Prinsip Merdeka dalam Berliterasi

1,196 kali dibaca

Momen bulan Agustus adalah saat kita membangun memori dengan kemerdekaan. Karena, pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa kita memproklamasikan diri sebagai bangsa yang bebas dari penjajahan. Bukan saja terbebas dari kolonialisme, namun momen merdeka ini menjadi terpola dan tertata untuk membangun prinsip “bebas” di segala aspek kehidupan. Sehingga hak dan prinsip hidup individu menjadi sebuah asas untuk mengelola kehidupan.

Salah satu kebebasan yang “mungkin” dan niscaya dapat kita lakukan adalah tatanan dan kaidah dalam berliterasi. Dari sejak awal eksistensi peradaban manusia, literasi juga lahir dengan pola kesederhanaan dan kesahajaan.

Advertisements

Akan tetapi, dasar-dasar literasi atau bahkan apapun saja, juga diawali dengan formula kesederhanaan bahkan kurang dari sekadar sederhana. Lambat laun, seiring dengan perkembangan zaman, literasi terpola dan tertata dengan semangat untuk meningkatkan peradaban kemanusiaan yang lebih baik dan sempurna.

Elizabeth Sulzby mengatakan bahwa literasi adalah kemampuan seseorang dalam berbahasa dan berkomunikasi. Di mana, orang tidak hanya memiliki kemampuan membaca, tetapi juga menyimak, berbicara, serta menulis. Lebih dari itu, literasi memiliki perkembangan makna untuk selalu bersesuaian dengan kondisi zaman. Melampaui makna awal dari literasi yang cenderung bermuara pada kegiatan membaca dan menulis.

Prinsip Bebas Literasi

Kebebasan dalam beriletarasi tetap dibatasi oleh prinsip literal itu sendiri. Karena maksud dan tujuan literasi adalah untuk meningkatkan pemahaman dan memajukan kehidupan bangsa, maka prinsip literasi ini tidak boleh dikebiri oleh absurditas kemerdekaan yang tidak bertanggung jawab.

Dikutip dari buku Pemahaman Konsep Literasi Gender, Alwasilah (2012) mengungkapkan bahwa prinsip literasi adalah kecakapan hidup, mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan. Literasi juga berhubungan dengan kemampuan memecahkan masalah, refleksi penguasaan dan apresiasi budaya, refleksi diri, kemampuan berkolaborasi, serta kegiatan untuk melakukan interpretasi atau penafsiran.

Jadi prinsip dari lietarasi membawahi berbagai aspek kemampuan dalam membangun sistem kehidupan yang berdampak baik dan prilaku berkualitas. Sehingga dapat dipahami bahwa literasi bukan semata membaca dan menulis an sich, namun kemampuan menguasai berbagai sektor kehidupan untuk peradaban dan kemanusiaan.

Merdeka Mengemukakan Pendapat

UUD 1945 Pasal 28E Ayat (3), secara jelas menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat“. Teks naratif Undang-Undang ini menasbihkan bahwa mengeluarkan pendapat merupakan hak setiap individu. Sedangkan sarana untuk mengeluarkan pendapat dapat berupa teks atau tulisan maupun dengan cara lisan (ucapan). Jaminan ini sebagai bukti bahwa kita merdeka dalam menulis atau menuangkan gagasan dalam bentuk naskah tertulis.

Namun perlu digarisbawahi bahwa kemerdekaan mengemukakan pendapat (baca: berliterasi) tidak boleh mengganggu ketentraman dalam bermasyarakat, serta jangan sampai menimbulkan keributan dan kegaduhan. Karena jika itu terjadi, maka akan berbenturan dengan prinsip aturan lainnya, sehingga tujuan untuk membangun kehidupan yang harmoni tidak tercapai. Salah satu kaidah literasi adalah tidak boleh menyinggung perasaan orang lain, baik dengan cara verbal maupun nonverbal.

Mengemukakan pendapat memang dijamin oleh konstitusi. Namun, kaidah peradaban dan nilai persatuan dan kesatuan tidak boleh dieliminasi oleh hak individu yang tidak bermartabat. Artinya, setiap gagasan yang dikemukakan harus memenuhi persyaratan toleransi dan saling memahami prinsip keyakinan dari masing-masing individu.

Literasi yang Beretika

Etika berliterasi adalah kaidah literasi yang paling utama. Karena akhlak, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah Hadis, adalah prinsip Islam yang paling mendasar. Rasulullah saw bersabda, “Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlak, sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak,” (HR. Al-Baihaqi). Jadi, di setiap aspek kehidupan harus dibangun etika demi kehidupan yang harmonis dan damai. Begitu juga dalam berliterasi, harus mengedepankan etik agar naskah literal yang kita tulis bermuara pada kehidupan yang lebih baik.

Bentuk gagasan yang menjadi ruh suatu tulisan merupakan pokok persoalan dalam berliterasi. Ketika pokok pikiran dikemukakan dengan cara makruf, baik, maka niscaya akan melahirkan stigma tanpa kontra pemahaman. Demikian juga formula bahasa dan tata bahasa yang digunakan harus melalui proses pemikiran yang matang. Sehingga tidak akan terjadi persoalan dan kegaduhan setelah tulisan tersebut dipublikasikan.

Tidak jarang kita temukan gagasan-gagasan yang dibangun di atas sentimin pribadi atau kelompok. Nah, tulisan semacam ini tidak memiliki etika berliterasi. Kita haru cerdas dalam memilih dan memilah bahan bacaan sehingga kita tidak terjerumus ke dalam persoalan yang tidak semestinya. Reaksi berlebihan terhadap sebuah gagasan yang absurd juga tidak menunjukkan seorang literal yang mumpuni. Berhati-hatilah!

Merdeka Berliterasi di duniasantri

Salah satu platform literasi yang memberikan kemerdekaan berkarya (ingat, berkarya bukan bermakar) adalah duniasantri.co. Sejak awal, sebagaimana tertulis jelas di laman awal web kesantrian ini, bahwa visinya adalah membangun negeri. Sebagai penggerak pembangunan, duniasantri memberikan keluasan dan keleluasaan untuk berkarya tulis. Meskipun ruhnya adalah pesantren (kesantrian, keislaman), tidak jarang duniasantri juga membahas isu-isu kekinian dengan konsep Ahlussunah Wal jamaah.

Dengan demikian, duniasantri benar-benar memberikan kemerdekaan yang sesungguhnya dalam berliterasi. Tentu saja kemerdekaan yang dapat dipertanggung-jawabkan. Bahwa menulis adalah bertujuan untuk mendapatkan rida dari Allah swt. Bahwa menulis sebagai ikhtiar dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Menulis di duniasantri bukan sekadar menulis, tetapi menulis yang bermartabat dan berkualitas. Tidak dibenarkan tulisan yang memiliki muatan-muatan anarkis, kriminal, dan mendeskriditkan orang lain.

Sewajarnya kita memanfaatkan kemerdekaan ini (menulis di dunaisantri.co) dengan sebaik-baiknya. Berkontribusi untuk menjadi bagian dari pembangunan sejarah, ditulis dengan tinta emas di masa-masa yang akan datang. Pada waktunya nanti kita akan menjadi sejarah, dan generasi berikutnya yang akan meneruskan nilai-nilai kebaikan yang telah kita canangkan.

Berliterasi dengan ragam gendre naskah atau tulisan, wadahnya di duniasantri. Lebih jauh lagi, kita akan mendapatkan berkah finansial dari tulisan yang dimuat di dunaisantri. Merdeka adalah ketika kita telah menuangkan gagasan demi mengisi kemerdekaan itu sendiri. Menulis… menulis…menulis! Tapi ingat, tulisan tidak akan bermakna (berkualitas) tanpa kita membacanya! Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan