalah keagamaan. Dengan kata lain, jika menjadi religius harus menjadi radikalis, maka lebih baik tidak.

Ateisme di Indonesia

Bagaimana dengan di Indonesia? Seperti halnya di kawasan Timur Tengah, sekitar dua dekade terakhir harus diakui memang terjadi gelombang pasang radikalisme agama di Indonesia. Banyak indikator untuk menyebutnya demikian.

Misalnya, muncul kelompok-kelompok pendaku kebenaran tunggal dan memaksakannya kepada kelompok-kelompok lain dengan cara-cara kekerasan. Muncul kelompok-kelompok takfiri yang penuh dengan ujaran kebencian. Muncul kecenderungan formalisme agama di ruang-ruang publik yang semuanya harus “bersyariah” —mulai dari pesantren syariah sampai pantai pijat syariah. Muncul gerakan-gerakan yang ingin menganti ideologi dan mengubah bentuk negara. Muncul pembangkangan-pembangkangan publik atas nama agama.

Pertanyaannya, apakah gelombang pasang radikalisme agama di Indonesia akan berakhir seperti Timur Tengah? Setidaknya memunculkan gerakan ateisme? Ada atau tidaknya pergeseran dari teisme ke ateisme yang terdorong oleh radikalisme agama di Indonesia masih diperlukan adanya riset yang mendalam. Mungkin ada, kita belum tahu pasti.

Yang pasti, Indonesia memang lebih beruntung dibandingkan dengan negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah lantaran masih memiliki benteng yang kukuh. Salah satunya, tradisi institusi pesantren di Indonesia masih sangat kuat, dan masih sulit ditembus oleh gerakan radikalisme agama —meskipun ada beberapa yang sudah terpengaruh atau terafiliasi dengan gerakan radikalisme agama.

Tapi, meskipun begitu, tetap saja radikalisme agama itu juga bisa menjadi “promosi” yang buruk bagi syiar Islam di Indonesia. Diam-diam, orang-orang mulai bertanya-tanya: apakah beragama itu memang harus begitu? Apakah menjadi muslim yang baik itu harus menjadi radikalis?  Jika benar begitu, jangan heran jika tiba-tiba banyak orang Indonesia yang ateis.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan