Problematika Superioritas dan Inferioritas Bahasa

906 kali dibaca

Perkembangan bahasa era kiwari mungkin lebih cepat dari yang kita lihat sebelumnya. Di tahun-tahun lampau kita tidak bisa melihat perkembangan bahasa yang melesat sebagaimana hari ini. Tetapi, kurang dari satu tahun terakhir perkembangan berbahasa mulai menunjukkan dinamika berbeda. Perubahannya lekas dan tidak pernah diprediksi sebelumnya. Dahulu, tidak ada seorangpun yang mungkin membayangkan bahwa akan ada masa di mana bahasa dioplos (Indonesia-Inggris). Lagi-lagi kita tidak pernah menduga dan bahkan terkecoh bahwa pada akhirnya bahasa mengalami percampuran.

Sejujurnya, mungkin bahasa memang tidak murni, dan mengalami serapan dari bahasa sebelumnya. Bahasa Indonesia (yang kita kenal sekarang), umpama, mungkin telah melewati persinggungan dengan bahasa lain. Sehingga, tatkala saya cek kembali di kitab agung bahasa Indonesia (baca: KBBI), ada banyak sekali lema serapan. Saya tidak menghitung dengan pasti berapa kata serapan yang termaktub di dalam buku pedoman yang berisi ribuan bahkan jutaan lema itu. Di sisi lain, kita kemudian akan menemukan beberapa hal menarik dari persoalan bahasa.

Advertisements

Persoalan tersebut tidak lain adalah inferioritas dan superioritas di dalamnya. Sebelum jauh masuk terhadap pokok soal, hal pertama yang harus disepakati bahwa bahasa pada titik hakikinya hanyalah alat komunikasi untuk menyampaikan pesan. Kita bisa memahami apa yang dikatakan oleh lawan bicara karena ada alat bantu bernama bahasa.

Dalam Oxford Dictionary bahasa diungkapkan sebagai “system of communication in speech and writing used by people of a particular country”. Secara sederhana dapat dipahami bahwa bahasa adalah bagian dari sistem komunikasi baik dalam (bentuk) pembicaraan maupun tulisan yang dilakukan oleh sekelompok orang dari negara tertentu.

Cakupan bahasa sendiri juga tidak sesempit yang kita bayangkan. Sebagaimana sudah dijabarkan di atas bahwa bahasa bisa berbentuk ungakapan dengan lisan, maupun tulisan, bahkan isyarat. Namun, pada inti pokoknya bahasa hanyalah alat untuk melancarkan komunikasi tiap individu. Tanpa sistem bahasa, individu tidak mungkin dapat berkomunikasi satu sama lain dan tidak dapat menjalin relasi. Bukankah manusia adalah makhluk yang butuh relasi, atau zoon politicon dalam istilah Aristoteles?

Lalu di mana persoalan superioritas dan inferioritas bahasa itu? Saya menyebut bahwa hal ini masih erat kaitannya dengan simtom dikotomis antara ilmu agama dan ilmu nonagama. Kita sepakat meski tidak secara aklamatif, menganggap bahwa Islam erat kaitannya dengan bahasa Arab karena beberapa sebab.

Pertama, Islam lahir dan tumbuh menjadi agama di Arab. Kemudian, kitab suci umat Islam (Al-Qur’an) juga berbahasa Arab. Sehingga kita dapat mengambil kesimpulan bahwa antara Islam dan bahasa Arab punya hubungan mesra. Dan, saat yang bersamaan justru malah digunakan oleh sebagian orang untuk menegasikan bahasa nonarab, secara spesifik Inggris.

Implikasinya, bahasa Arab dianggap sebagai bahasa yang superiorior ditambah lagi legitimasi dari sebuah hadis (?) yang kurang lebih berbunyi: Aku mencintai Arab karena tiga hal; karena aku orang Arab, Al-Qur’an berbahasa Arab, dan bahasa Arab adalah bahasa ahli surga.

Penulis tidak punya kompetensi untuk mengkritik autentsitas hadis tersebut. Namun, kita justru dengan mudah dapat menyanggah klaim bahwa bahasa Arab lebih superior dan kemudian mendudukkan semua bahasa di dalam posisi yang setara. Kita harus berani beranggapan bahwa bahasa hanya produk kebudayaan dan tidak ada superioritas di balik itu semua.

Lagi pula, setiap bahasa punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Indonesia, misal, sulit dicari padanannya di dalam bahasa Arab, juga sebaliknya. Dengan ini kita dapat melihat kekurangan dari masing-masing bahasa tanpa harus saling merasa superior. Ditambah lagi konteks dan realita hari ini menyeru agar tidak hanya memahami satu bahasa. Di dalam bagian ini, tidak cukup hanya memahami satu bahasa Arab saja lalu menegasikan bahasa lain. Arus perubahan menyeret kita mau tidak mau untuk memahami beberapa bahasa, semampunya.

Maka, kurang elok jika kemudian bahasa nonarab dinafikan dan dianggap inferior ketika “head to head” dengan bahasa Arab. Semua bahasa hendaknya didudukkan dengan posisi yang setara dan saling melengkapi. Sanggahan terakhir untuk orang anti bahasa nonarab sebetulnya juga bisa dilakukan dengan mudah. Kita cukup bertanya bagaimana cara Islam disebarkan di wilayah nonarab, jika kita tidak memahami bahasa daerah tersebut? Jika mau yang lebih spesifik, bagaimana Islam disebarkan di Inggris jika kita anti terhadap bahasa Inggris?

Setelah dipikir-pikir, sebagian umat Islam sudah terjangkit penyakit xenofbia. Ia merasa takut dengan apa-apa yang berbau asing dan hanya mau mendekat dengan apa yang lekat. Tak ayal jika ada anggapan bahwa belajar bahasa Inggris sama dengan belajar bahasa orang kafir. Belajar bahasa selain bahasa Arab dituding tidak punya nilai plus. Inilah realita yang dihadapi kita sekarang!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan