Puja dan Prasangka: Menguak Studi Orientalis terhadap Al-Qur’an

Setiap kali saya membaca ulang Al-Qur’an, saya merasa seperti memasuki ruang spiritual yang dalam dan tidak terbatas. Di luar tradisi Islam, saya menyadari bahwa kitab suci ini tidak hanya digunakan untuk ibadah, tetapi juga digunakan untuk penelitian ilmiah, khususnya dari akademisi Barat yang disebut orientalis.

Di sinilah saya mulai merenungkan satu hal yang sangat penting: mengapa sikap mereka terhadap Al-Qur’an begitu paradoks, antara kekaguman yang mendalam dan kecurigaan yang tajam?

Advertisements

Sebagai santri yang juga tertarik pada dunia akademik, saya merasa perlu untuk menyelidiki lebih jauh cara orientalis memahami Al-Qur’an. Di antara karya mereka, saya menemukan pujian yang tulus terhadap bahasa dan struktur Al-Qur’an yang indah.

Misalnya, terjemahan Al-Qur’an oleh Arthur J. Arberry yang mempertahankan ritme dan keindahan bahasa. Ia menganggap Al-Qur’an sebagai karya sastra Arab terbaik. Sebagai Muslim, saya pasti bangga. Al-Qur’an tetap menarik bahkan bagi mereka yang tidak menganut iman.

Namun, di balik pujian, ada bias yang membuat saya bertanya-tanya: apakah mereka benar-benar ingin memahami atau sekadar membongkar? Banyak orientalis klasik seperti William Muir atau Theodor Nöldeke berpendapat bahwa Al-Qur’an hanyalah tulisan Nabi Muhammad yang memiliki sumber dari Yahudi dan Kristen. Mereka mengabaikan aspek spiritual dan melihat wahyu sebagai hasil dari peristiwa masa lalu. Dengan perspektif ini, saya menyadari bahwa ada alasan di balik apa yang dianggap “ilmiah”.

Saya mulai menyadari bahwa studi orientalis tentang Al-Qur’an berasal dari dua sisi: puja dan prasangka. Pujian mereka memberikan pengakuan, tetapi kebencian mereka menghancurkan otentisitas. Sayangnya, prasangka sering kali berkuasa dalam sejarah. Sebagian orientalis menganggap mereka memiliki hak penuh untuk menilai Al-Qur’an, bahkan hingga hari ini.

Meskipun demikian, saya tidak dapat menolak sepenuhnya penelitian Barat tentang Islam. Selama kita memiliki kerangka berpikir kritis, kita dapat banyak belajar dari metode mereka.

Dalam hal ini, pemikiran Edward Said sangat memengaruhi saya karena dia menunjukkan bahwa orientalisme seringkali merupakan bagian dari rencana kekuasaan daripada sekadar ilmu. Meskipun pengetahuan kita tentang Timur tidak netral, itu penuh dengan kepentingan.

Tetapi pada akhirnya saya menyadari bahwa kritik terhadap orientalis tidak harus membuat kita anti-ilmu; sebaliknya, itu harus mendorong kita untuk membangun studi Al-Qur’an yang lebih adil, terbuka, dan autentik—berakar dari tradisi kita tetapi tidak takut berbicara dengan orang lain.

Karena Al-Qur’an pada akhirnya bukan untuk diperdebatkan, tetapi untuk dihayati, dipahami, dan diterapkan dalam kehidupan nyata, saya percaya bahwa studi Al-Qur’an bukanlah arena konflik antara Timur dan Barat; sebaliknya, itu adalah medan kejujuran, di mana pujian harus diterima dengan rendah hati, dan prasangka harus dihadapi dengan pengetahuan.

Wallahu a’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan